Oleh Anto Narasoma
–
PERANCANG kebaya ternama Indonesia –Anne Avantie– akan selalu komitmen untuk mempertahankan nilai-nilai tradisi non lisan terkait baju kebaya.
——————-
Meski dalam kehidupan sehari-hari sudah jarang terlihat adanya wanita Indonesia yang mengenakan baju kebaya, namun Anne Avantie akan tetap menciptakan dan memproduksi baju kebaya dengan desain terbaru.
Apapun persoalannya, Anne tak peduli. Ia akan tetap menggeluti corak baju kebaya yang disesuaikan dengan perkembangan zaman, peruntukkan dan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Sebab baju kebaya adalah bentuk tradisi non lisan yang hidup matinya harus dipertahankan. “Saya akan mengajarkan ke masyarkat bahwa membuat baju kebaya itu tak harus melalui teknis semata, tapi harus lewat hati,” ujar Anne Avantie, tersenyum.
Namun jika melihat keadaan cara berbusana wanita kita terkait baju kebaya, ibarat daging sapi yang dimasak di atas pemanggangan yang jauh dari api.
Jika menyaksikan kondisi saat ini, tampaknya kita sudah kehilangan tradisi milik kita sendiri. Dalam keseharian, wanita kita sudah sangat jauh dari tradisinya sendiri, yakni baju kebaya.
Dulu, di bawah tahun 1980-an, masyarakat kita sangat lekat dengan tradisi asli sebagai wanita Indonesia. Sekarang, saya sangat sulit melihat wanita dengan pola tradiasi masa lalunya.
Aksesoris yang dikenakan sangat berbeda dibanding kebiasaan diwaktu saya kecil dulu. Wanita kita tampak ayu dengan kebiasaan berkebaya dan berkain batik, meski dalam.kondisi hidup sederhana.
Saya tak menyalahkan mereka ketika wanita mengenakan hijab dan pakaian Islam. Karena sebagai pemeluk agama yang direstui Allah SWT, wanita memang wajib menutupi tubuh dengan kain jilbab.
Namun dengan pola pakaian seperti itu, wanita sudah kehilangan nilai tradisi aslinya sebagai wanita Indonesia dari suku mana pun. Aku tak mampu berbicara banyak tentang kondisi itu. Karena kehidupan manusia adalah nilai kebiasaan berbalut tradisi aslinya.
Masih segar dalam ingatan ketika ibuku begitu cantik mengenakan kebaya warna merah dengan kain renda yang unik dan artistik.
Sementara untuk bawahan, ibu mengenakan kain batik dan sendal bertukak sederhana. Sedangkan kepalanya yang disanggul dengan pernak-pernik bunga melati di kiri samping, di atas terlinganya kian mempercantik tampilan ibunda.
Bahkan dengan kain kerudung yang disesuaikan dengan busananya, tampilan ibu benar-benar memberikan nilai yang mengagumkan masyarakat (dunia).
Sekarang, semua itu raib. Hilang dari kehidupan sehari-hari. Saya hanya melihat hampir semua wanita mengenakan pakaian hijab. Tak ada lagi baju kebaya. Tak terlihat lagi kain batik yang dikenakan wanita.
Aku seolah berada di ruang berbeda yang tak lagi melibat wira-wirinya wanita berkebaya dan berkain batik yang cantik dan anggun.
Jika sudah seperti ini, aku merasa sudah kehilangan tradisi busana yang mengangkat nilai dan harga diri wanita Indonesia di masa lalunya.
Lalu siapa yang harus bertanggung jawab dengan “lenyapnya” baju tradisi masyarakat kita? Apakah karena benturan tradisi Amerika atau Eropa membuat busana kebaya terlihat kuno dan tidak layak lagi digunakan?
Apakah karena adanya kebijakan kepercayaan bahwa tubuh wanita harus tertutup rapat tanpa celah yang boleh terlihat oleh orang lain selain suaminya sendiri?
Saya pernah mendengar pidato Presiden Soekarno yang mengatakan, ” Kalau kalian beragama Hindu, janganlah jadi India. Kalau kau beragama Islam, jangan jadi orang Arab, kalau kalian beragama Kristiani, jangan jadi orang Yahudi….”
Saya pikir apa yang dikatakan Bung Karno itu ada benarnya. Sebab aturan hidup dalam prioritas keyakinan kita akan mengubah cara pandang, cara bersikap, dan cara berbusana. Suasana inilah yang membuat baju kebaya dan kain batik sudah banyak yang meninggalkannya. Padahal busana itu merupakan bentuk fisik tradisi yang sangat mahal. Nilainya tak dapat ditarakan dengan harga uang. Karena itu harga diri yang paling mahal. Sebab takarannya adalah mati !
Baju kebaya merupakan warisan non lisan yang tercatat sebagai warisan bangsa. Dari zaman penjajahan dahulu, masyarakat kita sudsh berkukuh untuk tetap melekatkan wilayah tradisi kebaya di tubuh seorang wanita. Bahkan noni-noni Belanda (penjajah) ikut mengenakan kebaya yang disesuaikan dengan mode yang dianggap modern saat itu.
Karena itu saya heran melihat wanita Indonesia saat ini jarang ada yang mau mengenakan baju kebaya sehari-hari?
Padahal seperti dikatakan seorang pakar kebaya dari Yogyakarta, Sapto Djojokartiko, seorang wanita akan terlihat cantik dan anggun ketika ia mengenakan baju kebaya. Bahkan suasana ke-Indonesia-an akan jelas terasa apabila di antara semua wanita kita dengan bangganya mengenakan kebaya dan kain batik. Itu kita rasakan pada dekade tahun 1960-an ke bawah.
Sebelum kita meninggalkan busana kebaya sebagai bentuk tradisi sosial yang begitu lekat dengan emosi kepribadian wanita Indonesia, ada baiknya kita memperhatikan “kekayaan” yang memang milik kita. Sebab seperti dikatakan Anne Avantie, ketika ia merancang kebaya, tak hanya mengedepankan teknik sebagai kekayaan aksesoris kebaya, tapi lebih mengarah ke tautan hati.
Jika dilakukan dengan landasan hati, maka hasil kerya kebaya yang Anne rancang benar-benar menarik. Bahkan jika dirumuskan dari perkembangan mode sekarang, hasilnya sangat dikagumi masyarakat dunia.
Karena itu tak heran apabila banyak perancang yang menyontek hasil karyanya. Meski awalnya Anne Avantie marah dan tak suka ketika mode rancangannya dicontoh perancang lain, namun sekarang ia ikhlas.
“Itu artinya, apa yang saya lakukan diterima dan bisa dinikmati masyarakat,” ujar Anne Avantie, tersenyum.
Palembang
17 Juli 2023






