Era Nurza
–
Langit menangis malam itu, seolah tahu bahwa surga kecil di ujung timur Indonesia sedang dikhianati. Ombak di Raja Ampat tidak lagi bernyanyi lembut ia menderu, mengaduh, mengabarkan resah dari kedalaman laut yang mulai sesak oleh keserakahan manusia.
Di tengah gugusan pulau-pulau karang yang dulu disapa pelan oleh matahari pagi, kini udara terasa lebih berat. Langit seolah enggan menatap bumi, dan angin memilih diam. Di ruang rapat yang dingin dan tertutup di kota besar, meja-meja mulai berbisik, menuliskan takdir bagi tanah yang tak pernah meminta dilukai.
“Apa kau sudah baca semua isi laporan Amdal ini?” tanya Arman, menatap berkas di depannya dengan dahi berkerut.
“Sudah. Sejujurnya, aku merasa ada yang disembunyikan,” jawab Laras, perempuan muda dengan mata tajam, mewakili suara lingkungan dalam rapat itu. “Tapi seperti biasa, suara kami hanya jadi embusan angin bagi mereka yang telinganya sudah dibungkus emas.”
Arman mendesah. “Aku tahu perasaan itu. Tapi kita harus hati-hati. Keputusan hari ini akan mengubah Raja Ampat selamanya.”
Meja rapat yang bundar itu seperti mendengar dan mengerti. Ia tidak hanya menopang kertas dan tangan-tangan manusia, tetapi juga menanggung beban pilihan: antara melindungi surga atau menjualnya atas nama pembangunan.
Di sisi lain, di Desa Arborek yang mungil dan hangat, seorang anak lelaki bernama Bano duduk di ujung dermaga. Ia menatap lautan yang mulai keruh, tak lagi sejernih cerita kakeknya.
“Kakek pernah bilang, laut ini bicara lewat warna dan gelombang. Tapi sekarang, laut seperti sedang batuk, ya, Kek?” katanya polos suatu sore.
Kakeknya, Tua Imak, tersenyum kecut. “Laut sedang protes, Nak. Ia sedang mencoba bicara. Tapi tak ada yang benar-benar mau mendengar.”
“Kenapa, Kek?”
“Karena meja-meja di kota terlalu keras. Mereka hanya mendengar suara uang, bukan suara laut.”
Bano diam. Tapi hatinya merekam semuanya.
Di gedung megah itu, meja rapat menjadi tempat para pejabat duduk, berdasi dan bermulut manis. Tapi meja tahu: setiap tawa di atas permukaannya menyembunyikan persekongkolan, setiap ketukan palu menyayat jantung bumi.
“Proyek pariwisata ini akan membawa keuntungan besar. Ribuan wisatawan, devisa mengalir, lapangan kerja terbuka,” ucap seorang pejabat sambil mengetuk-ngetuk pena di atas meja. “Kita perlu izin eksplorasi dan pembangunan resort mewah.”
“Biota laut? Terumbu karang? Hak masyarakat adat?” potong Laras.
“Ada kompensasi. Dana CSR. Edukasi masyarakat.”
Laras menggertakkan gigi. “Dana bukan jawaban untuk surga yang rusak.”
Namun meja tetap diam. Ia tahu, hari itu ia menjadi saksi pengkhianatan: Raja Ampat dijual perlahan bukan dengan peluru, tapi dengan paraf dan stempel.
Seminggu kemudian, kapal-kapal besar mulai datang. Karang-karang dikeruk, pasir dipindah, dan suara mesin menenggelamkan nyanyian burung cendrawasih. Laut menjadi keruh, dan langit tak lagi bersinar riang.
Bano menangis melihat penyu yang mati di pantai.
“Kenapa mereka tak biarkan laut ini hidup seperti biasa?” tanyanya pada ibunya.
Karina, ibunya, memeluknya. “Karena mereka tak pernah tumbuh di tempat ini, Nak. Mereka hanya datang untuk mengambil, lalu pergi.”
Bano mengepalkan tangan kecilnya. “Aku mau bicara. Biar laut tahu, masih ada yang mau mendengarnya.”
Di tengah malam, Laras menulis. Ia tahu kekuatannya bukan pada senjata atau kekuasaan, tapi pada kata-kata.
Kepada Langit yang dikhianati,
Maafkan kami, anak-anak bumi yang tak sanggup menjaga titipan-Mu. Raja Ampat menangis hari ini, dan kami hanya bisa memeluk air mata karang yang retak. Meja-meja yang dulu tempat bijak bicara, kini menjadi altar pengkhianatan.
Tapi jangan matikan harapan. Masih ada anak kecil yang bersumpah menjaga laut, masih ada suara-suara kecil yang belum padam.
Doakan kami kuat melawan badai. Karena langit tak boleh terus patah.”
Tak butuh waktu lama, alam mulai bereaksi. Ombak memecah pondasi bangunan yang baru dirintis. Angin datang lebih kencang, dan gelombang pasang menyapu pantai-pantai. Para pengusaha mundur perlahan.
Arman menatap layar berita yang menayangkan kerusakan di lokasi proyek. “Alam lebih jujur dari meja rapat,” katanya pelan.
Laras berdiri di sampingnya. “Karena alam tak bisa dibeli. Ia hanya bersedia bersahabat dengan mereka yang mengerti.”
Sebulan setelah bencana, rapat besar diadakan kembali. Kali ini diadakan langsung di Waisai, dekat dengan laut yang luka. Di sana, suara burung dan debur ombak menjadi latar diskusi.
Bano hadir, berdiri bersama anak-anak kampung lainnya. Di tangannya ada sehelai kain tenun bergambar penyu dan burung cendrawasih. Ia maju ke tengah, menatap para pejabat.
“Saya bukan orang pintar. Tapi saya tahu, laut ini rumah kami. Kalau rumah kami dihancurkan, kami tidak punya apa-apa lagi. Saya mohon, jangan rusak laut kami.”
Suasana hening. Tak ada yang menertawakan. Bahkan meja yang kini dari kayu asli lokal, seolah lebih lembut, lebih mengerti.
Tua Imak pun bersuara, “Jika kalian benar ingin membangun, bangunlah kesadaran. Jangan hanya bangun gedung. Jika kalian sungguh ingin investasi, tanamkan cinta pada alam ini, bukan deretan angka kosong.”
Beberapa bulan berlalu. Proyek besar dibatalkan. Sebagai gantinya, program konservasi dan ekowisata dijalankan bersama masyarakat adat. Meja-meja kini bukan lagi tempat mengkhianati langit, tapi ruang menyatukan mimpi.
Di dermaga, Bano kembali duduk.
“Kau tahu, Kek? Laut kita tersenyum hari ini.”
Tua Imak tertawa kecil. “Karena langit sudah memaafkan.”
Bano menatap langit. “Terima kasih, Langit, dan maaf karena kami pernah lupa.”
Langit pagi itu cerah. Laut kembali bernyanyi, dan Raja Ampat tetap menjadi surga bukan karena ia tak pernah disakiti, tapi karena masih ada yang memilih untuk mencintainya, bahkan setelah meja mencoba mengkhianatinya.
Padang, Juli 2025






