Menghadiri Eksibisi dan Konferensi Minyak Internasional ADIPEC, 3–6 November 2025 (5)

Oleh Denny JA

Pagi itu, seorang anak kecil di Lagos, Nigeria, menatap lampu minyak yang hampir padam. Ia menunggu listrik yang sudah tiga hari tak menyala.

Di seberang benua, di Jerman, seorang ibu menatap tagihan listriknya yang membengkak sejak perang Ukraina mengguncang pasokan gas.

Sementara di Jakarta, seorang mahasiswa menatap langit kelabu di atas kampusnya, bertanya dalam hati: mengapa untuk hidup nyaman, bumi harus terus terluka?

Tiga wajah, tiga tempat, satu kegelisahan yang sama: kita ingin energi yang cukup, murah, dan bersih, sekaligus.

Itulah inti dari trilema energi. Sebuah simpul rumit yang mengikat tiga impian besar peradaban modern: ketahanan energi, keterjangkauan energi, dan keberlanjutan lingkungan.

Ketahanan energi berarti memastikan pasokan selalu tersedia, bahkan ketika krisis dan konflik melanda.

Keterjangkauan berarti harga energi tidak menjadi beban berat bagi masyarakat.

Dan keberlanjutan berarti setiap kilowatt listrik, setiap barel minyak, tidak lagi meracuni udara atau mempercepat perubahan iklim.

Namun, tiga hal ini jarang bisa berjalan beriringan. Inilah dilema besar abad ke-21 yang menjelma trilema global.

-000-

Bayangkan sebuah timbangan dengan tiga sisi. Saat satu sisi naik, sisi lainnya turun. Jika negara terlalu fokus pada keamanan energi, ia harus memperbanyak eksplorasi dan penggunaan fosil, tapi menunda target emisi.

Jika ia mendorong energi hijau, biaya produksi meningkat, membuat energi sulit dijangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Dan jika ia hanya mengejar harga murah, inovasi dan investasi jangka panjang menjadi korban.

Inilah sebabnya ia disebut trilemma, bukan dilemma. Karena bukan hanya dua nilai yang bertentangan, tapi tiga kekuatan moral, ekonomi, dan ekologis yang terus saling menarik.

Kita hidup dalam dunia di mana tidak ada solusi sempurna, hanya keseimbangan yang harus dicari dengan kebijaksanaan.

-000-

Dalam forum Global Energy Outlook di ADIPEC 2025, para pemimpin energi dunia, dari IEA, API, TotalEnergies, hingga perwakilan Tiongkok dan Ekuador, sepakat bahwa ketiga pilar ini tetap vital. Namun urutannya kini bergeser.

Akibat perang Ukraina, ketegangan di Timur Tengah, dan inflasi global, keamanan energi kini menjadi prioritas tertinggi.

Dunia kembali mengutamakan kepastian pasokan listrik dan bahan bakar, bahkan jika harus menunda sebagian agenda hijau.

Di bawahnya menyusul keterjangkauan energi, karena harga yang melonjak telah menekan ekonomi dan rumah tangga.

Sementara itu, keberlanjutan lingkungan sementara bergeser ke urutan ketiga. Bukan karena dilupakan, tetapi karena krisis telah menegaskan kembali naluri dasar manusia: bertahan hidup dulu, baru bermimpi.

Di ruang konferensi ADIPEC, jajak pendapat spontan memperlihatkan hasil yang senada.

Mayoritas peserta menempatkan energy security di posisi teratas. Dunia seakan mengakui bahwa idealisme harus menyesuaikan diri dengan realitas yang keras.

-000-

Setiap negara pun menulis ulang prioritasnya sendiri. Amerika Serikat terbelah dalam politik energi. Ketika Partai Republik berkuasa, fosil kembali diglorifikasi.

Ketika Demokrat memimpin, transisi hijau menjadi agenda utama. Namun berkat revolusi shale gas, AS tetap menjadi jangkar stabilitas energi dunia.

Eropa masih berjuang mengatasi trauma pasca krisis gas Rusia. Mereka mempercepat pembangunan terminal LNG dan investasi energi terbarukan.

Namun di balik panel surya dan turbin angin, ada kesadaran bahwa tidak semua energi hijau bisa diandalkan sepanjang tahun, terutama di musim dingin.

Sementara Tiongkok mengambil jalan evolusioner. Pada 1990-an, fokus mereka adalah energi murah untuk industrialisasi.

Pada 2010-an, mereka mulai menekankan keberlanjutan. Kini, setelah pandemi dan konflik global, mereka kembali menempatkan keamanan energi di urutan pertama.

Mereka menandatangani kontrak pasokan jangka panjang dari Timur Tengah hingga Afrika, sekaligus tetap memimpin dunia dalam teknologi surya dan kendaraan listrik.

Setiap negara memikul sejarah, kondisi, dan tantangan yang berbeda. Namun semuanya terikat dalam benang merah yang sama: trilema energi adalah medan tarik menarik yang tak bisa dihindari.

-000-

Lalu muncul pertanyaan yang menggema di setiap forum di Abu Dhabi: Apakah energi hijau akan menggantikan energi fosil, atau justru hanya menambahkannya?

Pertanyaan ini melahirkan dua konsep besar: energy transition versus energy addition.

Dalam skenario transition, energi hijau perlahan menggantikan bahan bakar fosil. Namun dalam addition, energi hijau hanya menambah kapasitas, sementara fosil tetap menjadi tulang punggung utama.

Kenyataannya, sebagian besar negara masih hidup di dalam paradigma addition. Amerika dan Norwegia terus memperluas ekspor LNG untuk memenuhi permintaan Asia.

Tiongkok membangun pembangkit gas sambil memperbanyak panel surya.

Bahkan Eropa, simbol ambisi hijau dunia, masih menempatkan gas dan nuklir sebagai bagian dari “energi peralihan.”

AI, mobil listrik, dan pusat data raksasa memang membutuhkan daya stabil — bukan sekadar daya bersih. Seorang pakar di ADIPEC berkata jujur: “Natural gas, once a bridge fuel, is now becoming a forever fuel.”

Jembatan yang dulu dirancang sementara itu ternyata menjadi jalan panjang yang tak berujung.

-000-

Diskusi di Abu Dhabi memantulkan kenyataan baru: tanpa kebijakan yang stabil, investasi jangka panjang, dan keterlibatan realistis dari industri minyak dan gas, transisi energi hanya akan menjadi slogan tanpa daya.

Dunia membutuhkan pendekatan yang seimbang, bukan ekstrem.

Gas alam kini diakui sebagai pondasi penting menuju masa depan. Lebih bersih dari batu bara, namun cukup kuat menopang pertumbuhan ekonomi.

Di tengah pergeseran geopolitik, gas menjadi jembatan yang menghubungkan kepentingan ekonomi, iklim, dan kemanusiaan.

Dari ruang-ruang ADIPEC yang penuh cahaya, dari layar data yang menampilkan grafik produksi dan emisi, muncul kesadaran baru: transisi energi bukan hanya soal mengganti sumber daya, tetapi menemukan titik temu antara bumi, bisnis, dan manusia.

-000-

Kita semua menginginkan dunia yang hijau, udara yang bersih, dan energi yang murah. Tetapi dunia tak pernah memberi semua itu sekaligus. Energi adalah darah peradaban, dan setiap tetesnya membawa dilema moral.

Trilema energi mengajarkan satu hal penting: bahwa kemajuan sejati bukan tentang memenangkan satu sisi, melainkan menyeimbangkan tiga nilai besar: keamanan, keadilan ekonomi, dan tanggung jawab lingkungan.

Seperti Abu Dhabi yang lahir dari padang pasir dan kini menjadi pusat inovasi global, dunia pun sedang menapaki jalannya sendiri.

Ini bukan menuju satu ekstrem, melainkan menuju titik tengah, tempat akal dan empati saling berpelukan.

Karena pada akhirnya, masa depan energi bukan semata tentang mesin, angka, atau data, tetapi tentang bagaimana kita memilih untuk hidup di planet ini — dengan kebijaksanaan dan cinta pada kehidupan itu sendiri.

Abu Dhabi 5 November 2025

Referensi:

1. ADIPEC 2025 Global Energy Outlook Panel Discussion

2. International Energy Agency (IEA), World Energy Outlook 2024

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1FZzTJLaCM/?mibextid=wwXIfr