Oleh John Puah

“Anda tidak akan menggapai impianmu jika tidak berani memulai apa yang harus dimulai.”

Di antara lembar-lembar Sang Alkemis karya Paulo Coelho, John Puah menemukan cermin kehidupan: tentang perjalanan seorang gembala mencari harta karun, yang ternyata adalah dirinya sendiri. Novel ini bukan sekadar kisah petualangan, melainkan perjalanan batin tentang keberanian untuk bermimpi dan mendengarkan suara hati. Dalam refleksinya, John Puah mengingatkan kita bahwa sastra sejati bukan hanya hiburan, tetapi juga jendela untuk memahami makna hidup.

John Puah (Gambar: Steffi Rengkuan)

Saat dalam kelesuan mengolah pikir setelah melewati beberapa peristiwa secara berurutan, seorang teman meminjamkan sebuah novel tua dengan judul Sang Alkemis, karya Paulo Coelhe. Tidak tebal, hanya 213 halaman. Ceritanya tidak kompleks, menggunakan alur maju serta bahasa Indonesia (terjemahan) yang ringan. Namun, di balik kesederhanaan itu terbesit pesan-pesan bijak menarik dalam memotivasi seseorang. Karena menarik, saya membaca lagi karya itu, dan kini kubagikan pengalaman olah batinku lewat tulisan ini dalam kerangka kritik sastra.

DUA FUNGSI MENDASAR SASTRA

  1. Sastra sebagai Cermin Kehidupan

Pertama, sastra sebagai sarana mengekspresikan kehidupan. Dalam bentuk fabel sekalipun, dinamika cerita yang diungkapkan tetap sebagai ekspresi dari beragam realita kehidupan. Entah setting cerita adalah hasil bentukan pengarang sehingga menjadi dunia tersendiri, tetap tak lepas dari realita kehidupan yang diperoleh lewat pengalaman empiris pengarang, maupun lewat bacaan-bacaan.

Menurut Miller, karya sastra adalah penciptaan atau penemuan dunia tambahan yang baru, meta-dunia, hiper-realitas. Dunia baru ini adalah dunia tambahan yang tak tergantikan pada dunia yang sudah ada. Selanjutnya ia mengutip pendapat Franz Kafka, yang menyebutkan bahwa seluruh potensi sastra adalah menciptakan dunia berdasarkan kata-kata di dalam kalimat.

Berkaitan dengan hal ini, Teeuw menegaskan bahwa lewat rekaan kita diacu kembali ke kenyataan. Interaksi para tokoh maupun dialognya tetap berkaitan dengan realita kehidupan. Untuk menguatkan pernyataan ini, Teeuw mengutip pendapat Wolfgang Iser: statt deren bloszes Gegenteil zu sein, teilt Fiktion uns etwas über Wirklichkeit mit (rekaan bukan merupakan lawan kenyataan, tetapi memberitahukan sesuatu mengenai kenyataan).

  1. Sastra sebagai Ruang Refleksi

Kedua, sebagai sarana merefleksikan kehidupan. Untuk fungsi yang kedua ini, saya harus akui bahwa novel tersebut cukup memengaruhi hati dan pikiran saya dalam mengolah batin untuk menghadapi langkah hidup selanjutnya.

Memanglah, menurut saya, kekuatan dari sastra adalah bagaimana kemampuan pengarang mengolah tokoh-tokoh cerita menjadi suatu dinamika peristiwa yang terstruktur sehingga menarik pembaca untuk terlibat dengan peristiwa rekaannya. Sekaligus lewat kalimat-kalimat dan diksi yang tepat, pembaca diajak masuk dalam berefleksi.

Bronowski, penulis The Ascent of Man, menyatakan secara tegas bahwa sejarah telah mencatat pemanfaatan energi alam sebagai kekuatan besar dalam menggerakkan manusia untuk keluar dari kepasrahan statis menuju pada kualitas kehidupan yang lebih baik. Energi yang menjadi perhatian utama dan berkembang pesat (muncul banyak ciptaan) seperti “badai”, tidak hanya dilihat dalam ilmu pengetahuan, tetapi dapat juga dilihat dalam bidang seni (baca: sastra).

NOVEL TUA DARI PENGARANG HANDAL

Profil Singkat Paulo Coelho

Dari beberapa catatan, novel ini disebut merupakan sebuah kisah perjalanan atau petualangan. Apa pun penilaiannya, bagiku bukan masalah dan itu tidak salah. Namun, saya lebih condong menyebutkan cerita ini merupakan roman spiritual.

Karya yang dianggap memikat ini telah memberikan inspirasi bagi jutaan orang di seluruh dunia. Sederhana namun menyimpan banyak kebijaksanaan penuh makna.

Paulo Coelhe adalah seorang penulis kawakan kelahiran Brasil. Oleh sebab itu bahasa yang digunakan ketika pertama kali diterbitkan tahun 1988 adalah bahasa Portugis dengan judul O Alquimista. Brasil adalah satu-satunya negara di Amerika Latin yang menggunakan bahasa Portugis sebagai bahasa nasional. Negara-negara lain menggunakan bahasa Spanyol. Pertama kali diterbitkan di Indonesia pada tahun 2002.

Dari sekian banyak karyanya, novel ini dianggap paling terkenal dan paling laris (best seller). Atas prestasinya lewat sejumlah karya, Paulo Coelhe telah memperoleh sejumlah penghargaan, termasuk Crystal Award dari Forum Ekonomi Dunia. Menariknya, berbagai penghargaan yang ia peroleh kebanyakan berasal dari luar Brasil, dan banyak juga dari negara-negara Eropa Timur.

Bakat menulis Paulo Coelhe sudah terlihat sejak di bangku sekolah yang dikelola oleh Jesuit. Namun bakatnya itu kurang mendapat dukungan dari orang tuanya. Orang tuanya lebih menginginkan ia menjadi seorang arsitek. Dikaitkan dengan alur pergumulan hidupnya, saya berpendapat juga bahwa karya yang sudah diterjemahkan ke lebih dari enam puluh bahasa ini merupakan ekspresi dari pergumulan hidupnya untuk keluar dari kungkungan orang tuanya yang keras.

STRUKTUR SEDERHANA NAMUN KUAT

Karya ini tergolong unik. Strukturnya sederhana karena tak menampilkan tokoh antagonis yang berfungsi memicu konflik. Sebagaimana dipahami, sebuah cerita berkembang karena ada konflik. Konflik lahir karena ada kaitan dengan peranan tokoh antagonis.

Dalam kisahnya dihadirkan beberapa tokoh, namun semuanya hanya sebatas tokoh tambahan karena bersifat fragmentasi. Di sinilah kepiawaian sang pengarang dapat dilihat. Bercerita tanpa tokoh antagonis memerlukan kemampuan mengolah narasi, diksi, dan dialog secara baik sehingga jalan kisahan tidak berkembang serampangan. Terlebih bagaimana cerita bisa membawa pembaca untuk terlibat secara emosional dengan jalan kisahan itu. Ini tidak gampang.

SIMBOL DAN KALIMAT-KALIMAT INSPIRATIF

Makna Simbolik Gurun dan Harta Karun

Kisahnya mengacu pada seorang anak muda bernama Santiago yang hidup di daerah Andalusia, Spanyol Selatan. Orang tuanya yang petani miskin menginginkannya menjadi seorang pastor. Ia sempat mengenyam pendidikan di seminari, namun kemudian keluar dan memilih menjadi gembala domba. Ia merasa bahagia dengan pilihannya. Bahkan karena mencintai pilihannya, ia banyak berkelana dan menguasai banyak pengetahuan berkaitan dengan alam dan domba-dombanya, serta berkenalan dengan seorang gadis, anak saudagar kain yang kaya. Menariknya, meski ia seorang gembala, ia punya kegemaran membaca buku.

Suatu kali ia bertemu dengan seorang wanita Gipsi karena ingin meminta ramalan pendapat akan dua mimpinya yang sama. Setelah itu tanpa sengaja ia bertemu dengan seorang bernama Melkisedek yang menyebut dirinya Raja Salem. Kedua orang itu menyatakan hal yang sama padanya bahwa ada harta terpendam di Piramida-piramida, di Mesir.

Lewat pengalaman inilah petualangannya dimulai. Dari Spanyol ia pun menyeberang ke Afrika untuk meraih niat utama, yaitu mendapatkan harta karun. Melewati banyak tantangan, termasuk ditipu orang. Bukannya menggerutu atau patah semangat, ia terus berupaya mencari jalan menuju ke tempat impian itu.

Perjalanan yang sarat survive of life menjadi materi yang menarik untuk dipetik dari kisahnya karena disampaikan pengarang tanpa dengan kalimat-kalimat menggurui.

Simbol-Simbol Utama dalam “Sang Alkemis”

Beberapa simbol yang dapat ditangkap dari kematangan sang pengarang dalam mengekspresikan gagasannya, antara lain:

Gurun Sahara bukanlah sekadar suatu bentang alam yang memiliki karakteristik kesulitan, tetapi adalah sebuah wilayah dari realita kehidupan setiap orang yang penuh problema. Kenyataan ini mau tidak mau harus dihadapi sebab manusia dilahirkan untuk menghadapi kehidupan.

Harta karun yang diimpikan Santiago bukanlah sekadar tumpukan barang emas berkilauan, tapi simbol dari sebuah impian, sebab hidup harus mempunyai impian agar terdorong untuk berproses ke kehidupan yang lebih baik.

Dorongan berpetualang adalah simbol bahwa manusia harus berani keluar dari kepasrahan statis.

Kalimat-Kalimat Inspiratif yang Menggugah

Beberapa kalimat inspiratif yang menarik direnungkan:

“Saat kamu menginginkan sesuatu, seluruh alam semesta akan bersatu membantumu meraihnya.”

“Kau harus mengerti, cinta tak pernah menghalangi orang mengejar takdirnya.”

“…ada bahasa yang tidak bergantung pada kata-kata.”

“Kita takut kehilangan apa yang kita miliki, entah itu hidup kita, harta benda kita, ataupun tanah kita. Tapi rasa takut ini menguap begitu kita memahami bahwa kisah-kisah hidup kita dan sejarah dunia ini ditulis oleh tangan yang sama.”

“Janganlah engkau tak sabar, makanlah pada saat makan, dan berjalanlah pada saat harus berjalan.”

“Mengapa kita harus mendengarkan suara hati kita? Sebab, di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada.”

Refleksi dan Harapan

Peminjaman buku dari seorang teman mungkin hanya peristiwa kebetulan. Tapi dengan mata hati, bagiku lebih dari itu. Ini pekerjaan alam semesta. Percaya atau tidak, itulah yang terjadi, yang mana kurasakan manfaatnya setelah membaca buku tersebut, dan secara perlahan-lahan saya masuk berefleksi untuk menghadapi hari-hari selanjutnya.

Semoga pelajaran sastra menjadi bagian dalam pendidikan formal dalam upaya pembentukan karakter sebagai bagian dari pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Sayang jika dikesampingkan, apalagi jika diabaikan.

Penutup

Dalam setiap kisah yang diceritakan Paulo Coelho, dan dalam setiap refleksi yang ditulis John Puah, terselip pesan universal bahwa manusia adalah pengelana di jalan takdirnya sendiri. Kita semua, seperti Santiago, sedang mencari “alkemis” dalam diri. kebijaksanaan yang lahir dari keberanian untuk percaya, berjuang, dan bertahan. Sastra menjadi saksi dari pencarian itu: membimbing kita untuk melihat dunia, memahami hati, dan menemukan Tuhan dalam perjalanan yang paling sunyi,  perjalanan menuju diri sendiri.