Oleh: Wensislaus Fatubun
–
Saya sepakat burung cenderawasih itu harus dilindungi, dan sepakat juga mahkota bulu burung cenderawasih sebagai simbol budaya orang asli Papua harus dihargai.

University of Canterbury, Aotearoa New Zealand. e-Mail: wensislaus.fatubun@pg.canterbury.ac.nz
Hari ini, ada dua argumentasi yang kesannya saling bertentangan antara melindungi burung cenderawasih, dan hargai budaya Papua. Yang satu bilang, biarkan burung itu terbang bebas di langit sambil menuduh mahkota cenderawasih itu produk luar (baca juga: kolonial). Yang lain bilang mahkota itu adalah produk budaya Papua. Pendapat terakhir ini berbasis pada narasi yang berbasis komunitas. Pendapat lainnya itu lebih pada gagasan konservasi itu melihat dampak negatif dari praktik budaya. Orang asli Papua dilihat bagian yang mengancam eksisten burung cenderawasih. Praktek budaya yang dipahami secara negatif itu.
Tentu, pandangan pro konservasi itu tidak mempertimbangkan sistem pengetahuan masyarakat adat. Sehingga bangunan argumentasi mereka memiliki kesenjangan interpretatif terhadap mahkota burung cenderasih (Mahkota Papua). Mereka menjadi kabur atau mengambang dalam menginterpretasi mahkota burung cenderawasih (Mahkota Papua), bahkan sangat bias dengan menempatkan mahkota itu sebagai produk dari asimilasi budaya.
Mereka yang pro konservasi sepakat dengan kekerasan epistemik yang dilakukan oleh pihak pemerintah, TNI dan Polri di Papua. Publikasi melalui video tentang pembakaran mahkota Papua itu adalah kekerasan epistemik. Mereka, orang asli Papua yang punya budaya mahkota cenderawasih dan menyetujui perbuatan itu adalah pihak yang terlibat melahirkan kekerasan simbolik dimana mereka setuju kekerasan epsitemik (pembakaran mahkota itu). Dari kekerasan itu akan melahirkan kekerasan lain, kekerasan psikologis dan kekerasan fisik.
Saya usul, mereka perlu baca buku “The Will to Improve” karya Tania Li yang menggambarkan dibalik kehendak untuk memperbaiki (melindungi) tersimpan juga kehendak untuk mengontrol. Dalam kasus pembakaran mahkota Papua, dibalik kehendak untuk melindungi burung cenderawasih, terselib juga kehendak untuk mengontrol orang asli Papua melalui membakar simbol budaya mereka.
Mari kita lihat narasi dari “para pejuang mahkota burung cenderawasih”.
Dari pengamatan saya terhadap narasi yang disebarkan di media sosial oleh “para pejuang mahkota burung cenderawasih” dan juga pernyataan dari warga Papua yang demo di kota Tanah Merah, Boven Digoel kemarin, saya dapat pesan tentang ada upaya untuk menghargai simbol budaya, dan juga melindungi burung cenderawasih. Basis argumentasinya ada pada sistem pengetahuan orang asli Papua, khususnya orang asli Papua dari kabupaten Yahukimo, Boven Digoel dan Mappi. Kelompok ini membangun argumentasi dimana burung cenderawasih itu dilindungi. Sepakat! Ada praktik budaya yang berbasis nilai budaya untuk melindungi burung cenderawasih melalui aturan untuk penggunaan bulu burung cenderawasih. Hal ini tentu ada hubungan dengan konsep “timbal balik” dalam budaya orang asli Papua. Dalam konsep ekonomi, “prinsip “timbal balik” disebut “tukar menukar”. Sesuatu demi sesuatu yang lain. Dalam konsep kajian ekologi disebut “the respiratory system”.
Prinsip “sesuatu demi sesuatu yang lain” mengatur supaya kehidupan berlangsung. Prinsip harmoni tetap terjaga, dan hidup berkelanjutan.
Kalau begitu, apa masalah membakar mahkota Papua itu? Apakah tindakan itu bagian dari upaya melindungi prinsip harmoni kehidupan? Saya pikir, justru tidak. Justru buka peluang untuk semakin marak perburuhan terhadap cenderawasih, karena disana membuka transaksi ekonomi. Tugas mereka menghancurkan, tugas para pebisnis menghasilkan. Semakin dimusnahkan, semakin dicari. Logika ekonomi “miras” perlu dipakai dalam kasus ini. Memusnahkan untuk memusnakan yang lain.
Oleh karena itu, kita perlu kembali ke budaya. Pengakuan (recognition) dan penghargaan (respect) terhadap budaya orang asli Papua. Di dalam budaya orang asli Papua, jelas ada protokolnya. Ada aturan yang mengatur terkait mahkota itu. Gunakan itu sebagai jalan rekonsiliasi dan mitigasi terhadap perlindungan burung cenderawasih.
Bagaiman jalannya? Kita bisa mulai dengan atribut mahkota itu digunakan hanya dalam budaya orang asli Papua ayng memiliki budaya itu, dan tidak dipakai dalam konteks yang lebih luas, atau di luar itu. Sehingga kita meletakan mahkota Papua itu sebagai modal budaya dan modal sosial, dan tidak memperlakukannya sebagai modal ekonomi yang dominan. Karena modal ekonomi lebih kuat mengkondisikan apropriasi budaya dan pemusnaan cenderawasih kita.
Itulah rintisannya.






