Alex Runggeary*)
–
Ketika jagad sastra nasional dihebohkan oleh even pencalonan peserta BRICS Literature Award dan menyebutkan pak Denny JA sebagai calon tunggal, muncul protes dari berbagai kalangan dari komunitas sastra seIndonesia.
Di luaran sana orang mengenal beliau sebagai Political Surveyer dengan Lembaga Survey Indonesia ( LSI ) yang selalu memprediski hasil perhitungan suara pada waktu Pemilu hampir selalu tepat menggunakan data Quick Count jauh sebelum data riil dimumkan. Beliau juga ahli dalam memproduksi tulisan cemerlang yang berbasis DATA. Bahkan ia sedang membuka jalan untuk menyampaikan hasil temuan melalui metodologi teruji ke tingkat Akademik di Perguruan Tinggi. Beliau hari ini adalah Ketua Satupena – Persatuan Penulis Indonesia, pengusaha dan Komisaris salah satu anak perusahaan PERTAMINA. Bisa dikatakan dia orang hebat. Dari segi perhitungan kekayaannya, jumlah nilai Hadiah tersebut mungkin tidak seberapa. Tetapi tentu saja itu bukan yang dicari. Beliau mencari pengakuan. Hal tersebut sangat manusiawi
Tetapi mengapa ia ditolak oleh kalangan sesama Sastrawan? Mari kita simak kemungkinan alasannya.
Dari pak Maman seorang Sastrawan dan Kritikus Sastra terkemuka menyatakan dengan tegas menolak nama Denny JA ketika diumumkan oleh Panitia BRICS Literature di Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 27 Oktober 2025 yang lalu.
Tidak hanya Pak Maman tetapi juga berbagai sastrawan mengajukan keberatan dalam satu dan lain bentuk. Ini bisa terbaca dari pelbagai Platform Digital seperti Hatipena.com atau Suara Anak Negeri.com serta komunitas sastra lainnya. Muncul tulisan tulisan yang pada dasarnya menempatkan posisi Pak Denny JA sebagai bagian upaya yang tidak fair untuk meraih Hadiah Sastra BRICS tersebut. Termasuk juga saya yang mengkritisi Pak Denny, walaupun saya anggota dari organisasi yang beliau pimpin Satupena. Nampaknya beliau atau kelompoknya melakukan ini sebagai upaya agar semua pihak mengakuinya sebagai – PELOPOR GENRE SASTRA PUISI – ESAI. Tulisan saya dengan judul: Why is Alexander Pope has to be Burried Twice ? Bukan hanya saya menyinggung Alexander Pope ( 1688 – 1744 ) sebagai pelopor genre Sastra Puisi Esai tetapi juga Sastrawan Sumatra Barat Rizal Tanjung yang turut menyinggung Alexander Pope dan tentu saja Sastrawan lainnya
Tetapi bukan hanya kali ini. Ini kejadian yang kedua kalinya. Pada 2022 yang lalu mendadak kelompok Pusis Esai binaan Pak Denny JA mengumumkan bahwa beliau dinomimasi oleh Panitia Nobel Prize sebagai salah satu nominee/calon penerima. Semakin menjadi riuh karena muncul argumen yang sama beliau adalah PENEMU GENRE SASTRA PUISI- ESAI. Banyak kalangan di komunitas sastra menolak pencalonan ini. Kompas akhirnya memperoleh kepastian langsung dari Penyelenggara Nobel Prize bahwa mereka tidak pernah mencalonkan Pak Denny JA.
Patut pula dikemukakan di sini bahwa banyak pula kalangan Sastrawan yang mendukung pencalonan ini. Termasuk cendekiawan dari perguruan tinggi dan tentu saja komunitas Puisi – Esai.. Artinya silahkan debat untuk memperoleh hasil maksimal. Apapun hasilnya.
Lalu mengapa di komunitas sastra PAPUA adem adem tak tersentuh polemik ini? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, tidak mau ikut dalam polemik ini dengan berbagai perrimbangan. Kedua, informasinya tidak sampai ke komunitas seperti Sastra Papua. Ataupun komunitas dan perorangan di Papua. Atau mungkin pertimbangan lainnya.
Tetapi mengapa kita harus ikut bersuara di hiruk-pikuk kontroversi ini? Karena menurut kata bijak, ketika kita diam, maka pada dasarnya kita ikut mendukung ketidakadilan.
Satu hal yang saya belajar dari peristiwa ini adalah ketika kebenaran yang dipoles datang bagai badai, orang – orang terpaksa memilih berlindung untuk keselamatan diri mereka. Namun demikian ada saja orang yang memilih untuk tetap melangkah di tengah badai itu untuk mencapai tujuan mereka – keadilan.(fairness)
—————————
Yogyakarta, 3 November 2025
*) Anggota Satupena Jakarta






