Prof. Dr. Ir. Agustinus Purna Irawan, M.T., M.M., IPU., ASEAN Eng. Ketua Umum Ikatan Dosen Katolik Indonesia

Laporan: Paulus Laratmase

Pembangunan manusia di Tanah Papua menuntut pendekatan yang tidak hanya berorientasi pada infrastruktur dan ekonomi, tetapi juga berakar pada budaya dan kearifan lokal. Dalam semangat itu, Ikatan Dosen Katolik Indonesia (IKDKI) Wilayah Papua Selatan menyelenggarakan webinar bertajuk “Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Lokal untuk Mendukung Keberhasilan Program Strategis Nasional di Provinsi Papua Selatan” pada 17 Oktober 2025, menghadirkan Prof. Dr. Ir. Agustinus Purna Irawan, M.T., M.M., IPU., ASEAN Eng. sebagai narasumber utama. Dalam paparannya, Prof. Agustinus menegaskan bahwa SDM Papua harus menjadi subjek aktif pembangunan, bukan sekadar objek kebijakan. Pembangunan Papua Selatan, menurutnya, hanya akan berhasil bila dilakukan melalui integrasi antara pendidikan, teknologi tepat guna, dan nilai-nilai adat yang memperkuat karakter serta daya saing masyarakat. Kegiatan ini menjadi wadah refleksi dan kolaborasi antar akademisi, tokoh adat, dan pemerintah untuk mewujudkan Papua Selatan yang maju, berbudaya, dan bermartabat.

Visi utama pembangunan SDM di wilayah ini, sebagaimana diuraikan Prof. Agustinus, adalah mewujudkan manusia yang cerdas, produktif, dan sehat  sejalan dengan slogan Gerak CEPAT. Ia menegaskan bahwa pendidikan dan pelatihan bagi Orang Asli Papua (OAP) harus berorientasi pada keterampilan praktis, inovasi teknologi tepat guna, serta penguatan nilai-nilai adat dan pelestarian budaya sebagai modal pembangunan sosial. “Kita tidak bisa bicara kemajuan Papua tanpa memastikan manusianya kuat dalam akar budayanya,” tegasnya.

Papua Selatan memiliki potensi besar di sektor perikanan, kelautan, pertanian, perkebunan, serta pariwisata alam dan budaya. Namun, potensi ini belum sepenuhnya dimanfaatkan karena berbagai hambatan struktural seperti infrastruktur yang tidak merata, keterbatasan modal dan fasilitas pelatihan, serta rendahnya akses digital dan teknologi. Tantangan sosial-budaya, seperti kebiasaan lokal dan perbedaan bahasa, juga sering kali terabaikan dalam perencanaan pembangunan nasional.

Prof. Agustinus memaparkan bahwa masalah utama pembangunan SDM Papua masih berkisar pada tiga aspek: kualitas pendidikan, kesehatan dan gizi, serta rendahnya akses pelatihan vokasional. Kondisi ini diperparah oleh kesenjangan antara nilai-nilai adat dan pendekatan pembangunan yang cenderung seragam dan kurang memahami konteks lokal. Karena itu, strategi perencanaan SDM harus berbasis pada pemetaan kebutuhan lokal, kurikulum berbasis budaya, dan kolaborasi lintas lembaga antara pemerintah, dunia usaha, perguruan tinggi, dan masyarakat adat.

Dalam kerangka implementasi, ia mengusulkan lima fase pembangunan SDM yang terencana: perencanaan, pengembangan, pelatihan, evaluasi, dan pemeliharaan. Setiap fase menekankan pentingnya pelibatan masyarakat adat sebagai mentor lokal dan penjaga nilai-nilai kultural. Prof. Agustinus mencontohkan bagaimana tokoh adat dapat menjadi pendamping pelatihan bagi generasi muda, sementara komunitas kampung berfungsi sebagai pusat pembelajaran kontekstual yang mengajarkan keterampilan bertani, melaut, atau menganyam. “Inilah model pendidikan sejati yang tumbuh dari masyarakat untuk masyarakat,” ujarnya.

Lebih jauh, Prof. Agustinus menyoroti pentingnya kemitraan lintas sektor. Pemerintah pusat dan daerah diharapkan memperkuat kebijakan pendidikan berbasis lokal, mempercepat pembangunan infrastruktur pendidikan dan digital, serta memastikan anggaran otonomi khusus benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat kampung. Sementara itu, dunia usaha didorong untuk aktif dalam pelatihan vokasi berbasis industri lokal, menyediakan beasiswa, dan membangun pusat pelatihan melalui program CSR. Perguruan tinggi, terutama yang tergabung dalam jaringan IKDKI, memiliki peran vital dalam transfer teknologi tepat guna, riset berbasis kebutuhan lokal, dan pembinaan kader pemimpin muda Papua.

IKDKI sendiri, baik di tingkat wilayah maupun pusat, sudah seyogyanya menunjukkan komitmen nyata. IKDKI Papua Selatan berperan dalam pemberdayaan masyarakat kampung melalui pelatihan literasi, pendampingan pendidikan anak di sekolah-sekolah terpencil, serta mentoring mahasiswa Katolik Papua dalam pengembangan kepemimpinan dan vokasi hidup. Sementara IKDKI pusat memperkuat kapasitas dosen lokal, mengirim dosen tamu ke Papua Selatan, dan memfasilitasi kerja sama dengan perguruan tinggi Katolik di Indonesia. “Misi intelektual IKDKI bukan saja dunia akademik, tetapi juga sosial dan spiritual,” ujar Prof. Agustinus.

Pemaparan juga menyoroti model program inovatif seperti School of Local Leadership, pelatihan vokasional berbasis kearifan lokal, digital learning untuk wilayah terpencil, dan program beasiswa bagi generasi muda. Untuk mengukur efektivitasnya, ia menawarkan indikator yang mencakup bidang pendidikan (angka partisipasi dan kualitas guru), kesehatan (penurunan stunting), ekonomi (perkembangan UMKM), dan budaya (pelestarian bahasa dan seni lokal).

Risiko yang mungkin muncul antara lain keterbatasan akses geografis, ketidaksinkronan kebijakan pusat-daerah, dan ancaman hilangnya budaya akibat modernisasi. Namun, mitigasi dapat dilakukan melalui pelibatan tokoh adat, pembangunan kapasitas instruktur lokal, serta forum koordinasi reguler antar pemangku kepentingan. Semua pihak, menurutnya, perlu memiliki kesadaran kolektif bahwa modernisasi tanpa budaya akan melahirkan pembangunan yang kering dan tidak berakar.

Sebagai penutup, Prof. Agustinus mengingatkan pentingnya mengintegrasikan budaya, kemampuan teknis, dan dukungan regulasi dalam setiap kebijakan pembangunan Papua Selatan. “Kunci keberhasilan pembangunan ada pada manusia yang berdaya, sadar budaya, dan berani berinovasi,” katanya. Ia menutup paparannya dengan kutipan dari Surat Galatia 6:2-10 ajakan untuk saling menanggung beban dan berbuat baik kepada sesama, sebagai cerminan panggilan moral dalam proses pembangunan bangsa.

IKDKI, sebagai wadah kaum intelektual Katolik, memainkan peran strategis dalam mendorong transformasi sosial yang berakar pada iman dan ilmu. Melalui penguatan karakter, literasi, dan kepemimpinan lokal, Papua Selatan diharapkan melahirkan generasi baru yang mampu memimpin perubahan — bukan sekadar mengikuti arusnya. Dengan demikian, visi SDM Papua cerdas, sehat, dan berbudaya bukan sekadar slogan, melainkan sebuah komitmen moral dan spiritual untuk membangun manusia seutuhnya demi masa depan Papua yang berdaulat dan bermartabat.