/1/
KEMERDEKAAN DI NEGERI KEPULAUAN
Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena, KEAI, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Wahai angin yang lahir dari rahim samudera,
hembuskanlah zikir ombak yang menghantam karang,
suara itu bukan sekadar nyanyian laut,
ia adalah doa jiwa yang menolak rantai,
doa yang mengalir dari pulau ke pulau,
dari akar bakau yang berpegang di lumpur,
hingga camar yang berputar di langit tanpa batas.
Kemerdekaan bukan hanya bendera berkibar,
ia adalah napas bumi yang tak berhenti,
ia adalah cahaya matahari—
nur yang tak bisa dikurung besi,
ia adalah rahmat hujan—
air yang tak mungkin dilarang jatuh.
Laut menyimpan luka kapal yang karam,
ia merekam pekik perbudakan masa silam,
namun juga doa para pelaut
yang bersujud di gelombang tak bertepi.
Ombak yang pecah
menjadi syahadat perlawanan:
“Tak ada jiwa yang layak dijual di pasar kuasa,
tak ada bangsa yang dicipta untuk dirantai.”
Wahai dunia yang terikat garis batas,
bukankah kita berasal dari tanah yang sama,
minum dari sumber yang sama,
bernafas dari udara yang sama?
Mengapa masih ada tangan
yang ingin menaklukkan tangan lain,
dan bendera
yang ingin menutup langit bagi burung merdeka?
Di kepulauan ini, hutan puya rahasia:
pohon besar takkan hidup tanpa semak kecil,
sungai takkan mengalir tanpa mata air.
Kemerdekaan adalah keseimbangan,
ia lahir bukan dari senjata,
melainkan dari rahim bumi
yang menyediakan tempat
bagi semua yang bernapas.
Maka biarlah puisi ini menjelma perlawanan:
perlawanan ombak kepada karang yang congkak,
perlawanan angin kepada tembok yang menutup langit,
perlawanan akar padi
kepada lumpur yang hendak membusukkan.
Dan perlawanan jiwa kita
kepada segala penjajahan
yang merendahkan martabat insan.
Jika suatu hari tirani kembali datang,
ingatlah laut yang tak pernah tunduk,
ingatlah langit yang tak bisa dibatasi,
ingatlah matahari
yang terus menyalakan pagi.
Karena kemerdekaan adalah hakikat cahaya:
tak bisa dipenjara,
tak bisa dibeli,
tak bisa dipadamkan.
Padang, Sumbar, NKRI, 2025
/2/
MERAH DARAHKU – PUTIH TULANGKU
Puisi: Ramli Djafar
[PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, KEAI, ACC SHILA]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Aku bukan pahlawan
Bukan pula seorang patriot
Tetapi
Tubuh renta ini turut berperang
Berjuang bagi NKRI
Wujud nyatakan kemerdekaan
Aku bukan seorang pahlawan
Bukan juga seorang patriot bangsa
Namaku tidak dikenal orang banyak
Tetapi
Darahku ikut mewarnai perjalanan sejarah kemerdekaan
Aku hanya seorang pejuang
Tanpa tanda jasa apapun
Namun
Darahku turut membasahi perjalanan menuju kemerdekaan
Dengan bambu runcing di tangan
Tidak pernah gentar
Tak ada rasa takut
Melawan musuh
Menerjang penjajah
Merah darahku
Putih tulangku
Berkibar di belantara perjuangan
Sekalipun
Dilupakan
Tanpa pernah diingat oleh orang banyak
Aku adalah pejuang 45
Merdeka
Merdeka
Merdeka
Padang, 17 Agustus 2025
—————————–
Tentang Penulis: Ramli Djafar
Ramli Djafar, yang juga dikenal dengan nama sastranya Andreas Ramli Djafar atau Xie Zongli, adalah seorang penyair Indonesia yang berdomisili di Padang. Ia tekun menulis dan membagikan kisah melalui puisi, dengan tema-tema yang berhubungan erat dengan budaya, ingatan, dan kemanusiaan—disampaikan lewat bahasa yang sederhana namun sarat makna.
Ia aktif dalam beberapa komunitas sastra, di antaranya SATU PENA (Sumatera Barat), Poetry-Pen International Community, Pondok Puisi Inspirasi Masyarakat (PPIPM–Indonesia), dan ACC Shanghai Huifeng International Literary Association (ACC SHILA).
Pada tahun 2025, Ramli Djafar menerima penghargaan The Prolific Writer 2025 dalam acara International Minangkabau Literacy Festival (IMLF–3), yang diserahkan langsung oleh Ketua SATU PENA Sumatera Barat, Sastri Bakry. Penghargaan ini menjadi penanda kesungguhannya dalam berkarya sekaligus menjadi penyemangat untuk terus menulis dan berbagi.
/3/
LELEMUKU: NAFAS KEMERDEKAAN
Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena, KEAI, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Oh Lelemuku!
Bunga yang menantang karang asin,
akarmu mencengkeram pasir, retak bumi, batu dan debu.
Daunmu bernafas merdeka bersama angin timur, menatap matahari garang hingga terbenam di barat,
menghisap hujan dari awan berat.
Kami dengar kau berkata:
kemerdekaan adalah napas,
keadilan adalah air yang menembus akar hati.
Generasi muda!
Mari tabur benih di tanah keras,
semai cahaya di relung jiwa,
nyalakan fajar keadilan kesejahteraan.
Dari Sabang ke Merauke,
Miangas hingga Rote,
Sumbar hingga Tanimbar,
Bangka hingga Biak-Papua.
Pengkhianat bersembunyi di balik janji kosong,
tapi mata hati menatap, telinga jiwa mendengar.
Api kesetiaan kepada NKRI akan membakar ketidakadilan,
tanpa memadamkan cinta di bumi ini—
tanah asin, batu, dan angin badai.
Kemerdekaan bukan pusaka—
lahir dari keberanian,
dari kerja dan doa,
dari doa yang terselip di antara tangis dan tawa,
antara peluh dan darah,
dari kasih yang tak tergoyahkan.
Seperti Lelemuku bertahan,
meski badai menampar,
meski ombak menghancurkan tepian.
Indonesia!
Dengarlah suara anak negeri—
api cinta tanah air yang membara dan bergema,
cinta kemanusian yang kami perjuangkan,
keadilan dan kesejahteraan yang kami suarakan.
Berdirilah, generasi muda, anak negeri!
Seperti Angrek Larat—Lelemuku di karang asin, Pulau Larat, Kepulauan Tanimbar,
teguh di tengah badai.
Biarkan napas kemerdekaan
menjadi cahaya yang menembus seluruh Nusantara,
menyemai Lelemuku di setiap tepian tanah air.
NKRI, 2025
/4/
SALAM HARI KEMERDEKAAN
Puisi: Rajesh Sharma
(PPIPM-India, Poetry-Pen International Community: PPIC, ACC Shanghai Huifeng Literary International Association: ACC SHILA)
Penerjemah (Inggris-Indonesia):
Leni Marlina
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Di hari seruan merdeka ini,
Kita rayakan bersama sepenuh hati.
Sang merah-putih berkibar tinggi,
Sambil kita hormat, pada bangsa sendiri.
Dengan hati bersatu, tegak berdiri,
Mengenang pahlawan yang beri diri.
Keberanian dan pengorbanan kita hayati,
Dalam pesta merdeka, penuh suci.
Mari bersuka di tanah luas nan penuh,
Dengan cinta dan kebebasan, tekad teguh.
Selamat Hari Kemerdekaan untuk semua,
Semoga bangsa kita tegak selamanya.
Dengan riang merdeka, panggilan terdengar,
Kita maju bersama, langkah tegar.
Kebanggaan bangsa membuat hati bergetar,
Rayakan hari ini, oleh semua yang sadar.
———————————-
Tentang Penyair: Rajesh Sharma
Rajesh Sharma adalah seorang penyair dwibahasa asal Telangana, India. Ia telah menerbitkan buku puisi berbahasa Inggris berjudul “Hey Honey”.
Karya-karyanya kerap mewarnai berbagai antologi internasional. Selain menulis, ia mengabdi sebagai Junior Assistant di Sekolah ZPHS B Shayampet, Distrik Hanumakonda, Negara Bagian Telangana, India.
/5/
TELAGA MIMPI ANAK PULAU
Puisi: Zulkifli Abdy
[PPIPM-Indonesia, PPIC, KEAI, Satu Pena – Aceh]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Dikala
semburat
mentari pagi
Ini balada ironi
anak-anak pulau
Mereka saudara kita
Tak tenggelam di lautan
tapi hanyut di telaga mimpi
Keterasingan anak titisan takdir
tak mengusik keindonesian mereka
Terpencil tak pernah merasa sendiri
ditemani bayang sebuah negeri
Dengan budaya yang lestari
bertutur kata pun bestari
warisan para leluhur
Bukan di air tanah
tetapi tanah air
Peninggalan
ibu Pertiwi
Abadi.
Banda Aceh, 10 April 2025
/6/
CAHAYA KEMERDEKAAN
Puisi: Dilla, S.Pd.
[PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbae, ACC SHILA, PLS, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Dalam halaman sejarah yang berdebu darah
Kita membaca puisi luka dari tubuh bangsa
Dimana bambu runcing menjelma jadi racikan doa
Dengan pekik merdeka menjadi nyala abadi di tanah nusantara
Delapan puluh tahun sudah cahaya kemerdekaan
Api itu tak jua padam,
Ia menjelma menjadi matahari yang menimang cakrawala
Menyirami sawah, laut, hutan dan nadi negeri dengan balutan cahaya
Mengikat hati dalam satu ikrar:
Indonesia Merdeka
Hari ini, kita berdiri di altar zamann
Menerima estafet cita-cita para pahlawan
Kemerdekaan bukan sekadar tanggal dalam kalender
Ia adalah denyut warisan para syuhada
Napas yang dititipkan pada ibu pertiwi
Agar disulam dengan cita dan cinta sesama
Agar setiap generasi tak lupa akan martabatnya
Kemerdekaan ini terus bertumbuh
Tidak hanya dalam kisah perjuangan
Tetapi juga dalam jiwa setiap anak bangsa
Bukittinggi, Agustus 2025
———————————–
Tentang Penulis: Dilla, S.Pd.
Dilla, S.Pd. lahir di Bukittinggi tahun 1981. Dari tahun 2005-2010 mengajar di SMKN 2 Kota Bukittinggi, Pada tahun 2005-2023 mengajar di SMP Islam Al-Ishlah Bukittinggi, dan pada tahun 2023-sekarang bertugas di SMPN 2 Bukittinggi, sebagai guru Bahasa Indonesia. Mulai aktif menulis dan menggiatkan literasi dari tahun 2013. Sudah menerbitkan 6 buku tunggal dan puluhan buku antologi dengan berbagai event kepenulisan. Salah satu buku kumpulan puisinya yang banyak dibaca oleh masyarakat berjudul “Bulan di Balut Debu”.
Prestasi yang pernah diraih:
Nominasi penulis berprestasi dan prolifik dari Satu Pena Sumatra Barat dalam rangka IMLF-3,
Penerima Anugerah Guru Berprestasi Nasional Bidang Literasi dalam Festival Literasi Kreatif Nasional 2025 diadakan oleh JB Edukreatif Indonesia pada Februari 2025.
/7/
ANAK NEGERI PULAU TERPENCIL
Puisi: Zulkifli Abdy
[PPIPM-Indonesia, PPIC, KEAI, Satu Pena – Aceh]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Telah tiba waktunya kubisikkan sesuatu
ke telinga anak negeri pulau terpencil
Kalian tidak boleh merasa terkucil
Jangan pula sampai tersingkir
Apalagi kalian harus terusir
dari tanah leluhur sendiri
Kita telah pertaruhkan
nyawa para pahlawan
Untuk kemerdekaan
Wahai anak negeri penghuni pulau
Suara kalian kadang terdengar parau
Tapi kalian tidak pernah terlihat risau
Karena hati kita tak tersekat pulau
Ingin kutulis warkah
pada para pemimpin
Kukatakan setulus hati
Sungguh ini tanah air kita
bukan milik mereka-mereka
Atau milik penguasa yang lupa
Kedaulatan ada di tangan rakyat
tidak di tangan para pemagar laut itu
Atas nama tanah air, kita mesti bersatu.
Banda Aceh, 10 April 2025
—————————————–
Tentang Penulis: Zulkifli Abdy
Zulkifli Abdy merupakan seorang penulis senior dan penyair, berasal dari Jambi dan menetap di Aceh sejak tahun 1970. Lulusan Ilmu Komunikasi, ia menekuni dunia kepenulisan secara autodidak sejak masa muda.
Karya-karyanya, baik berupa artikel maupun puisi, mencerminkan semangat sastra yang mendalam. Bagi Zulkifli, menulis bukan sekadar profesi—melainkan sarana untuk mencurahkan perasaan, menggantikan halaman-halaman buku harian pribadi, tempat ia menuangkan pikiran dan pengalaman dengan penuh ketulusan.
/8/
KEMERDEKAAN JIWA RAGA
Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, KEAI, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Bumi menjerit di keriput dan lepuh kulit ayah kita,
menyerap air mata ibu kita,
menggenggam jejak anak-anak
yang melangkah terlalu jauh untuk pulang.
Kemerdekaan bukan soal bendera atau kebanggaan—
ia gigitan akar yang meresap di tanah,
detak nadi yang menolak mati,
meski langit menggantung pedang.
Lihatlah mata ibu kita:
sumur menelan malam,
menyimpan bintang jatuh
di periuk hampa yang mendidih doa.
Ayah kita bagaikan peta retak bumi,
tulang-tulangnya menuntun jalan pulang
kepada anak-anak yang tersesat—
tapi bumi, diamnya, selalu tahu.
Kemerdekaan bergetar di kopi panas,
bergema di suara ayam jantan,
menyelinap di gelak anak-anak
yang tak lagi dibayangi derap senjata.
Dengarlah akar-akar
menyampaikan rahasia:
Meski langit terbelah,
meski tumpah hujan darah,
hidup terus tumbuh dari dada kita—manusia.
Dan bila mereka bertanya,
Kita akan berkata:
Kemerdekaan adalah luka dan
nyeri yang menyembuhkan diri,
detak yang membakar di bawah kulit,
cahaya yang meledak dari kesunyian—
dan bila perlu, ia lahir lagi
dari dada kita sendiri,
dari bumi yang bernafas untuk kita,
dari bumi yang menumbuhkan akar kehidupan,
dari bumi yang merangkul jiwa manusia,
dan dari kita semua
yang berani menjaga dan mengisi kemerdekaan dengan ketulusan.
Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025
/9/
LELEMUKU, AKAR JIWA MERDEKA
Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, KEAI, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Lelemuku – anggrek larat,
engkau bukan sekadar bunga,
engkau adalah rahasia musim
yang menyalakan api di dada anak negeri.
Ketika bangsa ini diguncang badai,
keteguhanmu tetap mekar—
bukan di pot pesta
yang dilupakan setelah tepuk tangan usai,
melainkan di tanah yang haus
dan di hati yang luka.
Dari kelopaknya,
terbit cahaya yang berkata:
“Jangan tunduk pada derita.
Bangkitlah, sebab aku adalah engkau.”
Anak negeri berdiri
bukan hanya lelaki, bukan hanya perempuan,
tetapi jiwa yang menyatu
menjadi bara kesetiaan.
Mereka bukan pewaris kebisuan.
Mereka pewaris samudera,
pewaris tanah yang tak rela dijual
kepada siapa pun
yang menukar harga diri dengan logam fana.
Lelemuku,
engkau menolak layu dalam ingatan,
engkau menolak terbungkus debu sejarah.
Kau pilih hidup
di dalam nadi perjuangan,
kau pilih tumbuh
di setiap mimpi yang tidak tunduk.
Dan kami,
anak negeri,
menyimpan suaramu di langit dada—
suara yang menggemakan satu janji:
“Tak ada penjajahan
yang mampu mencabut akar jiwa merdeka.”
NKRI, 2025
/10/
DELAPAN PULUH TAHUN BUKANLAH AKHIR
Puisi: Ahkam Jayadi
[PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sulsel, KEAI)
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Delapan puluh tahun bukanlah akhir,
ia adalah titik koma dalam perjalanan panjang republik.
Bendera merah putih akan terus berkibar,
selama kita percaya pada janji yang diucapkan di Pegangsaan itu:
bahwa Indonesia merdeka adalah Indonesia yang adil,
Indonesia yang makmur,
Indonesia yang menjaga martabat manusia.
Dan pada suatu hari,
ketika generasi yang belum lahir nanti membaca sejarah,
semoga mereka berkata:
“Tahun ke-80 itu adalah tahun
ketika bangsa ini benar-benar memahami arti merdeka.”
Makassar, Agustus 2025
———————————–
Tentang Penulis: Ahkam Jayadi
Ahkam Jayadi, Akademisi Hukum Konstitusi dan Filsafat Hukum UIN Alauddin Makassar, Ketua Pusat Kajian Pancasila, tinggal di Makassar.
/11/
SALAM MERDEKA
Puisi:
Nofieana Gusti Winata
[PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, PLS, ACC SHILA]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Telah kutitipkan satu nama
Teruntuk jiwa yang tulus membela negara
Telah kuntai lautan doa
Untuk hati yang tulus dan sempurna
Ialah Bung Hatta negarawan yang penuh setia
Proklamator Indonesia tercinta
Tak peduli akan dirinya
Mengubur lara yang mendera
Mengucilkan keinginnya demi Indonesia merdeka
Sumpah jabatan telah dibaca
Indonesia pun telah merdeka
Tetapi Hatta berpulang dengan dilema
Bagaimana Indonesia tanpanya
Ingin kutulis sepucuk surat untuknya
Mengabarkan bangsaku yang tak berdaya
Merenda cita dengan linangan air mata
Bahkan profesiku dianggap beban Negara
Bung Hatta
Ingin bicara padamu tanpa dusta
Bicara empat mata sambil menatap indahnya pulau Indonesia
Mungkin kau juga melihatnya di sana
Ada seorang anak bangsa yang sedang merenda cita
Untuk generasi yang kubina
Bukittinggi, Sumbar,
26 Agustus 2025
——————————
Tentang Penulis: Nofieana Gusti Winata
Nofieana Gusti Winata dikenal dengan nama pena Fiana Winata. Saat ini berprofesi sebagai guru dan dosen di Bukittinggi, Sumatera Barat Indonesia. Telah menulis sepuluh buku tunggal dan puluhan antologi. Beberapa antologinya ditulis bersama global writers dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Spanyol, India, dan Costa Rika. Kisah kepenulisannya dimuat dalan jurnal DoeaJiwa Malaysia edisi Februari 2024 dan biodata serta karyanya dimuat dalam buku Direktori Penulis Indonesia 2023. Tulisannya sudah dimuat di media cetak dan online Indonesia dan Mancanegara. Silakan sapa penulis ig.ofie_gw atau fb.Fiana Winata.
/12/
MERAH PUTIHKU
Puisi: Muslimin (Cak Mus)
[PPIPM-Indonesia; Satu Pena – Jatim, KEAI, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
merah bukan sekadar berani
putih bukan sekadar suci
merah adalah perjuangan
putih adalah keikhlasan
jangan bandingkan bendera liyan
merah putihku tak tergantikan
lambang keabadian pengorbanan
kibar merantas penderitaan
merah putih jihad Rasul Muhammadku
merah putih genggam erat Wali Songoku
merah putih darah nyawa para pahlawanku
jangan disayat dengan khianat
jangan dirobek dengan maki ejek
jangan dibakar dengan makar
sekali membanali, jangan menyesal terbantai
merah putihku dijaga eksistensi
merah putihku dijaga harkat sejati
berkibar di taman-taman surga Ilahi
Lamongan, 24 Agustus 2025
————————————–
Tentang Penulis: Muslimin
Sang penulis dengan nama asli Muslimin memikiki panggilan Cak Mus. Lahir di Lamongan, Jawa Timur, 20 Mei 1969. Setamat dari SMAN 2 Lamongan, kuliah di IKIP Negeri Surabaya Jurusan Bahasa Indonesia. Mengajar sejak 1991 di MTs A. Wahid Hasyim Tikung, SMP-SMA Tashwirul Afkar Sarirejo, SMP Islam Tikung, PKBM Mahayana dan PKBM Mizan Lamongan. Aktif di PERGUNU Lamongan dan Lembaga Bahtsul Masail MWC NU Tikung Lamongan.
/13/
CINTA TANAH AIR: JALAN MENUJU-NYA
Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena – Sumbar, KEAI, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Tanah ini—
bukan sekadar debu, bukan sekadar batu.
Ia kitab rahasia,
ditulis darah syuhada,
darah mereka yang rela berkorban demi kemerdekaan bangsa,
air mata ibu,
peluh mereka yang menahan sakit dan lapar.
Merah—DARAH!
Putih—Suci!
Di antara keduanya
nama-Nya berkibar.
Merdeka!
Bukan sekadar usir penjajah,
tapi hancurkan tirani diri—
rakus, dusta, zalim
lebih busuk dari rantai besi.
Tanah air!
Engkau mihrab, engkau sajadah.
Semua langkah menjagamu
adalah doa yang berdarah.
Dan kami tahu:
mencintai negeri ini
adalah salah satu menuju jalan pulang
kepada-Nya.
Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025
———————‐————-
Tentang Penulis: Leni Marlina
Leni Marlina merupakan seorang penulis, penyair, dan akademisi kelahiran Baso, Agam – Sumbar dan berdomisili di Padang.
Sejak tahun 2022, Leni Marlina merupakan anggita aktif SATU PENA (Asosiasi Penulis Indonesia) cabang Sumatera Barat dan anggota aktif World Poetry Movement (WPM-Indonesia)
Leni Marlina, sang penulis buku antologi puisi bilingual (Indonesia-Inggris) “The Beloved Teachers”, “L-BEAUMANITY (Love, Beauty and Humanity)” & “English Stories for Literacy” dianugerahi penghargaan sebagai Penulis Terbaik Tahun 2025 oleh SATU PENA Sumatera Barat dalam acara Gala Dinner Festival Literasi Internasional Minangkabau ke-3 (IMLF-3).
Sejak 2006, hampir dua dekade, Leni Marlina mengabdi sebagai dosen di Program Studi Sastra Inggris, Departemen Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang.
Di luar aktivitas kampus, Leni juga menulis sebagai jurnalis lepas, editor, redaktur dan kontributor digital di sejumlah media lokal, nasional dan internasional. Sejumlah karya puisi Leni yang ia sumbangkan untuk pembaca di tanah air dan di perantauan luar negeri dapat dibaca di: https://suaraanaknegerinews.com/category/puisi-leni-marlina-bagi-anak-bangsa
Leni telah mendirikan, memimpin dan mendampingi sejumlah komunitas literasi, sastra, sosial berbasis digital, antara lain:
1. PPIPM- Indonesia (Pondok Puisi Inspirasi Pemikiran Masyarakat)
2. Poetry-Pen International Community (PPIC)
3. Literature Talk Community (Littalk-C)
4. English Language Learning, Literacy, and Literary Community (EL4C)






