Ilustrasi "SUARA DAN WAJAH NEGERIKU": Antologi Puisi Karya Leni Marlina. Sumber Gambar: © 2025 Leni Marlina — E-Book Cover by Starcom Indonesia 29–00079.

/1/

LAHIRNYA NEGERIKU

Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, ACC SHILA, KEAI, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Negeri ini lahir dari tetesan darah dan doa,
dari bara sumpah para pejuang yang takkan lekang oleh waktu.
Namun, waktu berjalan—seperti arus sungai yang membawa lumpur sekaligus cahaya.

Kini, wajah merdeka menatap cermin sejarah,
kadang berkilau,
kadang berdebu,
di antara nyanyi burung dan jerit bumi yang ditoreh.

Wahai saudara se-bangsa se-tanah air,
Sastra dan sejarah telah menjadi saksi—
keduanya mengurai luka,
menafsirkan rahasia,
menyalakan kembali obor cinta tanah air dan kemanusiaan di dada anak bangsa.

Maka, biarlah puisi-puisi ini menjadi napas:
suara yang tak hanya memanggil,
tetapi juga menggugat dan menyembuhkan—
agar merdeka bukan sekadar angka,
melainkan jiwa yang selalu tumbuh.

Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025

/2/

WAJAH NEGERIKU DI CAKRAWALA TROPIS

Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, ACC SHILA, KEAI, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Wahai dunia,
Wajah negeriku terlukis di cakrawala tropis:
sawahnya kitab berbaris hijau,
padi menunduk dengan rendah hati,
rimbanya mantra yang dibacakan angin membawa aroma khas perbukitan dan gunung berapi,
sungainya tasbih menetes bening,
mengalir bagai saluang Minangkabau memanggil rantau,
mengalir bagai suling Dayak di malam bulan purnama,
gunungnya dzikir mengepul kabut,
seperti dupa di pura Bali, lautnya ayat tak henti bergemuruh,
menyerukan beribu nama Tuhan dalam bahasa ombak.

Langit menorehkan merah-putih dengan kuas badai dan cahaya.
Burung-burung migran berpesan dari hulu angin:

“Merdeka bukan pesta sesaat, melainkan akar beringin yang mencari air kesetiaan di sumur bumi terdalam.”

Wajah negeriku—
cahaya dan luka sejarah yang seutuhnya belum selesai ditulis,
namun setiap lembarnya dihiasi ukiran batik,
songket,
dan tenun dari serat seribu pulau.

Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025

/3/

WAJAH NEGERIKU DAN TUBUH SEJARAH

Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, ACC SHILA, KEAI, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Di nadi beringin tua masih berdenyut darah pahlawan,
dengan nyali bambu runcing,
dengan mantra keris Jawa dan rencong Aceh yang diselubungi doa nenek moyang.

Masih berdenyut semangat para syuhada,
dan masih tergenang air mata rakyat jelata berjuang dan bertahan demi kata “merdeka”.

Di aroma cengkeh dan pala tertidur jejak VOC dan kapal perang,
namun juga wangi upacara adat Maluku yang menginspirasi.
Di ombak Nusantara masih bergema:
jerit tangis dan
teriakan semangat para nelayan Bugis dan Bajo,
yang menjadikan perjuangan di laut sebagai jalan menuju kebebasan.

Berpuluh tahun kita merdeka—
namun kata merdeka kadang cahaya membelah kabut,
kadang hanya gema letih di pasar yang lengang,
tempat ibu-ibu Minahasa menjual hasil kebun dengan doa yang tersimpan di dalam bakul anyaman.

Anak-anak menulis Indonesia di pasir pantai, ombak menjilati hurufnya,
membawanya ke samudra luas agar dunia membaca.
Ibu-ibu menanak kesabaran di tungku rumah berdinding bambu,
asapnya naik menjadi doa ke langit,
bercampur dengan asap dupa dari pura dan vihara,
dengan dengung azan dari surau dan langgar,
dengan khutbah masjid, gereja, dan rumah ibadah lainnya.

Pemuda-pemuda menggenggam bara perlawanan,
seperti debus Banten menahan api,
seperti reog Ponorogo menahan badai,
meski angin bersekutu memadamkannya, mbara itu tetap menjadi api—
api yang pantang menyerah untuk:
melawan semua bentuk penjajahan,
melawan semua ilusi dan tipuan yang datang silih berganti.

Wajah negeriku—
peluh, luka, dan harapan yang diukir di tubuh sejarah,
dengan tinta darah dari jiwa ke jiwa.

Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025

/4/

WAJAH NEGERIKU – CERMIN RIMBA RAYA

Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, ACC SHILA, KEAI, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Wajah negeriku adalah cermin rimba raya,
tempat roh nenek moyang masih bernafas dalam tarian topeng, wayang kulit,
dalam gendang Tifa, kolintang, dan kendang Sunda,
dalam seruling yang memanggil hujan di ladang-ladang yang merindu panen.

Di dalamnya tersimpan api kecil,
api yang tak tunduk pada musim.
Api itu menyala seperti obor Moyo di NTT,
seperti lilin Cap Go Meh di Singkawang,
seperti pelita Idul Fitri di ranah Minangkabau.
Api yang berkata:

“Merdeka bukan angka di kalender, bukan slogan di bibir penguasa, bukan kembang api di langit malam, melainkan jiwa yang diwariskan dari gendang perang ke doa damai.”

Wajah negeriku adalah perjalanan roh:
mengalir di urat-urat tanah,
berdenyut di aliran sungai,
menyala di mata anak-anak yang menari tarian Kecak,
yang melantunkan syair Gurindam,
yang menggambar merah putih di atas daun lontar.

Dan tanah yang berbicara dalam bahasa akar:
“Jika engkau melupakan kasih kemanusiaan, merdekamu hanyalah bayangan yang kehilangan cahaya.”

Wajah negeriku—
cermin rimba raya,
memantulkan kebebasan sebagai napas kasih sesama anak bangsa,
tak boleh diputus atau ditebang oleh tangan siapa pun yang merasa adidaya.

Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025

/5/

WAJAH NEGERIKU DARI CEEMIN SAMUDRA

Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, ACC SHILA, KEAI, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Delapan puluh tahun merdeka—
wajah negeriku masih menatap anak cucunya dari cermin samudra,
dari riak Malaka hingga arus Banda,
dari gelombang Seram hingga ombak Sawu,
lalu bertanya dengan suara arus purba:

“Beranikah engkau menatapku tanpa berpaling,
dengan mata sebening embun di puncak Jayawijaya,
dengan dada seluas Samudra Hindia?”

Samudra itu menampakkan wajahnya dalam layar pinisi yang merajut angin,
dalam perahu Sandeq Mandar yang memotong gelombang seperti doa tak kenal gentar,
dalam nyanyian Saman yang bergema serentak menjadi denyut samudra manusia.

Beranikah engkau menjaga nyala kecil hingga menjelma matahari,
seperti bara dari bara yang diwariskan leluhur,
seperti ombak yang tak pernah tidur menjaga garis pantai,
seperti cahaya bulan yang ditimba nelayan ke dalam jala?

Dan kami menjawab,
dengan darah yang mengalir di urat Kapuas,
dengan jiwa yang melekat di batu karang Banda,
dengan cinta yang bersembunyi di janur kuning dan daun lontar, dengan mantra yang dijahit di tiap jaring nelayan Bugis dan Bajo.

Merdeka bukanlah ujung,
ia adalah jalan tanpa ujung:
jalan air yang terus mencari laut,
jalan burung Maleo pulang ke sarang,
jalan matahari yang lahir kembali di ufuk timur setiap pagi.

Hingga wajahmu,
wahai negeriku,
tak lagi menitikkan air mata,
tetapi bersinar seperti cahaya kosmik,
seperti mercusuar di samudra gelap,
seperti bintang laut di dasar ombak,
seperti doa seluruh jagat yang menjelma suluh kemanusiaan.

Wajah negeriku dari cermin samudra—
ia bukan sekadar pantulan,
ia adalah nyali dan energi yang tak henti menyuarakan:

“Jaga kasih kemanusiaan dan perdamaian,
sebab hanya kasih dan damai yang dapat menjaga laut dari karam,
dan menjaga bangsa dari tenggelam.”

Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025

/5/

BUKAN HANYA SAWAH DAN SAMUDRA

Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, ACC SHILA, KEAI, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Wajah negeriku bukan hanya sawah,
sungai dan samudra,
bukan hanya darah dan doa,
bukan hanya rimba dan roh, melainkan suluh kemanusiaan yang menyala dari rahasia semesta.

Tanah memberi tubuh,
darah memberi daya,
roh memberi arah,
samudra memberi kebebasan.
Keempatnya menjelma satu tubuh,
satu jiwa bernama Indonesia.

Delapan puluh tahun merdeka—
bukan akhir
perjalanan,
melainkan lingkaran yang terus berputar,
seperti alat musik nusantara yang tak henti berpadu dan mengalunkan perjuangan dan kerinduan akan keadilan dan kesejahteraan.

Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025

/6/

ARTI MERDEKA BAGI BANGSA INI

Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, ACC SHILA, KEAI, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Delapan puluh tahun merdeka—
bukan akhir perjalanan,
melainkan lingkaran yang terus berputar,
seperti alat musik nusantara yang tak henti berpadu,
mengalunkan perjuangan dan kerinduan akan keadilan dan kesejahteraan,
seperti bintang yang menyalakan malam-malam panjang kemanusiaan,
seperti ombak yang merangkul pantai tanpa mengenal lelah.

Dan jika kelak dunia bertanya apa arti merdeka bagi bangsa ini,
biarlah jawabannya terucap dari lidah gunung,
dari napas sungai,
dari nyanyian laut,
dan dari akar pohon yang bersuara:

“Merdeka adalah kasih kemanusiaan—
kasih yang menolak dibungkam,
kasih yang menolak dilupakan,
kasih yang menolak dimatikan.”

Wajah negeriku—cahaya tropis, tubuh sejarah, rimba raya, dan samudra kosmik—
adalah satu suara,
satu nyala,
satu puisi,
yang terus menggemakan: INDONESIA.

Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025

/7/

CINTA DAN MERDEKA

Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, ACC SHILA, KEAI, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Wajah negeriku bukan sekadar tanah dan langit,
bukan sekadar darah dan doa,
melainkan gelombang waktu yang mengalir dari rahim sejarah ke masa depan,
menjadi nadi yang tak pernah berhenti berdetak di dada anak bangsa.

Di sini, suara butiran pasir adalah cerita,
suara dedaunan rimba adalah syair,
tiap ombak yang menabrak karang adalah doa,
tiap bisikan angin adalah sumpah—
bahwa merdeka bukan sekadar kata,
melainkan jiwa yang terus menyalakan obor harapan dan cinta kemanusiaan.

Di balik setiap senyum anak,
di balik tetes peluh petani, di balik langkah pemuda yang menembus badai,
ada suara yang tak pernah lelah:
suara kemerdekaan yang mengalir dalam darah,
napas, dan ingatan bangsa.

Wajah negeriku bukan hanya apa yang tampak,
tapi juga yang tak tampak:
roh yang berkelana di antara bayang-bayang sejarah,
cahaya yang menembus kabut ketidakadilan,
dan energi yang mengubah luka menjadi puisi.

Biarlah puisi ini menjadi mercusuar bagi semua yang mendambakan keadilan, kesejahteraan,
dan perdamaian.
Biarlah setiap kata menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan,
antara manusia dan manusia,
antara manusia dan alam semesta.

Karena merdeka sejati adalah ketika setiap anak bangsa mampu menatap dunia dengan mata jernih,
hati yang penuh kasih,
dan tangan yang siap membangun,
bukan menghancurkan.

Dan ketika semua suara bersatu—
dari gunung hingga samudra,
dari rimba hingga kota—
maka terbukalah wajah sejati negeriku:
Indonesia, tanah cinta, tanah merdeka, tanah ibu pertiwi.

Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025

———————————
Tentang Penulis:

Leni Marlina merupakan penulis, penyair, dan akademisi kelahiran Baso, Agam, Sumatera Barat, yang kini menetap di Padang, Indonesia. Ia aktif sebagai anggota SATU PENA (Asosiasi Penulis Indonesia) cabang Sumatera Barat sejak 2022. Selain itu, ia juga tercatat sebagai anggota World Poetry Movement (WPM-Indonesia). Ia juga dipercaya sebagai Duta Puisi Indonesia untuk ACC Shanghai Huifeng International Literary Association (ACC SHILA) di bawah kepemimpinan Anna Keiko. Leni juga pernah tercatat sebagai anggota penulis Victoria di Australia.

Kecintaannya pada dunia sastra membawanya menulis buku antologi puisi bilingual “The Beloved Teachers”, “L-BEAUMANITY (Love, Beauty and Humanity)”, serta sejumlah buku “English Stories for Literacy”. Atas kiprah literernya, ia dianugerahi penghargaan sebagai Penulis Terbaik Tahun 2025 dari SATU PENA Sumatera Barat. Penghargaan tersebut diberikan dalam Gala Dinner Festival Literasi Internasional Minangkabau ke-3 (IMLF-3).

Sejak tahun 2006, Leni mengabdikan diri sebagai dosen di Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang. Hampir dua dekade ia konsisten mendidik dan menginspirasi generasi muda melalui dunia akademik. Di luar kampus, Leni aktif menulis sebagai jurnalis lepas, editor, redaktur, dan kontributor di media lokal, nasional, maupun internasional. Beberapa puisinya juga dipublikasikan secara digital dan umumnya dapat diakses publik melalui laman https://suaraanaknegerinews.com/category/puisi-leni-marlina-bagi-anak-bangsa. Ia percaya bahwa menulis adalah medium untuk berbagi, menginspirasi, dan memperluas cakrawala kemanusiaan. Karena itu, ia mendirikan serta membina berbagai komunitas sosial, sastra dan literasi berbasis digital. Beberapa di antaranya adalah PPIPM-Indonesia (Pondok Puisi Inspirasi Pemikiran Masyarakat), Poetry-Pen International Community (PPIC), Literature Talk Community (Littalk-C), dan English Language Learning, Literacy, and Literary Community (EL4C). Melalui komunitas-komunitas tersebut, Leni berupaya menjembatani semangat sastra dan literasi lintas generasi.

“THE VOICE AND FACE OF MY NATION”: Poetry Anthology by Leni Marlina (UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – West Sumatra, KEAI, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia)