Oleh: Elza Peldi Taher
–
Meski sering naik pesawat, saya termasuk golongan orang yang takut naik pesawat. Takut saya bukanlah takut biasa, tapi takut berlebihan. Naik pesawat bukanlah perjalanan biasa, tapi ia adalah pertarungan dengan diri sendiri, dengan pikiran yang tak mau diam, seakan pertarungan hidup dan mati. Mulai dari deru mesin sebelum lepas landas hingga tarikan gravitasi saat pesawat terangkat, setiap momen membawa ketegangan tersendiri.
Ketika pesawat mulai bergerak di landasan, hati saya berdegup lebih cepat dari roda-roda yang bergesekan dengan aspal. Pikiran buruk berloncatan seperti bayangan gelap di tengah terang. Bagaimana jika mesin gagal? Bagaimana jika ada kendala teknis yang tak terlihat? Saat roda terangkat dari tanah, saya sering menahan napas, seperti mencoba mengimbangi berat pesawat yang melawan gravitasi. Take-off adalah momen yang membuat saya merasakan ketakutan paling purba: kehilangan kendali.
Lalu, ketika pesawat stabil di udara, ada jeda singkat untuk menarik napas. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Turbulensi adalah momok berikutnya. Guncangan kecil saja sudah cukup untuk membuat pikiran saya berlari ke skenario terburuk. Saat awan hitam menggantung di cakrawala, saya memilih memejamkan mata, merapal doa seperti anak kecil yang takut akan gelap. Di saat-saat seperti ini, pesawat terasa seperti perahu kecil yang terombang-ambing di tengah samudra tak berujung. Dari Jakarta menuju Padang, pesawat pasti mengalami goncangan hebat Ketika melewati daerah Sumatera Selatan. Goncangan yang membuat saya kadang trauma karena sering terjadi.
Rasa takut terbang bukanlah hal asing. Banyak orang terkenal yang juga mengalaminya. Dennis Bergkamp, legenda sepak bola Belanda, dikenal dengan julukan “The Non-Flying Dutchman” karena trauma naik pesawat. Dia memilih perjalanan darat yang panjang daripada menghadapi kengerian di udara. Kisahnya mengingatkan kita bahwa rasa takut ini bisa menghampiri siapa saja, tak peduli seberapa besar keberhasilan yang telah diraih di daratan.
Namun, ada momen di atas ketinggian yang bisa meredakan semua kecemasan itu. Saat pesawat melayang dengan tenang di udara, saya beranikan diri membuka mata dan menatap keluar jendela. Pemandangan dari ketinggian adalah sesuatu yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Daratan luas yang terlihat seperti mozaik, awan putih yang menggumpal seperti kapas, dan garis-garis sungai yang berkelok-kelok seperti urat nadi Bumi. Di atas sini, semua terlihat kecil dan sederhana. Ketakutan saya, yang sebelumnya begitu besar, perlahan mengecil seiring dengan jarak pandang yang meluas.
Di angkasa, saya belajar melihat dunia dengan cara yang berbeda. Ada keindahan yang tak terjangkau dari tanah, keindahan yang mengingatkan saya betapa kecilnya manusia dibandingkan semesta yang luas ini. Pesawat mungkin adalah alat untuk melawan jarak, tetapi bagi saya, ia juga menjadi tempat untuk merenungi kebesaran Tuhan dan mengingat bahwa setiap perjalanan, betapa pun menakutkan, selalu menyimpan keindahan di ujungnya.
Jadi, meski rasa takut itu tetap ada, saya mencoba berdamai dengannya. Setiap penerbangan adalah kesempatan untuk menguji keberanian, untuk memaksa diri melampaui batas kenyamanan. Lagipula, seperti kata pepatah, pelangi hanya muncul setelah badai. Begitu pula, ketenangan di atas awan hanya bisa dirasakan setelah melewati turbulensi ketakutan.
Pondok Cabe Udik 22 Januari 2025
Elza Peldi Taher