
/1/
SEBUTIR KASIH
Puisi: Leni Marlina
Kita tidak datang dari surga dunia,
tapi dari kota yang kehilangan arah,
dari layar-layar yang tak sempat menatap balik,
dari tubuh-tubuh yang menahan rindu
tanpa tahu kepada siapa.
Kita berjalan di antara reruntuhan berita,
di antara doa yang dikirim lewat sinyal,
di antara wajah yang tersenyum tanpa nama.
Namun, di celah cahaya yang nyaris padam itu,
kita temukan sesuatu yang belum mati:
sebutir kasih kecil,
masih berdenyut di dada manusia.
Kita belajar menyala bukan karena api,
tapi karena gelap yang menolak pergi.
Kita berbicara bukan karena yakin,
tapi karena diam terlalu menyakitkan.
Kita menulis agar dunia tahu:
bahkan dalam kehilangan,
ada jiwa yang masih mengingat makna rumah.
Kita bukan pahlawan,
bukan nabi, bukan orang suci.
Kita hanya mereka
yang masih ingin percaya
bahwa manusia bisa saling menggenggam
tanpa harus memaksa untuk sama.
Dan jika kelak dunia lupa pada kemanusiaannya,
biarlah kita menjadi catatan kecil di tepi sejarah,
menyala pelan
seperti lilin yang sadar bahwa terang sejatinya
bukan tentang cahaya—
melainkan tentang kesediaan terbakar
demi membantu sesama.
Padang, Sumbar, NKRI, 2025
/2/
MENJERIT DALAM SUNYI
Puisi: Rajesh Sharma
Terjemahan (Inggris-Indonesia):
Leni Marlina
Dalam diam, aku menunggu dan menghela napas,
mendengar gema dari bisikan perpisahanmu yang lembut memudar.
Jantungku berdegup cepat, jiwaku letih,
merindu cinta yang telah pergi —
meninggalkan nestapa yang tak terselami.
Dunia terus melangkah, tapi aku membeku,
terperangkap di waktu yang berhenti bersama kenangan beku.
Ketidakhadiranmu menggurat sepi yang dalam,
mengosongkan ruang yang tak mampu dihapus oleh waktu.
Dalam mimpi, kulihat senyummu bercahaya,
sekelebat bayangan di malam yang muram dan setia.
Aku terjaga dengan air mata dan hati yang nyeri,
merindukan segalanya yang dulu kita miliki.
Waktu mungkin menyembuhkan, luka mungkin tertambal,
namun hatiku akan selalu mengenang akhir yang kekal.
Cinta yang kita bagi, air mata yang kita lepaskan,
akan tinggal selamanya — di dalam hatiku yang diam-diam menjerit.
2025, Hanumakonda District, Telangana state, INDIA
Catatan:
Judul Asli Puisi: “Screaming Silently”
—————
Tentang Penyair: Rajesh Sharma – Indian Poet
(Poetry-Pen International Community (PPIPC); ACC Shanghai Huifeng Literary International Association (ACC SHILA)
Rajesh Sharma merupakan penyair bilingual asal Telangana, India. Ia adalah penulis buku puisi berbahasa Inggris berjudul Hey Honey, dan karyanya telah dimuat dalam berbagai antologi internasional. Selain berkarya dalam sastra, ia bekerja sebagai Junior Assistant di ZPHS B Shayampet School, Distrik Hanumakonda, Telangana, India.
/3/
HENING YANG TAK TERUCAP
Puisi: Nita Yeni Asmara
Terpisahkan oleh jarak dan waktu,
Sebuah kenangan yang berbisik.
Tawa dan canda yang dulu menghiasi,
Kini hanya sepi yang mengisi.
Tak ada salam perpisahan terucap,
Tak ada pelukan yang erat.
Hanya hening yang menyelimuti,
Bayang-bayang masa lalu yang takkan kembali.
Seperti senja yang tiba-tiba sirna,
Tanpa menyisakan warna jingga.
Hati yang merindu,
Berharap ada pertemuan kedua.
Namun, takdir telah berbisik,
Sebuah kisah harus berakhir.
Kini hanya ada rintihan,
Tentang perpisahan yang tak diharapkan.
Palembayan, Agam Sumbar, 6 September 2025
/4/
HENING YANG TAK MEMILIKI WAKTU
Puisi: Leni Marlina
Kami datang bukan dari masa lalu,
melainkan dari hening yang tak memiliki waktu.
Kami tidak lahir dari rahim bumi,
tapi dari detak kasih yang menembus segala nama.
Kami berkelana bersama angin,
mengumpulkan serpih luka,
dan menampungnya menjadi cahaya
agar dunia tahu:
bahkan kesedihan pun dapat berdoa.
Kami bukan utusan,
bukan pula penebus.
Kami hanya bayangan yang belajar memantulkan terang,
hati yang masih berdebu
namun masih percaya kepada langit.
Ketika manusia melupakan kemanusiaannya,
kami tetap menyebut nama satu sama lain dalam diam.
Ketika dunia menutup pintunya,
kami mengetuk dari dalam dada yang remuk,
dan berkata pelan:
“Cinta tak pernah hilang, hanya berganti wujud.”
Kami adalah kalian
yang telah kehilangan segalanya kecuali kasih.
Kami adalah suara
yang tak dapat dibungkam oleh waktu.
Kami adalah nyala kecil
di tengah padang takdir yang luas—
mungkin redup,
tapi tak pernah padam.
Dan bila suatu hari engkau membaca puisi ini
di sela malam yang sepi,
dengarkan baik-baik:
di antara jeda kata,
di antara napasmu sendiri—
ada kami,
masih menyala
dalam sunyi dan izin Tuhan.
Padang, Sumbar, NKRI, 2025
/5/
PERSAHABATAN DALAM PUTARAN WAKTU
Puisi: Al Zaki Muhammad Imam
Dalam putaran waktu yang bermakna,
gelap bersembunyi di balik terang.
Ada sedih yang menunggu senang,
setiap luka pasti meninggalkan jejak.
Wajah yang tersenyum menghapus retak,
datang pertemuan membawa hangat smarana.
Perpisahan mengajarkan tabah yang ikhlas,
di balik jiwa terbungkus daging, ada kenangan.
Kenangan yang mengajarkan hati tetap setia,
meski tak ada yang abadi di dunia ini.
Namun bila Tuhan mengkehendaki,
ada asa berbentuk aksara.
Dalam putaran waktu yang tak selalu berpihak,
tersimpan persahabatan sejati,
seperti cahaya yang tak lekang
di serpih jiwa terdalam kita.
Padang, Sumatera Barat, NKRI, September 2025
——————————-
Tentang Penulis: Al Zaki Muhamad Imam (Komunitas Pondok Puisi Inspirasi Pemikiran Masyarakat: PPIPM-Indonesia, PPIC, WCLC, PLS]
Al Zaki Muhammad Imam, lahir di Padang – Sumatera Barat tahun 2010. Saat ini tercatat sebagai siswa kelas IX di MTsN 1 Kota Padang. Selain gemar menulis puisi dan cerpen, ia juga memiliki hobi di bidang olahraga dan menggambar. Saat ini Al Zaki sedang melatih diri dalam bidang entrepreneurship for kids melalui praktek wirausaha (Zathoref Farm) yang ia jalankan bersama dua orang saudaranya yang lebih muda usianya dari Al Zaki, disupervisi oleh orang tua.
Al Zaki tercatat sebagai anggota muda Komunitas Pondok Puisi Inspirasi Pemikiran Masyarakat (PPIPM-Indonesia), anggota Penyala Literasi Siswa (PLS) Sumbar, & anggota muda World Children’s Literature Community (WCLC).
/6/
MEMBAWA INGATAN TENTANG KASIH
Puisi: Leni Marlina
Kami datang dari celah
antara hujan yang tak jadi turun
dan doa yang terlalu berat untuk terbang.
Di tangan kami—
ada debu,
ada bayangan anak-anak yang berlari
tanpa tahu arti “esok.”
Setiap langkah kami adalah alfabet yang tak selesai,
setiap napas adalah catatan
dari tubuh bumi yang mengigau.
Kami menulis bukan dengan kata,
melainkan dengan kehilangan.
Kami menyalakan obor
dari luka yang menolak padam,
karena di dalamnya kami melihat
bayang wajah Tuhan yang belajar menangis.
Ketika langit menutup pintunya,
kami mengetuk dari bawah tanah:
di antara akar,
kami temukan gema masa depan
yang belum berani lahir.
Kami membawa ingatan tentang kasih
yang pernah gagal,
namun tetap ingin dicoba lagi.
Padang, Sumbar, NKRI, 2025
/7/
MENYALAKAN PAGI DARI SISA-SISA MALAM
Puisi: Leni Marlina
Waktu seolah berjalan dengan kaki pecah.
Di belakangnya,
kita mengumpulkan serpih langkahnya
dan membangunnya menjadi doa.
Kita telah menyalakan pagi
dari sisa-sisa malam
yang tak lagi percaya pada bintang.
Kita menggambar masa depan
di udara,
dengan kapur dari tulang harapan
yang belum sempat dimakamkan.
Setiap abu punya bentuk cintanya sendiri—
kadang berupa tangan,
kadang berupa puisi
yang tak selesai ditulis karena perang.
Kita tahu, tak ada kemuliaan di sini,
hanya keberanian kecil
untuk tetap menjadi lebih berperikemanusiaan.
Padang, Sumbar, NKRI, 2025
/8/
HATI YANG TAKLUK
Puisi: Zulkifli Abdy
Oh..,
Duduk
Tertunduk
Wajah tersuruk
Di negeri terpuruk
Bukanlah sebab buruk
Atau wajah yang bercapuk
Tetapi lebih karena tak tunduk
Pada hati nurani sebagai makhluk
Nafsu duniawi yang berhujung takluk.
Banda Aceh,
7 September 2025
/9/
MEMBANGUN KEMBALI RERUNTUHAN KEMANUSIAAN
Puisi: Leni Marlina
Ada langit yang terus memar
karena terlalu banyak doa dilempar ke sana.
Kita hidup di bawahnya—
di ruang tanpa arah karena perang dunia,
membangun kembali arti dari reruntuhan kemanusiaan.
Kita belajar berbicara
dengan bahasa bayangan,
dengan huruf yang dipungut
dari pinggir luka.
Kadang kita melihat Tuhan
bersembunyi di mata
seorang ibu yang kehilangan anaknya,
di pipi tirus anak yang kehilangan rumah dan keluarganya,
atau di tangan tukang sapu kurus
yang diam-diam memberi makan burung.
Kita tak berani lagi meminta keajaiban kepada-Nya.
Kita hanya berharap:
biarlah kesedihan menjadi taman,
biarlah air mata dan hati yang jernih menumbuhkan sesuatu
yang bisa menyembuhkan dunia,
seizin Tuhan Yang Maha Kuasa.
Padang, Sumbar, NKRI, 2025
/10/
KEMARAU LAYANG-LAYANG
Puisi: Muslimin (Cak Mus)
kemarau layang-layang, benang putus jangan
direbut angin tenggara jatuh belantara
ketangsang pepohonan, layang-layang tergantung resah
tak ada yang berani memanjat kegamangan
benang layang-layang dilumuri kanji
dan lembut pecahan kaca
bertahan dari luka darah dan putus asa
adalah awal mengembarai cakrawala
lihatlah, keseimbangan tangan mengatur perjalanan
membiasai gelora panas dan badai
menertawai setiap jungkal tukik ke bawah
untuk bangkit kembali lesat gagah
dengan robek diterjang angin kencang
tetap mengangkasa
berlayang-layang hingga purnama
menyapa rembulan menguak gerhana
jerih itu diturunkan tanpa tergesa
karena larut menihilkan nafsu kembara
esok pagi berbenah asa hamba setia
tanpa air mata
tanpa serapah
Lamongan, Jatim, 23 September 2025
————————————–
Tentang Penulis: Muslimin (PPIPM-Indonesia; Satu Pena – Jatim, KEAI, WPM-Indonesia)
Sang penulis dengan nama asli Muslimin memikiki panggilan Cak Mus. Lahir di Lamongan, Jawa Timur, 20 Mei 1969. Setamat dari SMAN 2 Lamongan, kuliah di IKIP Negeri Surabaya Jurusan Bahasa Indonesia. Mengajar sejak 1991 di MTs A. Wahid Hasyim Tikung, SMP-SMA Tashwirul Afkar Sarirejo, SMP Islam Tikung, PKBM Mahayana dan PKBM Mizan Lamongan. Aktif di PERGUNU Lamongan dan Lembaga Bahtsul Masail MWC NU Tikung Lamongan.
/11/
MENCINTAI KEMANUSIAAN
Puisi: Leni Marlina
Kita belum mati—
meski dunia mengira kita telah diam selamanya.
Kita masih berdiri
di antara reruntuhan nama dan bendera,
menjahit sisa-sisa nurani
yang tercecer di tanah sendiri.
Kita masih menggenggam pagi,
meski tangan kita luka oleh semalam.
Kita masih menyalakan kata “cinta”
di dinding kota
yang sudah lupa pada kemanusiaan.
Kita ingin dunia tahu:
kemanusiaan tak bisa dibungkam
dengan senjata,
dan perdamaian tak hanya lahir
dari meja perundingan—
tetapi dari dada yang sanggup memaafkan.
Kita belum mati,
karena kita masih mencintai kemanusiaan dan perdamaian,
meski cinta itu
telah berkali-kali dihancurkan.
Padang, Sumbar, NKRI, 2025
/12/
PULANG PETANG AYAH TAK MEMBAWA BULAN
Puisi: Syafrul Hamdi
bau tanah hitam
dari lantai rumah sembab
udara lembab
enggan membisikkan angin sepagi ini dan kelu
tak ada bau minyak tanah
asap dapur kebul-kebul
dari bilik-bilik pagar bambu berlubang
matahari menerobos masuk tanpa permisi
menyapa lekuk-lekuk seraut wajah derita ibu
dahi mengkerut
kami bagai jeruk perut
lapar seharian
perut buncit melantunkan nyanyian
kenyang dengan ombak dan gelombang
terus saja bernyanyi
bercerita tentang cacing-cacing kepanasan
tak ada nutrisi
untuk selalu berbagi
mata cekung
rambut wangi minyak kelapa
menghantar udara sepi
senja mengadu di ufuk barat
dari arena gocekan ayah lupa membawa bulan
malam memeluk dinginnya
Pasar Pancingan, Lombok, 2 Juni 2025
——————-
Tentang Penulis: Syafrul Hamdi (PPIPM-Indonesia, PPIC, Mutiara Sastra)
Syafrul Hamdi merupakan penyair yang bertempat tinggal di Pasar Pancingan Desa Wisata Hijau Bilebante, 20 Km dari Sirkuit Internasional Mandalika Lombok NTB. Membaca dan menulis puisi adalah hobinya sejak kecil. MTSN 1 Lombok Barat NTB adalah tempatnya mengabdi sebagai guru ASN Kementrian Agama RI. Beberapa puisinya dimuat di antologi bersama, media sosial dan beberapa Komunitas Penyair di Facebook, termasuk Komunitas Potret online, Partey Puisi Indonesia sedangkan puisi yang lain sering di-share di Komunitas Group Facebook (Sastra Nusa Widhita, Komunitas DNP, Komunitas Literasi Betawi, Group Facebook Penyair milik Rg Bagus Warsono)
/13/
API DALAM SEKAM
Puisi:
Nofieana Gusti Winata
Goresan hati kembali bersuara
Pada luka yang kembali menganga
Sudah kucoba melupakan semua
Tapi semesta enggan untuk menerima
Ia seolah berkata bahwa angkara harus binasa
Sudah waktunya
Kemilau cahaya yang terlupa
Ketulusan yang dianggap tiada
Percaya yang tak lagi menjaga
Lalu peluh yang dianggap noda
Semua sirna seketika
Ingin meronta merobek semesta
Namun apa daya tubuh ini lemah tiada kuasa
Si papa yang masih berkalang derana
Menutupi kelaparan yang tak jua sirna
Berharap semua akan indah pada waktunya
Tapi asa tergerus oleh nista
Walau dusta tertutup tawa
Dan ketulusan yang jatuh tak berdaya
Ia masih saja Berjaya
Mengunyah daging saudaranya
Menertawakan kelemahan di balik kuasanya
Dan bersorak bahwa semua adalah dusta
Bukittinggi, Sumbar,
20 Juli 2025
——————————
Tentang Penulis: Nofieana Gusti Winata (PPIPM-Indonesia, PPIC, SatuPena, WPM, ACC SHILA)
Nofieana Gusti Winata dikenal dengan nama pena Fiana Winata. Saat ini berprofesi sebagai guru dan dosen di Bukittinggi, Sumatera Barat Indonesia. Telah menulis sepuluh buku tunggal dan puluhan antologi. Beberapa antologinya ditulis bersama global writers dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Spanyol, India, dan Costa Rika. Kisah kepenulisannya dimuat dalan jurnal DoeaJiwa Malaysia edisi Februari 2024 dan biodata serta karyanya dimuat dalam buku Direktori Penulis Indonesia 2023. Tulisannya sudah dimuat di media cetak dan online Indonesia dan Mancanegara. Silakan sapa penulis ig.ofie_gw atau fb.Fiana Winata.
/14/
DARI TUBUH YANG TAK TAKUT PADA LUKA
Puisi: Leni Marlina
Kita menulis dari tubuh
yang tak lagi takut pada luka.
Kita menulis dari darah
yang telah berdamai dengan tanah.
Kita tahu:
hidup bukan janji suci,
tapi keputusan untuk tetap berjalan,
meski jalan itu penuh abu.
Kita telah melihat langit terbakar,
laut menelan anak-anaknya,
dan doa berubah jadi data.
Tapi kita tetap menyebut satu kata:
kemanusiaan.
Kami tak ingin perang
yang dibungkus dalih kebenaran.
Kita ingin damai—
bukan karena lelah,
tapi karena kita ingin
setiap anak bisa tidur
tanpa mendengar suara tembakan dan dentuman .
Padang, Sumbar, NKRI, 2025
/15/
DURIMU DALAM ASA DAN ANGANKU
Puisi: Indrayuda
Engkau adalah Renggana tak berwujud,
seluruh asamu tertumpah
pada lembaran masa lalu
yang kutulis bersamamu.
Dalam ingatan,
engkau bias sinar rembulan—
tak pernah redup
meski gelap menelan malam.
Maka kutegakkan diriku
di atas puing kebahagiaan
yang tersisa.
Cahayamu tiada kepastian:
kadang redup,
kadang samar muncul
di relung waktu.
Namun aku tetap bertahan,
menatap langit yang masih terang
dengan lukisan rona wajahmu.
Masih adakah waktu
yang mengalir seperti sungai,
mengantarkan anganku padamu,
agar kau mau menyauk
air di hilir harapanku?
Engkau bagiku
kereta terakhir di stasiun sepi.
Desir angin dari relmu
terngiang di telingaku,
meski entah kapan
kau sampai di peron penantianku.
Bayanganmu berkelebat jauh,
sementara aku termangu
begitu lama di sana.
Engkau ibarat siulan burung pagi—
lagu lama nan sendu
yang masih bergema
di dinding waktu.
Namun gema itu kian sunyi,
meski tak pernah hilang.
Dirimu dalam anganku
merobek ketidakpastian.
Kucoba berlayar di badai wajahmu,
menyusuri jangkauan yang jauh,
kadang kau hadir
dalam lintasan bayang,
kadang lenyap begitu saja,
seperti angin tanpa wujud.
Kuingin menutupi wajah
dengan pasir pantai,
namun angin meniupnya pergi.
Ledakan pikiranku
tak terbendung lagi,
selalu kembali padamu.
Rona wajahmu,
rembulan yang kurindu:
bersinar dalam gelap
namun diam di tengah bintang.
Ingatanku kian menepi,
tatkala malam gelap
dan langit tak lagi bersahabat
memunculkan sinarmu.
Aku dan anganku
tak mampu membendung rindu.
Hayalku menatap matahari,
ingin meraih sinarnya.
Sanggupkah engkau hadir—
walau sekejap saja—
menyapa mimpiku,
agar penantian ini
tak selamanya tanpa tepi?
Padang, Sumatera Barat, 21 September 2024
————————–
Tentang Penulis: Indrayuda (UNP Padang, PPIPM-Indonesia, SatuPena – Sumbar)
Indrayuda adalah seniman nasional, kareografer dan akademisi di FBS
Universitas Negeri Padang.
/16/
ULURAN TANGAN
Puisi: Dilla, S.Pd.
Kita lahir dari rahim berbeda,
namun menghirup udara yang sama.
Tertawa dan menangis dengan cara berbeda,
namun air mata tetap asin
dan perih di hati yang luka.
Apa arti beda kulit, beda rupa,
jika kita masih bisa saling menyapa?
Apa guna nama dan gelar,
jika nurani dibiarkan lapar?
Kemanusiaan bukan milik
yang paling tinggi,
bukan yang paling banyak gelar,
bukan yang paling lantang bersuara.
Ia ada pada siapa yang mengerti,
siapa yang sudi mendengar
dan mengobati luka-luka.
Uluran tangan bukan untuk menunjuk,
tetapi menuntun yang terjatuh.
Membuka mata bukan untuk mencari salah,
tetapi melihat secercah harapan
bagi jiwa yang hampir pasrah.
Yakinlah, di ujung segala rupa,
kita hanyalah manusia
yang kembali ke tanah jua.
Dan hanya saling mengasihi
yang membuat kita bertahan
di dunia yang fana ini.
Bukittinggi, Juni 2025
————————————-
*Tentang Penulis: Dilla, S.Pd. (PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – West Sumatra, ACC SHILA, Penyala Literasi, WPM-Indonesia)
Dilla, S.Pd. lahir di Bukittinggi tahun 1981. Dari tahun 2005-2010 mengajar di SMKN 2 Kota Bukittinggi, Pada tahun 2005-2023 mengajar di SMP Islam Al-Ishlah Bukittinggi, dan pada tahun 2023-sekarang bertugas di SMPN 2 Bukittinggi, sebagai guru Bahasa Indonesia. Mulai aktif menulis dan menggiatkan literasi dari tahun 2013. Sudah menerbitkan 6 buku tunggal dan puluhan buku antologi dengan berbagai event kepenulisan. Salah saru buu kumpulan puisinya yang banyak dibaca oleh masyarakat berjudul “Bulan di Balut Debu”.
Prestasi yang pernah diraih:
Nominasi penulis berprestasi dan prolifik dari Satu Pena Sumatra Barat dalam rangka IMLF-4,
Penerima Anugerah Guru Berprestasi Nasional Bidang Literasi dalam Festival Literasi Kreatif Nasional 2025 diadakan oleh JB Edukreatif Indonesia pada Februari 2025.
/17/
DI ANTARA JALINAN BENANG DAN BYTE
Puisi: Eka Teresia
Dalam sanubari yang berurat adat,
Kini terjalin benang digital padat.
Perempuan Minang, warisan budaya luhur,
Dihadapkan zaman, di antara hiruk pikuk.
Dulu, tangan menenun, mengukir kisah,
Kini jemari menari di atas layar tipis.
Suara batin terbungkam, digantikan kata,
Dalam ruang maya, di mana jati diri terbata.
Bundo Kanduang, pelita rumah gadang,
Kini dihadapkan pada realitas yang terang.
Nilai-nilai luhur, terkadang terlupakan,
Di tengah gemerlap dunia yang tak terkendalikan
Adat bersanding dengan teknologi,
Sebuah pergulatan yang tak pernah berhenti.
Perempuan Minang, di antara dua sisi
Mencari jati diri, di tengah perubahan era teknologi
Ingin tetap teguh, pada akar budaya,
Namun tak ingin tertinggal, oleh arus dunia.
Konflik batin, membelah jiwa,
Di antara tradisi dan modernitas yang beradu nyata
Di balik layar, senyum terukir samar,
Dibalik kata, luka menganga lebar.
Perbandingan diri, dengan standar dunia luar
Tradisi leluhur jangan sampai ditinggalkan
Perubahan zaman jangan merubah peradaban
Sumbang 12 harus selalu disiarkan
Perempuan Minang harus mampu hadapi perubahan zaman ,
Adat basandi syarak kekuatan, yang tak tergoyahkan.
Perempuan Minang, dengan segala keanggunan,
Akan terus berjuang, mencari jati diri yang tak tergoyahkan
Mereka akan menjadi jembatan,
Antara masa lalu dan masa depan.
Menjaga warisan, sambil merangkul inovasi
Menjadi perempuan Minang harus tangguh dan berani.
Dalam setiap langkah, harus lah hati-hati
Menyesuaikan diri, tanpa melupakan budaya dan tradisi
Menjadi inspirasi, bagi generasi pewaris Negeri
Padang, 26 November 2024
————————-
Tentang Penulis: Eka Teresia (PPIPM-Indonesia, PPIC, Penyala Literasi Sumbar: PLS)
Eka Teresia lahir di Kota Padang tahun 1975. Ia adalah guru SMK, penulis, penyair, dan penggerak literasi yang telah meraih berbagai penghargaan nasional maupun internasional. Saat ini, ia menjabat sebagai Ketua komunitas Penyala Literasi Sumbar (PLS) dan aktif menjadi narasumber Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional.
Prestasi yang pernah diraih antara lain: (1) Guru Berpretasi Literasi Dari GSMB Nasional Tahun 2019 s/d 2025; (2) Guru Berprestasi Literasi Kreatif Indonesia dari JB Kreatif Indonesia 2025; (3) Terbaik 1 Wastra Nasional di jakarta 2025; (4) Penulis Terbaik 1 Hikayat Nusantara TK nasional 2025; (5) Juara 1 Adi acarya Award 2024 bidang Produktivitas berkarya dari GSMB Nasional Nyalanesia .Juara 2 Adi acarya Award bidang Produktifitas Berkarya Nyalanesia; (6) Anugerah Favorit II Pembacaan Video Gurindam Tingkat ASEAN oleh PERUAS (2022); (7) Juara I Syair Internasional Pembaca Syair untuk Negeri diselenggarakan oleh Rumah Seni Asnur (2023) (8) Meraih Prestasi Guru SMK Inspiratif Tingkat Internasional yang diberikan oleh Gubernur Sumatera Barat 2025
/18/
JANJI DI ATAS KERTAS
(Kesaksian Pengunjuk Rasa)
Puisi: Zulkifli Abdy
Pagi sedang buta
Kala rembulan berdusta
Semesta berhuru-hara
Jalan-jalan kota membara
Pekik lirih dari sisa asa
Yang mulai sayup sirna
Hati risau di balik parau suara
Di depan istana para penguasa
Yang dihuni orang-orang lupa
Pagi masih rabun
Saat benang rinai turun
Basahi dedaun-daun
Mereka berduyun-duyun
Bukan sekadar kerumun
Tetapi amarah di ubun-ubun
Menuntut keangkuhan turun
Dari singgasana para penyamun
Yang buta hati bermata rabun
Siang makin panas
Ada yang lari bergegas
Ada yang memelas
Karena merasa tertindas
Ada pula yang terlindas
Ada mata kelilipan karena gas
Mereka orang yang tak puas
Janji-janji hanya di atas kertas
Tak tampil di panggung realitas
Dari pemimpin yang berhati ikhlas.
Banda Aceh,
15 September 2025
————————
Tentang Penulis: Zulkifli Abdy (PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Aceh, KEAI)
Zulkifli Abdy merupakan seorang penulis senior dan penyair, berasal dari Jambi dan menetap di Aceh sejak tahun 1970. Lulusan Ilmu Komunikasi, ia menekuni dunia kepenulisan secara autodidak sejak masa muda.
Karya-karyanya, baik berupa artikel maupun puisi, mencerminkan semangat sastra yang mendalam. Bagi Zulkifli, menulis bukan sekadar profesi—melainkan sarana untuk mencurahkan perasaan, menggantikan halaman-halaman buku harian pribadi, tempat ia menuangkan pikiran dan pengalaman dengan penuh ketulusan.
/19/
PERJALANAN SENYAP
Puisi: Nita Yeni Asmara
Luka dalam dada bersemayam,
Setiap detak, pilu berlayar.
Bukan mawar merah merekah,
Hanya duri yang tumbuh, melukai.
Langit tak selalu biru,
Kadang mendung memeluk erat.
Hujan air mata membasahi,
Tanah jiwa yang kering kerontang.
Namun, di sela badai,
Cahaya kecil menari,
Bukan rembulan, bukan mentari,
Hanya lilin yang tak mati.
Ada sebilah pedang,
Menghunus keabadian.
Bukan untuk melukai,
Namun untuk membelah kegelapan.
Meski badai mengamuk,
Akar tak pernah mati.
Terus mencengkeram bumi,
Tuk bangkit, dan kembali bernyanyi.
Palembayan, Agam, Sumbar, 8 September 2025
——————————–
Tentang Penulis: Nita Yeni Asmara (Komunitas Pondok Puisi Inspirasi Pemikiran Masyarakat: PPIPM-Indonesia, PPIC, SatuPena -Sumbar)
Nita Yeni Asmara merupakan alumni Departemen Bahasa dan Sastra Inggris FBS UNP, mantan aktivis HIMA, BEM FBS UNP serta Pernah menjadi Koordinator Wilayah 1 ILMIBSI (Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Budaya dan Sastra Se-Indonesia) yang menyukai dunia penulisan dan sastra.
Sekarang Nita mengabdikan diri menjadi seorang guru SD di Palembayan, Agam, Sumtera Barat. Selain itu Nita juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan mempunyai organisasi Sosial yang bernama “AKATSUKI”.
/20/
KETIKA KAU BERTANYA KENAPA KAMI PERCAYA
Puisi: Leni Marlina
Kami menulis dari luka—
dari ruang kecil di dada
yang menolak mati meski dunia tak lagi ramah.
Bukan untuk mengundang simpati,
tapi untuk mengingat:
bahwa manusia masih bisa menjadi rumah
bagi sesamanya.
Kami datang dari malam panjang,
membawa sisa cahaya
yang tak lagi tahu siapa pemiliknya.
Namun di ujung gelap itu,
ada sebutir kasih yang menolak padam,
menyala diam-diam
di tangan yang memberi tanpa nama.
Kami menulis,
karena ada sesuatu dalam diri manusia
yang selalu ingin hidup meski segalanya runtuh.
Itulah kasih—
sederhana, nyaris tak terlihat,
tapi ia menahan bumi
agar tak tergelincir sepenuhnya
ke dalam putus asa.
Dan bila engkau bertanya
mengapa kami masih percaya,
jawabannya mungkin sesederhana ini:
karena di setiap luka
ada pintu kecil yang mengarah pulang
kepada sesama,
dan kepada-Nya.
Padang, Sumbar, NKRI, 2025
/21/
ZIARAH KEHIDUPAN
Puisi: Ramli Djafar
Umur adalah masa hidup insani
Ziarah kehidupan nan panjang
Mengalir tiada batas
Dunia fana menuju yang baka
Umur bukanlah sekedar angka
Bukan pula hitungan yang berderet lurus
Bukan juga satuan yang bisa berhenti begitu saja
Umur bukanlah rangkaian angka-angka
Bukan sekedar hitungan dari jumlah
Bukan bayangan semu yang berkejar-kejaran
Bukan ilusi
Tetapi
Nyata
Berdiri kokoh di rentang waktu
Tak tergantikan oleh perobahan zaman
Umur adalah perjalanan jiwa
Usia dalam kesejatian
Abadi di waktu yang ada
Tiada tergerus oleh pergantian musim kehidupan
Umur
Keabadian jiwa dalam kesempurnaan
Tiada punah oleh kematian badan
Bertahta dikeabadian
Umur manusia di dunia ada batasnya
Tetapi
Tiada pernah berlalu di masa kehidupan
Padang, 23 September 2025
——————
Tentang Penyair: Ramli Djafar (PPIPM-Indonesia, PPIC, SatuPena Sumbar, ACC SHILA, WPM-Indonesia)
Ramli Djafar, yang juga dikenal dengan nama sastranya Andreas Ramli Djafar atau Xie Zongli, adalah seorang penyair Indonesia yang berdomisili di Padang. Ia tekun menulis dan membagikan kisah melalui puisi, dengan tema-tema yang berhubungan erat dengan budaya, ingatan, dan kemanusiaan—disampaikan lewat bahasa yang sederhana namun sarat makna.
Ia aktif dalam beberapa komunitas sastra, di antaranya SATU PENA (Sumatera Barat), Poetry-Pen International Community, Pondok Puisi Inspirasi Masyarakat (PPIPM–Indonesia), dan ACC Shanghai Huifeng International Literary Association (ACC SHILA).
Pada tahun 2025, Ramli Djafar menerima penghargaan The Prolific Writer 2025 dalam acara International Minangkabau Literacy Festival (IMLF–3), yang diserahkan langsung oleh Ketua SATU PENA Sumatera Barat, Sastri Bakry. Penghargaan ini menjadi penanda kesungguhannya dalam berkarya sekaligus menjadi penyemangat untuk terus menulis dan berbagi.
/22/
KAMI MASIH PERCAYA
Puisi: Leni Marlina
Kami menutup puisi ini
seperti menutup mata seseorang yang kita cintai—
perlahan, dengan hormat,
agar setiap kenangan bisa beristirahat.
Kami tahu, kasih bukanlah keajaiban,
ia kerja yang tak henti,
kadang getir, kadang nyaris sia-sia.
Namun justru di situlah kemuliaannya:
ia tetap ada,
meski tak pasti dijanjikan surga,
meski dunia takkan mudah berubah.
Kami menulis karena ingin percaya
bahwa satu tindakan kecil,
satu kata lembut,
satu empati yang tak terlihat,
masih cukup untuk menunda runtuhnya dunia.
Kasih bukan hanya milik mereka yang suci sepanjang waktu,
ia milik siapa pun
yang terus memilih menjadi manusia
ketika lebih mudah menjadi batu.
Dan jika engkau membaca puisi ini
lalu hatimu bergetar sebentar,
itu bukan karena kami,
tapi karena di dalam dirimu
ada sesuatu yang masih hidup—
sesuatu yang enggan menyerah pada kegelapan,
sesuatu yang diam-diam
menyebut nama kasih
dengan cara paling sunyi:
memancarkan hati nurani.
Padang, Sumbar, NKRI, 2025
————-
Tentang Penyair: Leni Marlina (UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, SatuPena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia, Mutiara Sastra)
Leni Marlina merupakan penulis, penyair, dan akademisi kelahiran Baso, Agam, Sumatera Barat, yang kini menetap di Padang, Indonesia. Ia aktif sebagai anggota SATU PENA (Asosiasi Penulis Indonesia) cabang Sumatera Barat sejak 2022. Selain itu, ia juga tercatat sebagai anggota World Poetry Movement (WPM-Indonesia). Kecintaannya pada dunia sastra membawanya menulis buku antologi puisi bilingual “The Beloved Teachers”, “L-BEAUMANITY (Love, Beauty and Humanity)”, serta 3 seri buku “English Stories for Literacy”. Atas kiprah literernya, ia dianugerahi penghargaan sebagai Penulis Terbaik Tahun 2025 dari organisasi kepenulisan SATU PENA Sumatera Barat. Penghargaan tersebut diberikan dalam Gala Dinner Festival Literasi Internasional Minangkabau ke-3 (IMLF-3). Pada tahun yang sama Leni Menerima award certificate of ACC International Literary Prize dari President of ACC Shanghai Huiyu International Literary Creative Media Centre.
Sejak tahun 2006, Leni mengabdikan diri sebagai dosen di Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang. Hampir dua dekade ia konsisten mendidik dan menginspirasi generasi muda melalui dunia akademik. Di luar kampus, Leni aktif menulis sebagai jurnalis lepas, editor, redaktur, dan kontributor di media lokal, nasional, maupun internasional. Beberapa puisinya juga dipublikasikan secara digital dan umumnya dapat diakses publik melalui laman https://suaraanaknegerinews.com/category/puisi-leni-marlina-bagi-anak-bangsa. Ia percaya bahwa menulis adalah medium untuk berbagi, menginspirasi, dan memperluas cakrawala kemanusiaan. Karena itu, ia mendirikan serta membina berbagai komunitas sosial, sastra dan literasi berbasis digital. Beberapa di antaranya adalah PPIPM-Indonesia (Pondok Puisi Inspirasi Pemikiran Masyarakat), Poetry-Pen International Community (PPIC), Literature Talk Community (Littalk-C), dan English Language Learning, Literacy, and Literary Community (EL4C). Melalui komunitas-komunitas tersebut, Leni berupaya menjembatani semangat sastra dan literasi lintas generasi.





