Ilustrasi “ KETIKA KAU RINDU DIRIMU YANG DULU”: Antologi Puisi Karya Leni Marlina (UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, Penyala Literasi, ASM, WPM-Indonesia). Sumber Gambar: © 2025 Leni Marlina — Book Cover by Starcom Indonesia 29–00045.

/1/

LANGKAH YANG TAK SELALU LURUS

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, Penyala Literasi Sumbar: PLS, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Pada hari ketika cermin retak
dan wajahmu tercerai dari nama,
kau mulai mendengar suara—
bukan dari luar,
tapi dari sela-sela luka yang dulu kau tutup
dengan tawa palsu dan gelar yang rapuh.

Kau bertanya:
di mana rumah?
di mana wajah sejati
yang tak disulap oleh sorak dunia?

Di situ, langkahmu dimulai,
tak selalu lurus,
tak selalu terang.
kadang menyakitkan, kadang membingungkan.
Namun satu hal pasti:
kau sedang berjalan pulang.

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang,
Sumatera Barat, NKRI, 2025

/2/

KETIKA KAU RINDU DIRIMU YANG DULU

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, PLS, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Kau,
yang setiap malam menatap cermin
dan bertanya pelan,
“Siapa aku sebenarnya…?”

Bibir merah yang kau lukis itu
bukan tawa—
itu jerit,
yang tak pernah kau izinkan terdengar.

Kau belajar berjalan dengan pinggul yang terlatih
karena dunia menepuk tangan
setiap kali kau menjadi selain dirimu.
Tapi siapa yang memelukmu
saat lampu-lampu itu padam?

Kau mencari cinta
di dada yang sama-sama hampa,
lalu pulang
dengan tubuh yang makin sepi,
dan jiwa yang makin jauh
dari namamu sendiri.

Bukankah pernah,
di masa kecil yang remuk,
kau hanya ingin didengar?
Ingin dipeluk ayah seperti adikmu,
ingin dipanggil anak,
bukan beban,
ingin jadi kuat,
bukan cantik?

Tapi luka itu tak pernah disembuhkan,
hanya disulap jadi topeng baru—
lebih lentik,
lebih memikat,
tapi tak pernah cukup menyembuhkanmu.

Dan kini,
kau temukan setitik cahaya
di sehelai sajadah yang kau jamah diam-diam,
kau ingin pulang—
bukan karena takut neraka,
tapi karena kau rindu
dirimu yang dulu tak malu pada langit.

Kau ingin berdiri sebagai lelaki,
meski tubuhmu tak langsung mengerti.
Kau ingin berbicara tanpa nada dibuat-buat,
meski lidahmu masih gemetar.
Kau ingin mencintai perempuan—bukan karena tuntutan,
tapi karena jiwamu mulai mengenali cinta yang sejati:
yang memberi,
bukan menuntut dilihat.

Kau tak harus kembali dalam sehari.
Pertobatan bukan lembar putih instan,
tapi jalan panjang,
di mana setiap langkah adalah luka yang disembuhkan
dengan sabar, dengan ikhlas,
dengan air mata dan ayat-ayat yang kau bisikkan sendiri.

Tuhan tak pernah muak pada tangismu.
Ia lebih dekat dari nadi yang kau takut jamah.
Ia tak pernah menertawakan masa lalumu—
Ia hanya menunggu,
kapan kau benar-benar memanggil-Nya,
dengan nama yang selama ini kau bisikkan di balik cermin:
“Tuhan, tolong pulangkan aku hambamu,
pada diriku yang Engkau titipkan dulu.”

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang,
Sumatera Barat, NKRI, 2025

/3/

KAU YANG KUSIMPAN DALAM DADA

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, PLS, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Kau.
Ya, kau-tubuhku yang selalu kusembunyikan.
Yang kutinggalkan sejak tubuh ini tumbuh
dan suara mulai retak seperti kaca
yang dipaksa bercermin.

Kau – tubuhku
aku ingat saat kau berbisik dalam mimpi:
“Jangan pergi terlalu jauh, nanti kau lupa jalan pulang.”
Tapi aku tak mendengarmu—
aku sedang sibuk menjadi yang mereka kagumi,
bukan yang aku cintai.

Kau-tubuhku pernah menjadi sahabat kecilku.
Kita bermain di halaman sunyi,
menyusun harapan dari rumput yang tumbuh liar.
Tapi waktu itu,
dunia mulai menyebutmu salah.
Dan aku, yang lemah,
ikut menyebutmu – tubuhku: beban.

Kau – tubuhku tak pernah salah, sebenarnya.
Hanya saja, aku takut.
Takut kau membuatku sendirian.
Takut kau menjadikan aku bahan tawa,
dan akhirnya aku mengurungmu
di balik nama panggung,
di balik sepatu berhak tinggi
yang tak pernah bisa membawaku ke rumah sendiri.

Sekarang aku tahu:
kau-tubuhku bukan musuhku.
Kau adalah bagian yang paling jujur dari diriku.
Kau adalah lelaki dalam diriku
yang tak ingin kuat,
tapi ingin benar.
Yang tak ingin dipuji,
tapi ingin didengar.
Yang tak ingin diterima sebagai “hebat”
tapi sebagai “manusia”.

Kau – tubuhku,
dengar aku sekarang—
aku membuka pintu.

Kembalilah,
meski kau-tubuhku ini masih gemetar.
Kembalilah,
dan ajari aku berdiri seperti pertama kali
ajari aku mengucapkan nama Tuhan.
Ajari aku mengenakan kembali suara ini,
bukan untuk meniru siapa-siapa,
tapi untuk menjadi aku—yang sesungguhnya.

Aku rindu kau-tubuhku,
Aku minta maaf padamu.
Dan jika kau bersedia memaafkanku,
maka kita akan pulang.
Bersama.
Dalam satu tubuh,
dengan satu jiwa,
menuju satu Tuhan yang sama
yang tak pernah sekalipun
membenci kita.

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang,
Sumatera Barat, NKRI, 2025

/4/

RUNTUH YANG KUMULAI SENDIRI

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, PLS, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Aku tahu aku harus runtuh.
Tapi bukan oleh dunia.
Aku ingin runtuh oleh tanganku sendiri,
batu demi batu,
topeng demi topeng,
semua kubongkar
sebelum waktu merenggut kesempatan untuk jujur.

Tak ada yang lebih menyesakkan
daripada menatap bayangan sendiri
dan tidak tahu siapa dia.

Jadi malam ini,
aku runtuhkan panggung
yang dulu kusebut rumah.
Kusobek wig,
kubasuh riasan,
dan kubuka luka yang selama ini
kututup dengan tawa yang dilatih.

Jika orang lain ingin jadi kuat,
biarkan aku jadi lemah—
karena dari lemah inilah
aku ingin dibentuk kembali,
dari mula yang tidak pura-pura.

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang,
Sumatera Barat, NKRI, 2025

/5/

LANGKAHKU MASIH DI LATIH DUNIA

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, PLS, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Tuhan,
aku datang masih dengan pakaian yang Engkau tahu
bukan milikku.
Langkahku masih dilatih dari dunia
yang tak pernah mengenalku,
tapi aku tahu Engkau wahai Tuhan …
Engkau selalu tahu siapa hamba-Mu.

Malam ini aku bersujud,
tak sebagai yang sempurna,
tapi sebagai pecahan dari diriku
yang masih belajar utuh.

Aku tidak minta surga,
aku hanya ingin damai
saat bercermin.
Aku ingin suara ini
tak lagi bergetar saat menyebut namaku sendiri.
Aku ingin Engkau terima aku,
dalam keadaan yang belum bersih ini,
karena aku sedang mencuci luka
yang sudah terlalu lama menempel
di kulit yang tak kupilih.

Wahai Tuhan
Ampuni aku
yang baru sekarang
berani mengaku
telah terlalu lama meninggalkan-Mu
dalam nama kebebasan
yang justru menjadikanku tawanan.

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang,
Sumatera Barat, NKRI, 2025

/6/

TAK LAGI BERSEMBUNYI

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, PLS, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Hari itu datang,
bukan dengan gemuruh,
tapi dengan sunyi yang pelan-pelan menyapa:
“Kau telah cukup menangis,
sekarang waktunya berjalan.”

Aku – tubuhku keluar,
bukan lagi sebagai ilusi yang disanjung,
tapi sebagai diriku—
yang tak sempurna,
namun akhirnya jujur.

Orang-orang menatap.
Beberapa mencibir.
Tapi aku tahu,
tak ada yang bisa menatapku
lebih dalam
daripada Tuhan yang sekarang memandangku
dengan rahmat,
bukan murka.

Hari ini,
aku tak lagi sembunyi
di balik peran,
di balik kelamin yang kutakuti,
di balik dosa yang kulumuri dengan parfum.

Hari ini,
aku bukan siapa-siapa—
dan justru karena itu,
aku mulai mengenal
diriku yang sebenarnya.

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang,
Sumatera Barat, NKRI, 2025

/7/

KEJUJURAN DI MATAMU

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, PLS, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Kami melihat kejujuran di matamu ketika kau bersuara.

Kau pernah berdandan
dengan topeng yang sulit kau tanggalkan.
Kau pikir dirimu kuat—
padahal hanya ingin dipeluk dunia,
meski palsu, meski tak percaya.

Kau pernah menari di ruang yang bukan milikmu,
mengambil nama yang bukan untukmu.
Kau pikir itu kebebasan,
rupanya itu jeruji dari dalam.

Malam-malam memeluk tubuhmu,
tapi tidak hatimu.
Tiap tawa itu tak murni,
hanya gema dari kehampaan
yang kau poles jadi glamor.

Kini kau tahu,
betapa mahal harga jiwa
yang salah arah itu.

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang,
Sumatera Barat, NKRI, 2025

/8/

KEJUJURAN DALAM SUARAMU

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, Penyala Literasi, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Kami mendengar kejujuran dalam suaramu ketika kau bersuara.

Hari itu kau menangis di depan cermin,
bukan karena dosa,
tapi karena tak lagi tahu siapa dirimu sendiri.

Segala yang dulu kau sanjung—
gaun, bulu mata, tepuk tangan—
berubah jadi bisikan maut
yang membekap malam-malammu.

Kau memanggil Tuhan dengan nama yang asing,
merintih seperti anak hilang,
tak lagi sombong,
tak lagi berkilau.

Bukan orang lain yang menghukummu,
tapi hatimu sendiri,
yang muak dengan kebohongan
yang kau besarkan.

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang,
Sumatera Barat, NKRI, 2025

/9/

KEJUJURAN DI HATIMU

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, PLS, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Kami percaya dengan kejujuran di hatimu.

Saat kau menanggalkan gaun itu,
bukan hanya kain yang kau lepas,
tapi beban ribuan hari
yang kau tanggung sendirian.

Kau mencabut alis palsumu,
menghapus warna-warna dari pipi,
dan menatap langit untuk pertama kali
dengan wajahmu yang sejati.

Kay bukan lagi “ratu malam”,
kau anak yang kembali pulang,
mencari wajah ibumu dalam doa,
mencari pelukan ayahmu dalam cahaya.

Kini kau belajar tertawa tanpa make-up,
menangis tanpa malu,
dan mencintai Tuhan—
bukan dengan kepura-puraan,
tapi dengan luka yang terbuka dan jujur.

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang,
Sumatera Barat, NKRI, 2025

/10/

JUJUR PADAMU SENDIRI

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, PLS, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Kami senang melihatmu yang mulai jujur pada dirimu sendiri.

Kau tak lagi menatap cermin
untuk mencari wajah yang ingin disukai—
sebab setiap pantulan itu adalah luka
yang tak bisa dibaurkan dengan bedak atau busana.

Cermin pernah memujamu
dengan bayang yang kau poles sendiri:
sorot lentik, tubuh ramping,
suara dilembutkan dengan sengaja.

Tapi malam yang terus datang
mengiris satu demi satu topeng itu.
Dan di baliknya, kau dengar suara asing:
suara lelaki yang dulu kau kubur dengan malu.

Kau tak lagi bisa berbohong.
Tak pada cahaya,
tak pada Tuhan.
Dan entah kenapa,
air matamu—
hari ini tak lagi menetes untuk cinta yang hilang,
melainkan untuk dirimu yang ingin pulang.

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang,
Sumatera Barat, NKRI, 2025

/11/

BERDIALOG DENGAN DIRIMU SENDIRI

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, PLS, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Hari ini kau mulai jujur berdialog pada dirimu sendiri:

Maaf, tubuhku.
Aku pernah menjauh darimu,
seolah kau – tubuhku tak layak aku tinggali,
aku pakaikan kau – tubuhku kostum asing,
aku ganti suaramu, gerakmu, bahkan jiwamu.

Aku pernah merasa kau – tubuhku seperti kutukan,
bukan anugerah.
Aku tak tahu,
bahwa kelelakian ini bukan untuk dipermainkan,
tapi untuk disyukuri dengan tulus.

Hari ini, aku kembali
menyentuh kau – tubuhku sebagai diriku sendiri.
Aku genggam kekakuanmu dengan pelan—
meski kau – tubuhku gemetar,
kau tetap setia.

Kau – tubuhku tak marah,
hanya diam dan menunggu aku pulang ke diriku yang aslinya laki-laki.

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang,
Sumatera Barat, NKRI, 2025

/12/

KAU YANG BERJUANG DI BATAS MASA LALU DAN MASA DEPAN

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, PLS, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Kami bangga dengan dirimu yang berjuang di batas antara masa lalu dan masa depan:

Kau berjalan di garis tipis —
satu kaki masih terbenam di panggung tawa
yang tak pernah benar-benar membuatmu bahagia,
satu kaki mencoba melangkah menuju sunyi
yang mungkin menyembuhkan.

Kau takut kehilangan—
bukan dunia mereka,
tapi diri yang dulu.
Namun bukankah yang palsu
memang harus hilang agar yang sejati tumbuh?

Kau tak ingin menjadi kebencian mereka,
kau juga tak ingin kembali membohongi dirimu sendiri.
Jadi kau pilih sunyi,
kau pilih pelan-pelan
meski tiap langkah terasa seperti menguliti luka yang dalam.

Tapi jauh di dalam jantungmu,
ada cahaya kecil yang menyala,
dan berbisik:
“Kau sedang disucikan.”

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang,
Sumatera Barat, NKRI, 2025

/13/

KAMI BERSAMA DIRIMU

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, PLS, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Kami bersama dirimu yang mulai sungguh-sungguh menyerahkan diri kepada Tuhan

Sujudmu malam ini
tak semeriah malam-malam palsu
di mana kau pernah menghafal gerakan,
tapi kosong dari makna.

Kini, keningmu menyentuh bumi
seperti pertama kali tanah menyentuh hujan.
Air matamu tak kau tahan lagi—
tak karena luka lama,
tapi karena rasa bersalah yang tak bisa kau tunda.

Kau bergetar memanggil nama-Nya,
bukan dengan bahasa indah
tapi dengan hancur-hancuran kata,
remuk, parau, tanpa rencana.

Tapi, pada saat itulah kau merasa
Tuhan tak pernah sejauh yang kau bayangkan.

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang,
Sumatera Barat, NKRI, 2025

/14/

KAMI BANGGA PADAMU

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, PLS, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Kami bangga padamu yang belajar bicara kepada Tuhan dengan kejujuran sederhana.

kau tak datang ke hadapan Tuhan dengan puisi,
tak juga dengan nama-nama agung yang kau lafalkan dari kitab.

Kau datang dengan tubuh lelah
dan hati yang penuh serpihan dosa.
Kau tak tahu harus bilang apa—
mungkin karena terlalu sering kau membohongi-Nya
dengan janji-janji yang kering dan menguap.

Kau berseru.
Kau ingin pulang.
Jika ada yang tak menerima,
Kau pun takkan protes.

Tapi jika Tuhan masih bukakan pintu untukmu,
biarkanlah dirimu menangis di ambang-Nya
hingga air matamu menghapus jejak kau di jalan yang keliru selama ini.

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang,
Sumatera Barat, NKRI, 2025

/15/

BEKAS LUKA DI DALAM DADA

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, PLS, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Dunia menunggumu yang berdamai dengan semua masa lalu:

Kau duduk dalam sunyi,
dan tiba-tiba wajah-wajah lama datang kembali:
mereka yang mencintaimu tanpa tahu siapa dirimu,
mereka yang mencacimu tanpa sempat bertanya kenapa.

Kau tak lagi ingin membalas.
Tak ingin menjelaskan apa-apa.
Karena kau tahu,
dalam dadamu ada luka,
tapi luka itu sedang dijahit oleh tangan yang kau tak bisa lihat.

Tuhan tak pernah meminta kau jadi sempurna,
Dia hanya ingin kau jujur,
dan datang tanpa topeng.

Dan saat kau lakukan itu—
dada yang sesak itu mulai lapang.

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang,
Sumatera Barat, NKRI, 2025

/16/

KAMI MENERIMAMU

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, Penyala Literasi, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Kami menerimamu yang telah berdamai dan tak lagi terikat ego.

Kau tak lagi menyebut nama-nama
yang dulu kau pahat di atas batu
dengan bangga dan deru.

Kau kini hanya angin yang lewat
di sela dedaunan yang bersyukur.

Tak ada yang harus tahu siapa dirimu—
cukup cahaya tahu bahwa kau menyala.
Cukup Tuhan tahu bahwa kau pulang.

Dan jika dunia masih ingin melukaimu,
kau hanya tersenyum
karena tubuhmu sudah bukan benteng lagi—
tapi jendela.

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang,
Sumatera Barat, NKRI, 2025

/17/

KAMI BERSAMU

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, PLS, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Kami bersamamu yang kini melihat seluruh ciptaan sebagai bagian dari cinta Tuhan:

Burung-burung bukan lagi suara latar,
tapi bagaikan firman yang ditiupkan untuk disimak.

Langit bukan lagi atap biru,
melainkan bagaikan buku terbuka
yang isinya tak pernah kau khatamkan.

Bahkan daun yang gugur di jalanan pun,
kau sapa dengan rasa haru.

Karena setelah tubuhmu dicuci hujan taubat,
matamu tak lagi melihat dengan nafsu,
tapi dengan cinta—
cinta yang menyebar
dan tak memilih-milih rumah.

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang,
Sumatera Barat, NKRI, 2025

/18/

FITRAH DAN SUARA BATINMU SEPENUHNYA

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, PLS, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Hanya kau dan Tuhan yang tahu suara batinmu sepenuhnya:

Fitrah bukan pesta yang riuh
bukan pula sunyi yang getir.

Ia adalah diam yang memeluk,
cahaya yang tak menyilaukan,
tapi membuatmu ingin terus menatap.

Fitrah adalah saat kau tak lagi bertanya
“Untuk apa aku hidup?”
karena setiap hela napasmu sudah menjadi jawabannya.

Dan dari situ,
lahirlah kau kembali:
tanpa topeng,
tanpa dendam,
tanpa ingin lebih dari yang cukup.

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025

/19/

KEMBALI KEPADA KETULUSAN HATIMU

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, PLS, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Kini,
tak perlu lagi kau kenalkan dirimu
dengan gelar, jabatan, atau sejarah luka.
Semesta mengenalmu
dari cahaya yang kau simpan diam-diam
dalam prilaku sederhana.

Kau telah melepaskan
kerangkeng emas ambisi
dan baju zirah kesombongan.

Yang tersisa kini hanyalah kau
—yang bersujud bahkan ketika tidak dilihat—
—yang mencintai bahkan tanpa dibalas—
—yang memberi bahkan saat kosong.

Dan itulah fitrah.
Bukan kembalinya kau menjadi kanak-kanak,
tapi kembalinya dirimu pada
yang tak pernah mati dalam dirimu:
ketulusan.

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025

/20/

AKHIRNYA KAU PULANG KE DIRIMU YANG DULU

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, ASM, Penyala Literasi, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Akhirnya kau pulang,
bukan ke rumah, bukan ke kota,
melainkan ke sunyi yang dahulu
pernah kau tinggalkan demi sorak dan gelar.

Kau lepas satu per satu topeng
yang dulu kau kira wajah,
dan menangis dalam pelukan
diri yang sabar menunggumu, diam.

Tak ada pesta.
Hanya desir angin di jendela,
dan secangkir teh yang dingin,
menyambutmu seperti ibu yang tak pernah marah.

Kini, tak perlu lagi kau berlari.
Luka-luka itu telah belajar bicara,
dan kau pun telah belajar
mendengar tanpa takut terluka.

Victoria, Australia, 2012
Direvisi di Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025
——————————————
Tentang Penulis: Leni Marlina

Leni Marlina merupakan seorang penulis, penyair, dan akademisi kelahiran Baso, Agam – Sumbar dan berdomisili di Padang. Ia tumbuh dengan kecintaan pada kata dan keyakinan bahwa sastra bisa menjadi jembatan kebaikan antar manusia. Sejak lama, ia melibatkan diri dalam kegiatan literasi dan sastra, baik di lingkungan kampus, sekitar maupun di berbagai komunitas yang lebih luas.

Sejak tahun 2022, Leni Marlina bergabung dalam keluarga besar SATU PENA (Asosiasi Penulis Indonesia) cabang Sumatera Barat, yang dipimpin oleh Ibu Sastri Bakry dan Bapak Armaidi Tanjung. Dalam lingkungan inilah ia banyak belajar dan tumbuh bersama rekan-rekan penulis lainnya.

Pada Mei 2025, Leni diberi kehormatan sebagai Penulis Terbaik Tahun Ini oleh SATU PENA Sumatera Barat dalam acara Gala Dinner Festival Literasi Internasional Minangkabau ke-3 (IMLF-3). Penghargaan ini ia terima dengan penuh rasa syukur, sebagai bentuk dukungan bagi semangat gotong royong dalam membangun budaya baca dan tulis di tanah air.

Di luar negeri, Leni menjadi bagian dari ACC Shanghai Huifeng International Literary Association (ACC SHILA) yang dipimpin oleh penyair dunia Anna Keiko. Sejak 2024, ia dipercaya sebagai Duta Puisi Indonesia untuk ACC SHILA, dan pada 2025 diberi amanah sebagai Ketua Perwakilan Asia dalam kelompok duta puisi ACC SHILA—sebuah kesempatan untuk mempererat jalinan budaya melalui puisi.

Tahun yang sama, Leni juga bergabung dengan World Poetry Movement (WPM) Indonesia, yang dikordinasikan oleh Sastri Bakry, sebagai bagian dari gerakan puisi dunia yang berpusat di Kolombia.

Perjalanan Leni di dunia sastra internasional bermula saat menempuh studi program pascasarjana bidang kepenulisan dan sastra di Australia pada 2011–2013. Saat itu, ia menjadi anggota komunitas penulis di Victoria dan belajar dari banyak penulis lintas budaya.

Pada 31 Mei 2025, Leni dengan sejumlah komunitas yang dipimpinnya, bersama Achmad Yusuf (sebagai ketua), turut menyelenggarakan kegiatan Poetry BLaD (Peluncuran & Diskusi Buku Puisi) dan IOSoP (Seminar Internasional Online tentang Puisi) 2025, diamananahkan oleh Media Suara Anak Negeri News (di bawah pimpinan Paulus Laratmase) berkolaborasi dengan Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang. Kegiatan ini adalah ruang bersama untuk berbagi semangat dan cinta terhadap literasi, kemanusian dan perdamaian melalui karya sastra umumnya dan puisi khususnya.

Sejak 2006, hampir dua dekade, Leni Marlina mengabdi sebagai dosen di Program Studi Sastra Inggris, Departemen Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang. Ia mengajar dan membimbing mahasiswa di bidang bahasa, sastra, dan penulisan. Ia percaya bahwa pendidikan dan karya tulis dan karya kreatif adalah bagian dari pengabdian kepada masyarakat.

Di luar aktivitas kampus, Leni juga menulis sebagai jurnalis lepas, editor, dan kontributor digital. Sejumlah karyanya dapat dibaca di: https://suaraanaknegerinews.com/category/puisi-leni-marlina-bagi-anak-bangsa

Leni juga memulai dan mendampingi sejumlah komunitas literasi dan sosial berbasis digital, antara lain:

1. World Children’s Literature Community (WCLC): https://shorturl.at/acFv1
2. Poetry-Pen International Community (PPIC)
3. PPIPM Indonesia (Pondok Puisi Inspirasi Pemikiran Masyarakat):
https://shorturl.at/2eTSB
https://shorturl.at/tHjRI
4. Starcom Indonesia Community (Starmoonsun Edupreneur): https://rb.gy/5c1b02
5. Linguistic Talk Community (Ling-TC)
6. Literature Talk Community (Littalk-C)
7. Translation Practice Community (Trans-PC)
8. English Language Learning, Literacy, and Literary Community (EL4C)