Laporan Anto Narasoma
–
MENCERMATI pergelaran cerita panggung bertajuk Sultan Mahmud Badaruddin II : Harimau yang tak Dapat Dijinakkan karya Vebri Al-Lintani, mampu menghibur para penonton di balkon Taman Budaya Sriwijaya Palembang.

Sebagai sutradara, Vebri Al-Lintani begitu piawai menggarap pementasan dengan melibatkan anak-anak pelajar, meski di antaranya terdapat juga pemain lama.
Dari tampilan awal, para pelakon benar-benar lebur ke dalam perannya masing-masing. Itu terlihat setelah lampu padam, suasana permainan begitu merenggut perhatian penonton.
Pemeran Sultan Mahmud Badaruddin II — Dedet Sutrisno mampu mengajak pelakon lain, Sonop (Tumenggung Lanang Suro) dan Aidil Ihsan yang berperan sebagai Pangeran Aryo Kesumo.
Sebagai pemain kawakan, Sonop mampu mengendalikan suasana permainan sehingga tampilan awal mampu membangun satu-kesatuan dialog terkait harga diri kesultanan yang hendak dijajah Belanda dan Inggris.
Sandiwara panggung tiga babak ini memperlihatkan kepahlawanan Sultan Mahmud Badaruddin II dan para pendukungnya.
Dari babak pertama, karakter yang dimainkan para pelakon terkesan apik dan mampu menghidupkan cerita yang disajikan.
Seperti dialog yang diungkap Dedet Sutrisno saat melakonkan Sultan Mahmud Badaruddin II kepada lawan mainnya Sonop, mampu memunculkan wibawa seorang sultan, meski takaran karakternya masih belum bisa distandarisasi seratus persen sebagai pemain puncak, namun Dedet mampu berkolaborasi permainan dengan dua pelakon lainnya (Sonop dan Aidil Ihsan).
Dari kontak permainan yang serius serta menciptakan suasana perlawanan terhadap penjajah, ketiga pemain mampu menghadirkan ekspresi yang kuat dengan dialog-dialog serta gerakan tubuhnya yang apik.
Sebab, Dedet, Sonop, dan Aidil, berhasil menguasai ruang gerak, serta tempo dialog yang saling memberikan kesempatan untuk menciptakan tokoh yang mereka perankan.
Kekompakan permainan seperti ini dalam dunia panggung disebut sebagai kolaborasi permainan yang saling memunculkan karakter satu-kesatuan yang kompak.
Sedangkan pada adegan lanjutan, tokoh pemimpin Belanda Jacob Groenholf yang diperankan Herman, berusaha keras untuk memperkuat karakternya sebagai pemimpin bagi timnya.
Anak-anak SMA yang berperan sebagai prajurit yang mengusung senjata (senapan) tampak serius untuk mewujudkan perannya sebagai tentara.
” Godveerdom zeg!,” begitu Hermansyah “marah” ketika tokoh sultan secara halus (sesuai tradisi masyarakat Palembang) menentang keinginannya untuk menguasai perekonomian rakyat.
Dalam konteks permainanya terkait ke-Belanda-an, Hermansyah cukup mampu memberikan tawaran permainan yang bagus.
Terutama ketika mereka melakukan serangan terhadap pihak Sultan Mahmud Badaruddin II, suasana permainan begitu kompak dengan penguasaan panggung yang patut dijempoli.
Meski secara totalitas pemainnya banyak pelajar, tapi secara keseluruhan, sajiannya begitu kompak dan saling mendukung.
Sebagai sutradara, Vebri Al-Lintani begitu piawai untuk menetapkan ungkapan cerita pementasan melalui uraian dongeng yang dimotori pendongeng Slamet Nugroho atau yang akrab disapa Mas Inug.
Inug dan kolerasinya Cek Ayu, Cek Yuli serta anak-anak dari Teater Red Ribbon SMA Negeri 10 Palembang, mampu mengaitkan dari adegan ke adegan tradisi masyarakat Palembang.
Meski sederhana, namun sajian pentas panggung itu terkesan elit. Dari busana yang dipakai pemain, ilustrasi musik, dekorasi pertunjukan, serta kekompakan pemain, patut mendapat apresiasi.
Meski sebagai manusia banyak sekali kekurangannya, namun dari tiga adegan yang ditampilkan, sangat sulit untuk mengatakan hal-hal buruk tentang permainan para pelakon memang sulit untuk diucapkan.
Apalagi dalam lakon Sultan Mahmud Badaruddin II itu ada beberapa pemain senior yang memperkuat sistem permainan tradisi masyarakat Palembang tersebut.
Ada beberapa pemain senior di antaranya, pemeran Kemas Muhammad Imansyah, Raden Machmud’Wak Dolah, Raden Amer yang diperankan Efvan Fajrullah.
Pentas panggung Sultan Mahmud Badaruddin II ini pada awal permainan terkesan datar, datar, kemudian eksistensi permainannya meningkat disaat pertempuran antara sultan cs melawan Belanda.
Bahkan dari perlawanan itu terjadi kimaks adegan dalam pertunjukannya ketika sultan dan pejabat kerajaan harus ditangkap dan diasingkan ke Ternate.
Namun tak bisa diremehkan ketika dua pemain yang berperan sebagai Cik Nang (Khairul Saleh) dan Nang Cik (Dandi Afrizal) yang melakonkan dua pemancing yang kocak dan membuat penonton terpingkal-pingkal.
Dalam lakon permainan itu, ada juga kisah cinta yang terselubung di balik penangkapan Sultan Mahmud Badaruddin II. Sebagai gadis yang dipingit pada masa-masa dahulu, Cek Molek (Saqila SPH-Alum Ratu Jingga) menjelaskan identitas percintaan masa lalu yang sulit untuk bermesraan.
Apalagi untuk menyetujui percintaan seorang anak dara yang dilamar pihak besan, memang tak segampang membalikkan telapak tangan. Inilah yang membuat tampilan cerita semakin membuat penonton penasaran.
Kita patut memberikan apresiasi kepada Vebri Al-Lintani sebagai penulis naskah dan sutradara, Hasan MSn (asisten sutradara I), dan Evfan Fajrullah (asisten sutradara II dan pemeran Raden Amer).
Bahkan para artistik yang mampu memberikan warna bagi pementasan adalah Salwa Pratiwi (penata gerak), Nurdin MSn dan M Rizsky (penata busana), Monik dan Desti (penata rias), penata musik, di antaranya, Randi, Imansyah, Gusti, Nata, Caca, Syawal, dan Zayyad.
Sedangkan penata lampu, Hasan MSn, dan penata dekorasi panggung, Marta Astra Winata. Pentas panggung ini dimotori Fir Azwar sebagai pemimpin produksi, sekretaris pementasan Ali Goik, sedangkan bendahara dan marketing digawangi Isnayanti Syafrida. Sementara penjualan tiket Sujarwo, seksi publikasi Annasro, serta seksi perlengkapan dilaksanakan Reihan. (*)






