Era Nurza

Sudah satu minggu saya menjadi bagian dari Suara Anak Negeri, dan terus terang saya masih merasa seperti sedang berjalan-jalan di sebuah rumah besar yang tak habis-habis ruangnya. Media ini tidak hanya hadir sebagai ruang baca atau sekadar wadah tulisan; ia adalah pertemuan gagasan, pertemuan hati, dan yang lebih mengesankan: pertemuan seluruh wajah Indonesia, bahkan dunia. Rasanya seperti menemukan tempat pulang yang lama dicari, penuh warna, tetapi tetap utuh.

Pertama kali membaca konten-konten di dalamnya, saya terkejut dengan betapa luasnya cakupan isu yang diangkat. Suara Anak Negeri benar-benar tidak memilih satu sisi atau golongan. Semua bidang ada di sini: politik, pendidikan, kesehatan, lingkungan, seni, sastra, pertanian, bahkan teknologi pun tak luput dari sorotan. Namun yang paling membuat saya salut adalah pendekatan inklusif terhadap kepercayaan dan keragaman agama. Di tengah zaman yang mudah terbakar oleh perbedaan, media ini justru hadir membawa obor kerukunan. Di sini, semua agama dihormati, semua keyakinan diberi ruang untuk bersuara dengan damai.

Saya membaca tulisan tentang pentingnya pendidikan karakter di sekolah-sekolah pelosok Papua, lalu pindah ke artikel tentang kebijakan politik desa yang adil dan berkelanjutan di Sumatera Barat. Beberapa menit kemudian, saya sudah tenggelam dalam puisi spiritual yang ditulis oleh penulis dari Surabaya, dan dalam hitungan klik, saya membaca refleksi Ramadan dari seorang diaspora Indonesia yang tinggal di luar negeri. Semua itu menunjukkan satu hal: Suara Anak Negeri tidak hanya menjadi media, tapi juga jembatan yang menyatukan ragam pemikiran dan latar belakang.

Keragaman bidang yang dibahas bukan hanya asal ada. Ada kedalaman dan refleksi yang nyata dari para penulis. Dalam bidang kesehatan, misalnya, ada tulisan yang menyentuh tentang perjuangan tenaga medis di pelosok Indonesia yang melayani tanpa fasilitas memadai. Di bidang pertanian, saya membaca kisah petani muda di Flores yang berinovasi dengan pertanian organik. Di bidang lingkungan, ada diskusi tajam tentang krisis iklim dan pentingnya konservasi hutan adat. Semua itu bukan sekadar berita atau laporan dingin, tapi kisah-kisah hidup yang ditulis dengan nurani.

Tak kalah menarik adalah ruang bagi seni dan sastra. Puisi-puisi, cerpen, esai kreatif, bahkan ilustrasi dan fotografi mendapat tempat setara dengan tulisan analisis dan opini. Ini menunjukkan bahwa media ini tidak hanya mengutamakan logika, tapi juga merawat rasa. Sebab, kemajuan bangsa tidak hanya lahir dari pikiran yang tajam, tapi juga dari hati yang lembut.

Lalu, hal yang paling menyentuh hati saya: ruang spiritual yang terbuka dan damai. Di tengah dunia yang semakin sering mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan agama, Suara Anak Negeri justru menjadi tempat di mana semua keyakinan duduk berdampingan, saling mendengar, dan saling belajar. Ada tulisan tentang meditasi dalam tradisi Buddha, refleksi puasa dalam Islam, makna kasih dalam Kekristenan, nilai kearifan lokal Hindu Bali, hingga ajaran harmoni dalam kepercayaan leluhur. Semua disampaikan dengan penuh rasa hormat. Tidak ada penghakiman, tidak ada dikotomi “kami” dan “mereka” semua adalah “kita.”

Saya bangga bisa menjadi bagian dari media yang tidak hanya berbicara tentang keberagaman, tapi benar-benar menghidupinya. Suara Anak Negeri bukan hanya tempat menulis, tapi tempat merawat persaudaraan. Apalagi, para penulisnya datang dari berbagai daerah di Nusantara dari Sabang sampai Merauke, dari pelosok Kalimantan sampai pesisir Maluku. Bahkan, ada juga yang berasal dari luar negeri, dari Asia, Eropa, Timur Tengah. Mereka membawa cerita dari tempat yang berbeda, namun dengan semangat yang sama: ingin menyumbang suara bagi negeri ini.

Semangat inilah yang menurut saya menjadi ruh dari Suara Anak Negeri. Ia bukan media besar dengan mesin industri, tapi komunitas yang hidup karena semangat kolektif. Di tengah arus informasi yang kadang penuh kebisingan, Suara Anak Negeri justru menghadirkan keteduhan, tapi mengajak bicara. Ia tidak mendikte, tapi merangkul. Dan karena itulah, saya yakin media ini akan terus tumbuh bukan hanya dalam jumlah pembaca atau penulis, tapi dalam kedalaman pengaruhnya terhadap masyarakat.

Kini, saat Suara Anak Negeri merayakan ulang tahunnya yang kedua, saya merasa esai ini adalah persembahan kecil dari saya, sebagai ungkapan rasa terima kasih dan bangga. Dua tahun bukan waktu yang panjang, tapi cukup untuk menunjukkan arah yang jelas dan tujuan yang luhur. Media ini sudah menjadi semacam taman bersama, di mana semua orang bisa menanam gagasan, menyiram harapan, dan menuai pemahaman.

Saya yakin, masa depan Suara Anak Negeri akan lebih gemilang. Semoga ia terus menjadi ruang yang inklusif, kritis, dan berani menyuarakan kebenaran. Semoga ia tetap menjadi rumah yang aman bagi semua pikiran yang jujur dan hati yang tulus. Dan yang paling penting, semoga ia terus menjadi jembatan antaragama, antarsuku, antarwilayah, jembatan yang tidak hanya menghubungkan, tapi juga memperkuat.

Dalam dunia yang sering kali terbelah oleh perbedaan, Suara Anak Negeri hadir sebagai bukti bahwa perbedaan bisa dirayakan tanpa harus mengorbankan persatuan. Ia adalah media, tapi juga gerakan. Ia adalah ruang baca, tapi juga ruang rasa. Ia adalah suara bukan hanya suara satu orang, tapi suara kita semua.

Selamat ulang tahun yang kedua, Suara Anak Negeri. Teruslah menyala, teruslah menyuarakan. Negeri ini butuh suara-suara sepertimu, jujur, berani, dan penuh cinta.

Padang, 10 Juni 2025