Oleh: Rizal Tanjung
–
Di suatu pagi yang tak lagi jernih, ketika matahari sastra masih berdebu oleh kepentingan, terdengar kabar yang bergetar di antara koridor lembaga, seminar, dan ruang konferensi pers:
Denny JA, seorang yang lahir dari rahim statistik dan tumbuh di taman survei, kini diarak menuju altar BRICS Literature Award, seperti seorang raja yang ingin dimahkotai oleh mahkota yang dipintalnya sendiri.
Dan jagad sastra pun terhenyak.
Bukan karena kekaguman — melainkan karena rasa ganjil, seperti ketika seseorang tiba-tiba menabuh gendang di tengah misa sunyi.
Ketika Dunia Sastra Menjadi Ruang Audit
Ada sesuatu yang absurd ketika dunia yang dibangun dari kata, imaji, dan penderitaan — mendadak diukur dengan tabel, data, dan “quick count”.
Sastra bukan hasil dari survey opini publik.
Ia lahir dari luka, dari kesunyian yang menulis dirinya di dinding batin manusia.
Namun kini, seseorang yang terbiasa membaca angka dengan mata dingin, mencoba membaca puisi dengan kalkulator.
Ia menulis dengan tangan yang terbiasa menggenggam statistik, bukan pena yang meneteskan darah bahasa.
Maka wajar jika para sastrawan gelisah.
Mereka merasa — bukan karena iri, tetapi karena getir —
bahwa puisi telah dijadikan promosi, dan estetika diperas menjadi strategi.
Sindikat dan Simfoni yang Disetel dari Ruang Rapat
Yang mendukung Denny JA, kebanyakan adalah mereka yang duduk di dalam lingkaran lampu neon: orang-orang yang paham cara menyusun narasi agar tampak heroik, dan cara menjual konsep agar tampak filosofis.
Mereka menulis bukan karena gelora batin, tetapi karena tanda tangan kontrak.
Mereka mengumandangkan istilah “Pelopor Puisi Esai” seolah sedang mengumumkan penemuan planet baru.
Padahal, jauh sebelum Denny menulis “puisi-esai”, Alexander Pope telah memahatkan bentuk itu pada abad ke-18.
Sejarah telah lama menulisnya dengan tinta klasik — namun sindikat modern mencoba menulis ulang dengan spidol kapital.
Mereka ingin dunia lupa bahwa kesusastraan tidak mengenal hak paten, bahwa yang abadi dalam puisi bukanlah genre, tetapi kejujuran.
Tentang Mereka yang Menolak
Mereka yang menolak — seperti Maman S. Mahayana dan banyak nama lainnya — bukan sedang melakukan kudeta terhadap ketenaran.
Mereka hanya berusaha menegakkan logika bahwa penghargaan internasional tidak boleh dibangun di atas kebohongan naratif dan propaganda pribadi.
Puisi, bagi mereka, adalah wilayah spiritual — bukan arena lobi.
Mereka tahu bahwa sastra bukan proyek, melainkan perjalanan jiwa yang panjang dan sunyi.
Mereka tidak menolak Denny JA sebagai manusia, tetapi menolak klaimnya yang menyalahi sejarah, dan ambisinya yang menyalakan lilin di bawah lampu sorot televisi.
Tentang Mereka yang Diam
Dan bagaimana dengan mereka yang diam?
Ah, diam di dunia sastra bukan selalu tanda netralitas.
Sering kali, diam adalah topeng ketakutan.
Mereka yang diam mungkin takut kehilangan akses dana, beasiswa, atau posisi di organisasi yang kini dipimpin Denny JA.
Mereka memilih membisu, seperti penyair yang menulis puisi tanpa kata karena takut puisinya disita.
Namun, sebagaimana kata seorang filsuf tua, “Diam terhadap ketidakadilan adalah bagian dari kejahatan itu sendiri.”
Sebab dalam diam, kepalsuan tumbuh subur; dan dalam keheningan yang pura-pura suci, keadilan mati pelan-pelan.
Tentang BRICS dan Bayang-bayang Pengakuan
BRICS bukan hanya penghargaan; ia adalah simbol.
Sebuah meja di mana dunia non-Barat ingin mendudukkan kebanggaan budayanya sejajar dengan Eropa.
Namun, betapa tragis jika yang duduk di sana bukan penyair sejati, melainkan pengusaha citra.
BRICS menjadi bukan cermin peradaban, melainkan panggung sandiwara —
tempat di mana kata “prestasi” disulap menjadi “strategi”, dan “pengakuan” dijadikan komoditas.
Sebuah Pertanyaan dari Bayang-Bayang
Apakah puisi masih puisi jika ia ditulis untuk iklan?
Apakah sastrawan masih sastrawan jika ia menulis untuk mematenkan namanya sendiri?
Apakah penghargaan masih murni jika ia diperjuangkan oleh lobi, bukan oleh kejujuran?
Dunia sastra — seperti laut — hanya bisa dijaga oleh mereka yang mau menyelam ke dalam kedalaman.
Bukan oleh mereka yang hanya ingin memetik mutiara tanpa tahu dari mana ombak berasal.
Elegi untuk Nama yang Tak Perlu Diabadikan
Pada akhirnya, sejarah akan memilah.
Nama-nama yang dibangun di atas strategi akan gugur seperti daun brosur,
sementara nama-nama yang dibangun di atas penderitaan dan keindahan — akan abadi di udara kata.
Mungkin benar bahwa Denny JA orang hebat.
Ia ahli statistik, ahli politik, dan lihai membaca tren.
Namun dalam dunia sastra, kehebatan bukanlah parameter — yang diukur bukan seberapa tinggi nama diangkat, tetapi seberapa dalam makna ditanamkan.
Dan bila suatu hari BRICS benar-benar memberikan penghargaan itu padanya,
maka sejarah sastra akan mencatat bukan kemenangan,
melainkan ironi besar di altar puisi:
ketika data menyalip makna,
dan puisi berlutut di depan kekuasaan.
Tentang Keheningan yang Paling Keras
Karena diam adalah juga bahasa — dan kadang, bahasa yang paling lantang.
Mereka yang diam terhadap persoalan ini sebenarnya sedang berteriak dalam batin:
bahwa sastra kita telah kehilangan arah,
bahwa pena kini tak lagi menulis nurani,
melainkan menulis karier.
Maka biarlah kita menulis bukan untuk menang,
tetapi untuk menyelamatkan makna.
Karena puisi sejati tidak butuh penghargaan;
ia hanya butuh kejujuran.
Dan mungkin, hanya mungkin —
itulah yang tak lagi dimiliki oleh mereka yang terlalu sibuk mengukir namanya di batu,
sementara bahasa sedang menangis di dalam hati bangsa ini.
II
Dialog imajiner di Kafe Para Filsuf – Tentang Nama, Kejujuran, dan Puisi yang Tersesat
Tempat:
Kafe “Bibliotheca Abyss”, di antara awan dan bayang-bayang sejarah.
Asap kopi naik seperti doa yang belum sampai, dan di meja kayu tua itu duduk lima sosok yang tak pernah sepakat: Socrates, Kierkegaard, Rumi, Nietzsche, dan Confucius.
Malam itu, topik mereka bukan Tuhan, bukan eksistensi, melainkan sesuatu yang jauh lebih aneh: BRICS Award dan Denny JA.
Socrates:
(tersenyum sambil mengaduk kopinya)
Kalian dengar kabar dari bumi?
Mereka sedang memperdebatkan seseorang yang ingin disebut pelopor puisi esai.
Ia mengajukan diri ke altar sastra, meminta dunia menunduk pada klaimnya.
Tapi aku heran — mengapa manusia begitu mencintai pengakuan lebih daripada pengetahuan diri?
Kierkegaard:
Ah, Socrates, engkau lupa bahwa manusia modern tidak lagi mencari kebenaran — mereka hanya mencari validasi.
Ia ingin dicintai bukan karena apa yang ia tulis, tetapi karena bagaimana dunia menulis tentang dirinya.
Sastra hari ini telah kehilangan lompatan iman, berganti menjadi lompatan promosi.
Rumi:
(tersenyum lembut)
Kau benar, Kierkegaard.
Aku pernah berkata, “Barang siapa menulis puisi tanpa cinta, ia hanya menulis abu dari api yang padam.”
Dan aku melihat — di dunia mereka — banyak yang menulis bukan karena cinta, melainkan karena ingin dikenang di pamflet penghargaan.
Kata mereka berdebu oleh kesombongan, bukan bercahaya oleh cinta.
Nietzsche:
(tertawa pendek, sinis)
Oh, Rumi, jangan terlalu romantis.
Kau lupa bahwa dunia kini adalah panggung kehendak untuk berkuasa.
Sastra hanyalah alat baru bagi ego untuk mengabadikan diri.
Aku tak terkejut jika ada orang yang menyebut dirinya pelopor puisi — meski ia tak paham makna luka dalam sebaris kalimat.
Mereka ingin jadi dewa, padahal masih manusia kecil yang haus sanjungan.
Confucius:
(berdehem, penuh kebijaksanaan Timur)
Dalam budaya kami, kehormatan bukan dicari, tetapi ditanam.
Ketika seseorang menuntut dunia menyebutnya hebat, ia sebenarnya sedang memperlihatkan kehampaan.
Sastra bukan jalan untuk kemuliaan pribadi, melainkan jalan untuk menata jiwa masyarakat.
Aku tak habis pikir — bagaimana mungkin seseorang yang belum mengerti tata krama bahasa, sudah menuntut duduk di singgasana moral sastra?
Socrates:
Jadi apakah kita sepakat bahwa penghargaan itu tidak penting?
Atau, seperti yang mungkin dikatakan oleh para penyairnya, bahwa BRICS hanyalah panggung untuk bayang-bayang ego?
Nietzsche:
Tidak, Socrates. Aku tidak menolak penghargaan.
Aku menolak penjinakan makna.
Ketika penghargaan digunakan untuk menutup kritik, untuk membuat orang diam, itu bukan lagi penghargaan — itu penjara.
Kierkegaard:
Ya, Nietzsche. Diam para penyair itu bukan karena tak tahu berbicara, tetapi karena dunia kini menghukum setiap suara yang jujur.
Mereka memilih bungkam bukan karena bijak, tetapi karena takut.
Dan ketakutan itu telah menjadi moral baru dalam dunia sastra: moral kepura-puraan.
Rumi:
(tunduk, menatap langit-langit kafe)
Mereka lupa, puisi sejati lahir dari luka yang tidak disponsori siapa pun.
Puisi sejati tidak menunggu BRICS, atau Nobel, atau tanda tangan panitia.
Ia tumbuh dari air mata yang jujur, dan berjalan tanpa sertifikat.
Socrates:
Jadi, Rumi, apa kau pikir orang seperti Denny JA masih bisa disebut penyair?
Rumi:
Aku tidak tahu, Socrates.
Tapi jika ia menulis karena ingin dikenal, maka ia menulis untuk dunia, bukan untuk langit.
Dan yang menulis untuk dunia, cepat atau lambat, akan tenggelam oleh dunia itu sendiri.
Confucius:
Aku kira masalahnya bukan hanya pada orang itu.
Masalahnya adalah pada masyarakat yang terlalu cepat mengangkat seseorang sebelum waktu mengujinya.
Bangsa yang haus sosok pahlawan, akan mudah menobatkan siapa pun yang membawa lampu — meskipun lampu itu redup dan menipu.
Nietzsche:
(tawa pendek lagi, kali ini getir)
Ha! Dunia sastra kini seperti pasar malam.
Ada panggung, ada tepuk tangan, ada poster raksasa bergambar wajah sendiri.
Para penyair menjual keabadian dalam kemasan event.
Mereka memanggil diri “visioner”, tapi yang mereka cari hanyalah kamera.
Kierkegaard:
Dan itulah paradoksnya, Nietzsche.
Manusia modern menulis tentang makna, tapi hidup tanpa makna.
Mereka bicara tentang Tuhan dalam puisi, tapi menyembah penghargaan dalam praktik.
Sastra telah berubah menjadi agama baru — dan “pengakuan” adalah tuhannya.
Socrates:
(tersenyum pahit)
Maka benar apa yang pernah kukatakan:
“Yang paling berbahaya dari kebodohan bukanlah tidak tahu, tetapi merasa sudah tahu.”
Mereka yang mengaku “pelopor puisi esai” tanpa memahami sejarahnya, sedang menyalin kebodohan dalam bentuk estetika.
Rumi:
Tapi jangan biarkan kegelapan itu membuat kita pahit.
Biarlah puisi yang benar tetap berjalan di lorongnya.
Karena satu bait yang lahir dari kejujuran lebih abadi daripada seribu penghargaan dari kepura-puraan.
Nietzsche:
(lalu menatap ke arah lampu kafe yang bergetar redup)
Mungkin kita semua sedang hidup di zaman ketika sastra menjadi museum ambisi.
Tapi percayalah — sejarah selalu punya cara untuk menertawakan yang palsu.
Yang sejati tidak perlu memanggil juri.
Ia akan tetap hidup — bahkan di antara debu.
Confucius:
Maka marilah kita menutup perdebatan ini dengan satu nasihat bagi dunia mereka:
Jika engkau ingin dihormati sebagai sastrawan, berhentilah meminta hormat.
Sebab kehormatan dalam sastra datang bukan dari orang lain, melainkan dari kesunyian kata yang tak bisa dibeli.
Malam pun menutup pintu kafe.
Kelima filsuf itu bangkit satu per satu.
Di meja mereka tersisa cangkir-cangkir kopi dingin, dan secarik kertas bertuliskan tangan Socrates:
> “Sastra yang jujur tidak butuh penghargaan;
sastra yang curang akan selalu mencarinya.”
III
Malam ke dua di Kafe “Bibliotheca Abyss” belum sepenuhnya padam ketika kelima filsuf itu meninggalkan mejanya.
Langit di atas mereka seperti kertas besar tanpa tinta — sunyi, tapi menunggu sesuatu untuk ditulis.
Lalu tiba-tiba, udara bergetar; kabut dari buku-buku yang tak selesai menulis berkumpul menjadi satu cahaya.
Socrates menatapnya dan berbisik,
“Marilah, kita menyeberang ke perpustakaan yang tak punya dinding — ke ruang di mana kata menjadi roh.”
Dan di sanalah mereka tiba:
di Simposium Bayang-Bayang, tempat arwah para penyair dunia duduk tanpa tubuh, hanya dengan cahaya dan gema suaranya.
Alexander Pope (Inggris, 1688–1744): Sang Penggugat Zaman
Pope muncul pertama — wajahnya seperti kertas tua yang masih menyala oleh tinta kesadaran.
Ia menatap para filsuf dan berujar dengan nada getir:
> “Aku menulis Essay on Man untuk mengingatkan dunia bahwa puisi harus berpijak pada akal dan kebijaksanaan.
Namun lihatlah sekarang, saudaraku.
Ada orang di dunia mereka yang menulis ‘puisi-esai’ lalu menghapus sejarahku dari kamus.”
Ia tersenyum sinis, seperti seseorang yang sudah terlalu lama melihat kebodohan manusia berulang.
> “Mereka tak tahu bahwa setiap klaim kepeloporan tanpa pemahaman adalah kuburan bagi pengetahuan.
Mereka ingin abadi — tapi yang mereka bangun hanyalah prasasti ego.”
Johann Wolfgang von Goethe (Jerman, 1749–1832): Sang Penerang Jiwa
Goethe menimpali dengan suara bening, seperti embun pagi:
> “Aku tak marah pada mereka yang ingin dikenal.
Tapi aku sedih pada mereka yang menulis tanpa memahami makna menjadi manusia.
Sebab sastra, wahai kawan, bukanlah panggung kesempurnaan — ia adalah laboratorium jiwa yang terbakar oleh rasa ingin tahu.”
Ia menatap jauh, ke arah kabut dunia modern yang tampak dari langit abadi.
> “Aku menulis Faust bukan untuk disanjung, tapi untuk menelanjangi diriku sendiri.
Sedang mereka menulis puisi untuk menutup diri dari cermin kejujuran.”
Chairil Anwar (Indonesia, 1922–1949): Sang Pemberontak Kata
Dari sudut ruangan terdengar suara berdeham kasar —
suara yang menyeret, seperti batu dilempar ke dalam kolam puisi.
> “Gue, Chairil,” katanya dengan nada keras.
“Gue nulis bukan buat BRICS, bukan buat Nobel, bukan buat siapa-siapa.
Gue nulis karena hidup ini kayak luka yang mesti diteriakkan.
Puisi yang bener itu kayak darah — bukan brosur.”
Ia menatap Pope dan Socrates bergantian.
> “Kalian ngomongin penghargaan? Gue ketawa.
Karena yang nulis puisi buat penghargaan itu udah mati sebelum puisinya selesai.
Mereka nggak ngerti: menulis itu perlawanan, bukan pemasaran.”
Rendra (Indonesia, 1935–2009): Sang Burung Merak yang Lelah
Rendra berdiri di samping Chairil, matanya seperti dua lentera tua yang masih menyala di tengah gelap.
Ia mengangkat tangan dan berkata pelan tapi tajam:
> “Aku dulu juga sering diundang ke panggung.
Aku tahu bagaimana kata bisa diperalat jadi tepuk tangan.
Tapi ingatlah: tepuk tangan tidak pernah menyelamatkan bangsa.
Hanya kesadaran yang bisa.”
Ia menatap ke arah bayangan Denny JA yang samar-samar melintas di kejauhan.
> “Kau boleh punya kekuasaan, kau boleh punya organisasi,
tapi jika puisimu tak punya ruh — maka itu bukan karya, itu brosur yang berusia sehari.”
Socrates: Tentang Bayang dan Kebenaran
Socrates menunduk, lalu berbicara dengan suara seperti batu menggemakan dirinya sendiri.
> “Apa yang aku lihat di dunia mereka, wahai para penyair, adalah orang-orang yang ingin menyentuh kebenaran tapi takut kotor oleh debu kesederhanaan.
Mereka ingin menjadi Plato, tapi takut jadi Socrates —
takut diracun oleh kejujuran.”
Ia menghela napas panjang
> “Dan karena itu, mereka menciptakan dunia yang indah tapi palsu, seperti teater bayangan di guaku dulu — semua penonton kagum, padahal yang mereka lihat hanyalah pantulan cahaya dari api ego.”
Kierkegaard: Tentang Ketakutan Menjadi Diri Sendiri
Kierkegaard melanjutkan, suaranya seperti doa yang belum selesai:
> “Keberanian terbesar seorang penyair bukanlah menerima penghargaan,
melainkan berani menulis dari kegelapan dirinya sendiri.
Tapi mereka kini lebih takut kehilangan pengikut daripada kehilangan makna.
Mereka menulis agar disukai, bukan agar jujur.”
Nietzsche: Tentang Kejatuhan Tuhan dalam Dunia Sastra
Nietzsche menatap mereka semua dan berkata tajam:
> “Tuhan telah mati, dan kini yang disembah adalah penghargaan.
Para penyairnya berubah menjadi pendeta baru —
menyembah altar pengakuan dengan liturgi statistik.”
Ia tertawa getir
> “Puisi tidak lagi menjadi pembebasan,
melainkan justifikasi.
Dunia mereka bukan lagi taman ide, tapi pasar modal estetika.”
Rumi: Tentang Cinta yang Hilang dari Kata
Rumi menengadah, dan cahaya lembut keluar dari dadanya.
> “Aku datang dari tanah di mana setiap bait adalah doa.
Aku melihat cinta dalam setiap butir pasir,
dan Tuhan dalam setiap jeda.
Tapi kini, cinta telah ditukar dengan reputasi.
Kata kehilangan jiwa karena ia dipaksa jadi slogan.”
Ia menatap ke arah bumi dengan sedih
> “Dan ketika cinta hilang dari puisi,
maka puisi itu hanyalah cangkang yang berderak tanpa nyawa.”
Confucius: Tentang Jalan Tengah yang Hilang
Confucius melipat tangannya, penuh kebijaksanaan yang getir.
> “Aku diajarkan untuk menjaga keseimbangan antara kebajikan dan kebijaksanaan.
Tapi manusia zaman kini kehilangan keduanya.
Mereka membaca buku tentang moral,
tapi menulis puisi tentang kebohongan.”
Ia menatap ke arah semua roh dan filsuf yang hadir
> “Dunia telah menjadi bising oleh orang-orang yang berbicara tentang kebaikan,
tapi menulis dengan niat untuk menang.
Mereka memuja hasil, bukan jalan.”
Suara dari Langit: Roh Puisi Itu Sendiri
Tiba-tiba langit di atas Simposium bergetar.
Cahaya turun, bukan dari matahari, tapi dari kata.
Sebuah suara tanpa tubuh berbicara —
itulah roh puisi itu sendiri, yang akhirnya angkat bicara:
> “Aku lahir dari kesepian, tumbuh di dada yang remuk,
dan mati setiap kali seseorang menulisku untuk penghargaan.
Aku bukan milik penyair, bukan milik lembaga, bukan milik sindikat.
Aku adalah gema hati manusia.”
> “Ketika aku digunakan untuk ambisi, aku mengering.
Ketika aku dijual untuk nama, aku lenyap.
Tapi ketika aku ditulis dengan kejujuran — bahkan oleh tangan yang miskin —
aku menjadi abadi.”
Lalu cahaya itu perlahan padam, meninggalkan mereka semua dalam hening yang dalam.
Tentang Keheningan yang Tak Pernah Mati
Socrates menatap ke bumi, lalu berkata pelan kepada kawan-kawannya:
> “Kita tidak bisa menyelamatkan dunia sastra dengan argumen,
tapi mungkin, dengan doa.”
Rumi menimpali:
> “Doa dari mereka yang menulis dengan cinta,
bukan dari mereka yang menulis dengan kalkulasi.”
Chairil menghembuskan asap rohnya dan terkekeh:
> “Biarlah dunia ramai oleh mereka yang mencari nama.
Gue cuma mau nulis, biar satu kata aja,
asal jujur.”
Dan Goethe menutupnya dengan senyum lembut:
> “Sastra tak pernah benar-benar mati.
Ia hanya berpindah dari tangan yang palsu ke hati yang benar.”
> “Puisi akan tetap hidup —
selama masih ada satu jiwa
yang menulis bukan untuk dipuja,
tapi untuk menyembuhkan luka”
Sumatera Barat, Indonesia, 2025.






