ARTIKEL FILOSOFIS:
Oleh: Rizal Tanjung
—
Di dunia yang terus berputar dengan kebisingan ambisi dan kilau materi, manusia semakin sulit membedakan antara berbicara untuk menyampaikan makna dan berbicara untuk membangun citra. Kata menjadi komoditas; suara menjadi mata uang baru yang menilai derajat seseorang. Maka lahirlah tiga penjaga rahasia dalam diri manusia — Uang, Ilmu, dan Moral. Ketiganya tak sekadar mempengaruhi cara seseorang hidup, melainkan juga menentukan bagaimana ia berbicara kepada semesta.
Karena sejatinya, tutur kata bukanlah sekadar bunyi yang keluar dari rongga mulut. Ia adalah getaran dari batin yang bersinggungan dengan dunia. Ia adalah gema dari cara kita menghargai hidup. Di sanalah, antara lidah dan nurani, kita menemukan akar filsafat dari sebuah kalimat sederhana:
“Uang mempengaruhi nada bicara,
Ilmu mempengaruhi gaya bicara,
Moral mempengaruhi etika bicara.”
—
I. Uang dan Nada Bicara: Saat Logam Menentukan Suara
Uang, dalam dunia modern, bukan hanya alat tukar; ia telah menjelma menjadi simbol kekuasaan yang mengatur intonasi hati manusia. Seseorang yang berlimpah harta sering kali berbicara dengan nada yang lembut namun tinggi—lembut karena merasa berkuasa, tinggi karena merasa di atas. Nada menjadi topeng keanggunan yang sebenarnya dibentuk oleh ketakutan kehilangan status.
Nada bicara adalah frekuensi batin. Ia bisa menunjukkan di mana seseorang berdiri dalam hierarki sosial yang tak kasat mata. Orang miskin mungkin berbicara dengan getar rendah, seolah memohon pengertian dari dunia; sedangkan orang kaya menuturkan kalimatnya seperti seorang dirigen yang mengatur orkestra nasib orang lain.
Begitulah uang bekerja secara halus namun dalam: ia menyelinap ke dalam getaran suara, menata tinggi rendahnya kata, mengatur kecepatan bicara, bahkan menentukan kepada siapa seseorang mau mendengarkan. Nada menjadi cermin yang memantulkan seberapa banyak logam mengisi hati.
Dan betapa seringnya, nada yang terdengar sopan sejatinya hanyalah gema dari ketakutan untuk kehilangan keuntungan.
Manusia yang dikuasai uang berbicara seperti pasar yang ramai: banyak bunyi, sedikit makna. Ia menukar ketulusan dengan harga diri, dan menjual empati di lelang gengsi. Namun manusia yang menguasai uang berbicara seperti angin: lembut tapi berdaya, tenang tapi menggerakkan.
—
II. Ilmu dan Gaya Bicara: Ketika Pikiran Menulis Nada Jiwa
Setelah uang, datanglah ilmu—sumber terang yang memberi bentuk pada logika dan ritme pada pikiran. Ilmu tidak menabuh gong seperti uang; ia menyala seperti lentera di tengah malam, memberi arah kepada mereka yang tersesat dalam kabut kebodohan.
Ilmu mempengaruhi gaya bicara, cara seseorang menenun kalimat, menyusun makna, dan memilih kata. Orang berilmu tidak tergesa-gesa; ia tahu setiap kata punya bobot, setiap jeda punya nilai. Gaya bicaranya bukanlah pertunjukan, melainkan jembatan antara pikiran dan pengertian.
Di dalamnya, keindahan dan ketepatan berjalan beriringan, seperti dua sayap burung yang membawa ide terbang ke langit pengertian.
Namun ilmu pun memiliki sisi gelap. Bila ia tak disinari oleh moral, ilmu berubah menjadi kesombongan. Lihatlah para orator yang fasih berkata-kata, namun setiap kalimatnya hanyalah pantulan dari ego. Ilmu tanpa kebijaksanaan adalah pedang tanpa sarung: tajam, menyakiti siapa pun yang disentuhnya.
Mereka berbicara bukan untuk menerangi, tetapi untuk mendominasi; bukan untuk mendengar, tetapi untuk mematahkan.
Seorang yang berilmu sejati berbicara dengan kerendahan hati seorang murid, meski ia sebenarnya guru bagi banyak orang. Ia tahu bahwa pengetahuan bukan untuk dibanggakan, tetapi untuk menuntun. Bahasanya sederhana, namun menembus; nadanya lembut, namun mengubah.
Gaya bicara yang lahir dari ilmu sejati bukanlah gaya yang dibuat-buat. Ia seperti sungai yang mengalir: jernih, konsisten, dan tak pernah memaksa siapa pun untuk minum.
—
III. Moral dan Etika Bicara: Saat Lidah Menjadi Cermin Jiwa
Dan setelah uang menata nada, ilmu menata gaya, muncullah moral — penjaga terakhir dari segala ucapan manusia. Ia adalah cahaya yang tidak berisik, namun tanpa dirinya, semua kata kehilangan makna. Moral mempengaruhi etika bicara; ia menuntun lidah agar tidak menjadi pedang, melainkan jembatan.
Etika bicara bukanlah sekadar tata krama sosial. Ia adalah bentuk kasih dalam bentuk kata. Ia lahir dari kesadaran bahwa setiap ucapan adalah anak panah yang bisa menembus hati manusia. Kata yang lahir tanpa moral adalah api; membakar hubungan, melukai jiwa, bahkan meruntuhkan dunia kecil di antara dua manusia yang saling percaya.
Moral mengajarkan bahwa berbicara bukan sekadar mengeluarkan bunyi, tapi menyampaikan nilai. Etika bicara adalah tarian antara empati dan kejujuran: bagaimana kita menyampaikan kebenaran tanpa menyakiti, dan bagaimana kita mendengar tanpa menghakimi.
Di tangan moral, setiap kalimat menjadi doa yang sopan, bukan senjata yang tajam.
Manusia bermoral tahu kapan harus diam dan kapan harus berbicara. Sebab ia paham, diam pun bisa menjadi kalimat paling bijak bila diucapkan pada saat yang tepat.
—
IV. Simfoni Ketiganya: Nada, Gaya, dan Etika dalam Keseimbangan
Ketika uang, ilmu, dan moral hidup dalam keseimbangan, maka manusia akan berbicara seperti seorang penyair yang mengerti harmoni kehidupan. Nada dari uang memberinya kekuatan, gaya dari ilmu memberinya kejelasan, dan etika dari moral memberinya makna.
Tanpa uang, suara manusia kehilangan daya;
tanpa ilmu, kalimatnya kehilangan arah;
tanpa moral, seluruh kata kehilangan jiwa.
Keseimbangan ketiganya membentuk simfoni kehidupan. Uang memberi daya untuk bertahan, ilmu memberi cara untuk mengerti, moral memberi alasan untuk hidup. Maka, berbicara bukan lagi sekadar kebutuhan komunikasi, melainkan tindakan spiritual—sebuah upaya menyalakan cahaya di antara dua kesadaran.
Dalam keseharian yang bising ini, kita mungkin tak sadar bahwa setiap kata yang keluar dari mulut kita sedang menulis sejarah kecil di hati orang lain. Nada kita akan diingat lebih lama daripada isi kalimatnya; gaya kita akan ditiru lebih sering daripada logikanya; dan etika kita akan dikenang lebih dalam daripada seluruh prestasi duniawi yang kita kejar.
—
V. Tentang Lidah dan Nurani
Pada akhirnya, manusia tidak diukur dari apa yang ia miliki, tetapi dari bagaimana ia berbicara kepada dunia. Suara yang tulus akan menemukan gema bahkan setelah pemiliknya tiada.
Nada bicara yang sopan adalah pantulan dari kerendahan hati;
gaya bicara yang bijak adalah hasil dari ilmu yang disiram kesadaran;
dan etika bicara yang luhur adalah tanda dari hati yang telah berdamai dengan dirinya sendiri.
Di sinilah letak filsafat tutur kata: bahwa berbicara adalah cara halus manusia berdoa kepada kehidupan.
Dan doa yang paling indah tidak selalu diucapkan dengan lantang,
melainkan disampaikan dengan nada yang jujur, gaya yang lembut, dan etika yang penuh kasih.
Sebab, dunia ini tidak hanya mendengar apa yang kita katakan,
tetapi bagaimana kita mengatakannya.
Dan di situlah, akhirnya, suara manusia menemukan keabadiannya.
—
Rizal Tanjung
— Dalam sunyi sebuah halaman tua, di antara bulu pena dan gema nurani yang belum padam.
2025.






