Menghadiri Eksibisi dan Konferensi Minyak Internasional ADIPEC, 3–6 November 2025 (4)

Oleh Denny JA

Pagi itu, di tengah gurun yang memantulkan cahaya keemasan, sebuah drone terbang rendah di atas kompleks kilang minyak ADNOC di Abu Dhabi.

Ia bukan sekadar alat pemantau, melainkan “mata digital” yang diawasi oleh sistem kecerdasan buatan.

Dari ribuan kilometer jauhnya, seorang operator di Houston memantau layar yang menampilkan data real-time: suhu pipa, tekanan sumur, potensi kebocoran, dan prediksi perawatan.

AI kini tak hanya mengamati; ia memutuskan. Dalam keheningan yang sunyi itu, seolah dunia energi baru telah dimulai.

Tapi ini bukan lagi dipimpin oleh insting manusia, melainkan oleh algoritma yang mampu belajar sendiri.Begitulah wajah energi di tahun 2025: efisien, cepat, dan terkoneksi lintas benua.

Di sinilah saya menyadari betapa konferensi minyak internasional ADIPEC tahun ini bukan sekadar ajang pamer teknologi, melainkan refleksi tentang arah masa depan peradaban energi.

-000-

Abu Dhabi menjadi episentrum dunia energi. Dalam ruangan besar di International Convention Center, ribuan pemimpin industri, ilmuwan, dan investor berkumpul di bawah tema besar: “Energy. Intelligence. Impact.”

Tema itu terasa bukan sebagai jargon, melainkan kredo baru yang menandai titik balik sejarah.

Dulu, setiap revolusi energi lahir dari bahan mentah: batu bara, minyak, gas. Kini, bahan mentahnya adalah data.

Konferensi ini menghadirkan lebih dari 1.800 pembicara dan 16.500 delegasi dari berbagai belahan dunia.

Mereka berbicara dalam 380 sesi yang merentang dari kebijakan global hingga etika penggunaan AI.

Mereka tidak hanya mendiskusikan “bagaimana menambang minyak”, tetapi juga “bagaimana menambang makna.”

Yaitu membaca pola dari jutaan data produksi, cuaca, dan konsumsi untuk menentukan arah bisnis minyak yang lebih cerdas dan berkelanjutan.

-000-

Upacara pembukaan, pada 3 November 2025, adalah peristiwa yang megah dan simbolis.

Saya hadir di pembukaan dengan kursi yang sangat terbatas untuk para pemimpin energi dunia. Bersama pimpinan Pertamina dan SKK Migas, kami hadir untuk belajar dan membangun partnership.

Sosok-sosok besar berdiri di atas panggung: Dr. Sultan Al Jaber dari ADNOC, Prince Abdulaziz bin Salman Al Saud dari Arab Saudi, Danielle Smith dari Alberta. Juga hadir Patrick Pouyanné dari TotalEnergies, hingga Daniel Yergin, sejarawan energi yang tajam.

Tema pembuka, “Geopolitics, Strategic Resilience & Energy Security,” terasa menggema seperti doa bersama umat energi dunia.

Cahaya biru tua melambangkan ketenangan samudra minyak. Sedangkan pancaran putih dari lampu laser yang menari di langit-langit melambangkan kecerdasan manusia yang sedang mencari arah.

Ketika layar raksasa menampilkan peta dunia yang terhubung oleh jaringan cahaya dari Abu Dhabi ke semua benua, hadirin tahu: dunia energi sedang menulis ulang peta kekuasaannya.

Kinu AI sebagai pena, dan data sebagai tintanya.

-000-

Untuk pertama kalinya, ADIPEC menjadikan Artificial Intelligence sebagai pusat gravitasi diskusi.

Sesi bertajuk “Unlocking AI in Energy: Scaling Intelligence with Confidence” memaparkan bagaimana AI kini bukan sekadar alat bantu, melainkan navigator industri minyak.

Perwakilan dari Microsoft, Cisco, hingga AIQ (anak perusahaan ADNOC) menjelaskan algoritma yang dapat memprediksi lokasi sumur potensial dengan presisi 92%.

Sensor-sensor di rig laut kini mampu “berbicara” dengan supercomputer di daratan.
Sementara di laboratorium riset, AI mempelajari ratusan ribu kombinasi bahan kimia untuk mengembangkan katalis baru yang dapat memangkas emisi karbon hingga 40%.

Namun, di balik euforia itu muncul paradoks: semakin cerdas sistem energi kita, semakin besar pula energi yang dikonsumsi pusat data global.

AI, seperti manusia, memerlukan “makanan”—dalam hal ini, listrik dalam jumlah masif.

Konferensi pun berubah menjadi perenungan global: bagaimana membuat kecerdasan buatan tidak menjadi makhluk rakus yang justru mempercepat krisis energi?

-000-

Di panggung lain, suara lantang Lord John Browne menggema:

“Kita memasuki era di mana keberlanjutan bukan lagi pilihan moral, melainkan syarat investasi.”

Sesi bertajuk “Big Bets and Bold Capital” membahas bagaimana modal global mengalir ke energi baru: hidrogen, LNG, nuklir mini, hingga carbon capture storage.

Para pemodal besar seperti Amos Hochstein dari TWG Global dan Christopher James dari Engine No.1 menekankan satu hal:

masa depan energi akan dimenangkan oleh mereka yang mampu menyatukan teknologi, etika, dan kecerdasan finansial.

Kapital kini bukan hanya mencari laba, tetapi juga legacy.

Investor masa depan akan menuntut laporan bukan sekadar profit margin, tetapi juga carbon margin.

Dan di tengah pusaran ini, AI menjadi alat paling ampuh untuk mengukur, menafsirkan, dan merancang kebijakan bisnis yang lebih bertanggung jawab.

-000-

Berbeda dari konferensi minyak masa lalu yang statis dan formal, ADIPEC 2025 dirancang seperti laboratorium pemikiran.

Di ruang-ruang “Fishbowl Session”, pembicara duduk melingkar di tengah audiens.
Percakapan mengalir bukan dari podium ke kursi penonton, melainkan dari hati ke hati.

Sementara di “AI-Enabled Executive Boardroom”, para peserta berinteraksi langsung lewat tablet.

Ia mengirimkan analisis dan pertanyaan yang langsung dibaca sistem berbasis AI di layar utama.

Sebagai moderator, AI memetakan opini peserta secara real-time: peta pikiran global tentang arah energi masa depan.

Tidak ada lagi batas antara pembicara dan pendengar, antara perusahaan besar dan startup kecil. Semua terhubung oleh satu bahasa universal: intelligence.

-000-

Dari seluruh agenda, ADIPEC tahun ini menyusun sepuluh pilar strategis:
Global Strategy, Decarbonisation, Finance & Investment, Natural Gas & LNG, Digitalisation & AI, Downstream & Chemical, Hydrogen, Maritime & Logistics, Emerging Economies, dan Diversity & Leadership.

Tiga pilar baru: Hydrogen, Emerging Economies, dan Diversity Leadership, menandai arah baru dunia energi: inklusif, inovatif, dan berkeadilan.

Dalam setiap sesi, kata “kolaborasi” terdengar seperti mantra.
Karena energi hari ini bukan lagi soal siapa yang memiliki minyak, melainkan siapa yang memiliki mindset.

-000-

Di luar ruang konferensi, 30 paviliun negara berdiri megah.
Dari paviliun Norwegia yang memamerkan offshore robotics, hingga paviliun Indonesia.

Saya berhenti lama di paviliun Jepang.: sebuah layar besar menampilkan simulasi laut biru dengan ribuan titik cahaya yang menandakan jaringan pipa pintar bawah laut.

Di sini saya sadar: dunia sedang berpindah dari era “minyak sebagai sumber daya” menuju “data sebagai sumber kuasa.”

Kita tak lagi hanya menambang minyak dari bumi, tetapi juga menambang makna dari miliaran bit data.

-000-

AI di dunia energi bukan sekadar alat teknis; ia adalah cermin moral. Ia meniru pola alam: belajar dari data, berevolusi dari kesalahan, dan berusaha mencapai keseimbangan.

Namun seperti manusia, ia juga bisa tersesat jika kehilangan tujuan.

ADIPEC 2025 memberi pelajaran mendalam:
masa depan energi bukan hanya ditentukan oleh seberapa banyak kita bisa menghasilkan listrik,
tetapi seberapa arif kita menggunakannya untuk kehidupan.

Di tengah sorotan layar, di antara deru mesin dan kilau data, saya teringat satu hal:
teknologi hanya secerdas niat manusia di baliknya.

Dan mungkin, di era AI ini, tugas terbesar manusia bukan lagi menciptakan mesin yang berpikir,
tetapi menjaga agar pikirannya tetap manusiawi.

-000-

Menjelang senja, gurun kembali tenang. Di kejauhan, matahari menurun di balik panel surya dan menara kilang.

Saya berdiri di balkon gedung konferensi, memandang cahaya jingga yang memantul di kaca pencakar langit.

Saya sadar, dunia sedang menulis ulang narasi energinya.
Minyak tak lagi hanya “emas hitam”; ia kini bersekutu dengan kecerdasan buatan, menandai bab baru sejarah.

Ini era ketika algoritma menjadi navigator ekonomi dunia.
Dari Abu Dhabi, perjalanan ini dimulai.

Dan di setiap denyutnya, manusia ditantang untuk tidak hanya menjadi pengguna energi, tetapi juga penjaga kesadarannya.***

Abu Dhabi, 4 November 2025

REFERENSI

1. Daniel Yergin. The New Map: Energy, Climate, and the Clash of Nations. Penguin Press, 2020.

2. Amy Webb. The Big Nine: How the Tech Titans and Their Thinking Machines Could Warp Humanity. PublicAffairs, 2019.

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/17J3T2vkji/?mibextid=wwXIfr