Gambar Herry Tjahjono

Oleh Redaksi | suaraanaknegerinews.com

JAKARTA Di tengah gegap gempita solidaritas untuk Palestina yang menggema dari Monas hingga mimbar-mimbar kekuasaan, negeri ini tampak lupa bahwa di belahan timur Nusantara, anak-anak Nduga sebagian WNI yang sah tengah meregang nyawa karena kelaparan.

Bendera Palestina berkibar megah di jantung ibu kota. Menteri Luar Negeri Sugiono bahkan berorasi hingga suara serak. Ratusan miliar rupiah telah dikucurkan, dan dalam waktu dekat, pemerintah berencana mengirim 10.000 ton beras ke Gaza. Ini bukan tentang menyalahkan solidaritas untuk Palestina kita semua tahu bahwa kemanusiaan lintas batas adalah kewajiban moral. Tapi pertanyaannya sederhana: di mana empati yang sama untuk Nduga?

Laporan-laporan lapangan menunjukkan bahwa musim kemarau panjang di Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan, telah memicu kelaparan massif. Akses logistik terputus. Konflik bersenjata antara TNI dan KKB menutup semua jalan bantuan kemanusiaan. Anak-anak menderita busung lapar. Ibu-ibu meminum air keruh. Tidak ada panggung. Tidak ada kamera. Tidak ada negara.

Padahal, jika berbicara soal kontribusi, Papua bukan wilayah marjinal dalam struktur ekonomi nasional. Dari tambang emas raksasa, dari kayu, dari hasil bumi dan mineral langka, Papua menyumbangkan triliunan rupiah setiap tahun ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tanpa Papua, mungkin APBN kita sudah defisit lebih dalam. Ironisnya, ketika Papua kelaparan, Jakarta diam. Ketika Nduga meminta air dan makanan, negara sibuk berpidato untuk negeri jauh di seberang.

Apa yang salah dengan kalian?

Solidaritas tidak seharusnya menjadi tontonan eksklusif yang hanya muncul ketika sorot kamera tersedia. Kita bisa berdiri untuk Gaza, tapi tidakkah lebih masuk akal bila kita lebih dulu menengok dan memeluk anak-anak sendiri? Mereka yang lahir di tanah republik ini, yang memanggil Jakarta sebagai pusat kekuasaan mereka, tapi tidak pernah merasakan kehadiran negara secara utuh.

Apakah harus ada siaran langsung dari Nduga agar Jakarta bergerak? Apakah harus ada viralitas di media sosial baru negara ini sadar? Apakah suara tangis harus dikemas dramatis agar layak ditolong?

Papua tidak minta dikasihani. Papua hanya menuntut keadilan yang setara.

Kami di Suara Anak Negeri bertanya dengan getir: Mengapa nyawa anak-anak Nduga terasa kurang penting dibanding headline luar negeri?

Mengapa beras untuk Gaza bisa dikirim cepat, tapi logistik untuk wilayah sendiri seakan tak kunjung sampai?

Mengapa kita begitu murah hati ke luar, tapi begitu pelit untuk saudara sendiri di timur sana?

Negara ini punya dua wajah: satu yang bersinar di panggung internasional, dan satu yang menyedihkan di lembah-lembah sunyi Papua. Kita bangga bersuara untuk Palestina, tapi gagal menangis untuk anak-anak Nduga yang meregang nyawa dalam diam. Ini bukan  soal politik luar negeri. Ini soal kegagalan moral sebagai bangsa.

Jika solidaritas hanya berlaku untuk yang jauh dan eksotis, maka kita perlu bertanya ulang: Apa arti jadi Indonesia?

Redaksi Suara Anak Negeri mengajak seluruh pembaca untuk membuka mata, membuka hati, dan bertindak nyata. Kirim bantuan. Dorong kebijakan. Suarakan keadilan.

Karena tak ada artinya berdiri gagah untuk dunia, jika tak sanggup berlutut dan menyeka air mata anak-anak kita sendiri.

Apa yang salah dengan kalian?

Catatan: Tulisan ini terinspirasi oleh goresan Herry Tjahjono