Oleh Herry Tjahjono
–
Kadang, hidup kita seperti ruang gema–dan suara-suara yang keras lebih cepat menyebar ketimbang yang jernih. Dan yang paling mudah diterima bukan yang paling benar, melainkan yang paling sesuai dengan ketakutan, kecurigaan, pun kebencian kita.
Beberapa waktu lalu, jagat maya diramaikan oleh isu “pengalihan wilayah Aceh ke Sumatera Utara”. Empat pulau–Banyak Nipah, Panjang, Lipan, dan Sopak–tiba-tiba menjadi bahan bakar baru bagi mesin-mesin kecurigaan dan kebencian politik. Narasi mulai dibangun: ini pasti ulah Jokowi. Atau Gibran. “Salawi”! Mereka, kabarnya diam-diam ingin “menguasai” semua.
Salah satu tuduhan yang mengemuka bahkan menyasar Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Katanya, Tito sedang “membalas budi” kepada Jokowi. Narasi ini dibumbui dengan insinuasi bahwa segala keputusan struktural pemerintah kini tak lebih dari bagian dari agenda satu dinasti kekuasaan. Tuduhan yang cepat, tajam, dan seperti biasa–tanpa verifikasi.
Namun, seperti daun yang diterpa angin kebenaran, semua itu rontok satu demi satu. Dalam pernyataan resminya Mendagri Tito Karnavian menjelaskan bahwa permintaan memasukkan empat pulau tersebut ke wilayah Sumut berasal dari Gubernur Sumut sebelumnya Edy Rahmayadi. Bukan Jokowi. Bukan pula bayangan oligarki. Dan yang lebih menarik: Edy adalah kader dan jagoan politik dari PDI-P, bukan bagian dari klan yang sedang jadi target tudingan konspiratif.






