Oleh : Dr. Dedi Wandra, S.Ag., M.A.
Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Sawahlunto
Di tengah derasnya arus modernitas dan derasnya gelombang digitalisasi, generasi muda kini tidak hanya berhadapan dengan persoalan akademik, tetapi juga dengan pergulatan batin yang sunyi kecemasan, kesepian, kehilangan arah, bahkan rasa putus asa yang berujung pada tindakan paling tragis: bunuh diri.
Kasus-kasus seperti ini telah menjadi alarm bagi dunia pendidikan. Mereka bukan hanya kehilangan semangat belajar, tetapi kehilangan makna hidup. Pada titik itulah, madrasah seharusnya hadir bukan sekadar sebagai lembaga pendidikan formal, melainkan rumah hati tempat di mana peserta didik menemukan makna, kasih sayang, dan tempat kembali ketika dunia terasa terlalu berat.
Madrasah : Rumah yang Menghangatkan Jiwa
Madrasah dalam hakikat sejatinya bukan hanya ruang kelas dan lembar nilai. Ia adalah tempat anak-anak belajar tentang makna kehidupan, ketulusan, dan harapan.
Ketika seorang guru menyapa dengan senyum, ketika teman sebangku menjadi pendengar setia, ketika seorang ustazah menuntun doa dengan lembut di sanalah pendidikan hati sesungguhnya tumbuh.
Madrasah menjadi βrumah hatiβ ketika setiap guru bukan hanya pengajar, tetapi juga penyembuh luka jiwa; ketika setiap pembelajaran bukan hanya transfer ilmu, tetapi juga sentuhan kasih dan empati. Di bawah payung Kurikulum Merdeka, spirit ini menemukan ruang baru yaitu Kurikulum Cinta : paradigma pendidikan yang menekankan kasih sayang, empati, penghargaan diri, dan komunikasi hati ke hati antara pendidik dan peserta didik.
Kurikulum Cinta: Menyembuhkan Sebelum Mengajar
Kurikulum Cinta bukan sekadar konsep romantik, tetapi gerakan moral dan spiritual untuk mengembalikan kemanusiaan dalam pendidikan.
Ia lahir dari kesadaran bahwa tidak semua luka bisa disembuhkan dengan nilai tinggi, dan tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan ujian dan rapor.
Ada luka-luka batin yang hanya bisa dijahit dengan cinta, perhatian, dan ruang aman untuk berbicara.
Melalui Kurikulum Cinta, madrasah diajak untuk:
1. Membangun empati di ruang kelas, agar setiap siswa merasa diterima tanpa takut dihakimi.
2. Membuka ruang curhat dan pendampingan psikologis, karena setiap jiwa butuh didengar.
3. Menanamkan nilai spiritual tentang makna hidup dan takdir, agar siswa memahami bahwa hidup adalah amanah, bukan beban.
4. Mengintegrasikan ajaran agama dengan pendekatan humanis, agar keimanan tidak hanya dihafal, tetapi dirasakan sebagai pelita yang menuntun jiwa.
Bunuh Diri: Masalah Hukum dan Kemanusiaan
Dalam perspektif hukum Islam, bunuh diri adalah dosa besar karena merupakan bentuk keputusasaan terhadap rahmat Allah. Al-Qur’an dengan tegas melarang tindakan tersebut sebagaimana firman-Nya:
”Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.β
(QS. An-Nisa: 29)
Namun di balik aspek hukum, terdapat dimensi kemanusiaan yang menuntut empati. Seseorang tidak serta-merta memilih mengakhiri hidup tanpa melalui pergulatan batin yang panjang dan kesepian yang mendalam. Di sinilah pendidikan berperan bukan untuk menghakimi, tetapi menyembuhkan.
Madrasah harus menjadi lembaga yang mencegah sebelum terjadi, dengan menghadirkan iklim kasih, kehangatan, dan spiritualitas yang hidup di setiap detak kegiatannya.
Madrasah Menyembuhkan, Madrasah Menumbuhkan
Ketika madrasah hadir dengan cinta, maka ruang belajar berubah menjadi ruang penguatan jiwa.
Guru menjadi sahabat, bukan sekadar pengawas.
Pelajaran menjadi terapi, bukan sekadar tugas.
Dan nilai bukan lagi sekadar angka, tetapi cermin perjalanan spiritual.
Madrasah yang menumbuhkan bukan hanya menambah pengetahuan, tetapi menyalakan kehidupan. Ia menumbuhkan harapan baru pada siswa yang terluka, menumbuhkan semangat baru pada mereka yang hampir menyerah, dan menumbuhkan iman yang hidup di tengah badai zaman.
Cahaya dari Rumah Hati
Ketika madrasah benar-benar menjadi rumah hati, tidak akan ada lagi siswa yang merasa sendiri.
Tidak akan ada lagi yang menatap dunia dengan putus asa.
Sebab mereka tahu di madrasah, ada tempat untuk menangis, tempat untuk bercerita, tempat untuk memulai lagi.
Kurikulum Cinta bukan sekadar gagasan pendidikan; ia adalah napas baru bagi kemanusiaan di ruang-ruang madrasah.
Dari madrasah, cinta itu tumbuh.
Dari cinta, lahirlah kekuatan untuk hidup.
Dan dari kehidupan yang penuh cinta, lahirlah generasi beriman, berilmu, dan berbahagia dunia dan akhirat.






