Rizal Tanjung: Sastrawan, Budayawan, Sumatera Barat.

Oleh: Rizal Tanjung

Di tengah peradaban yang kacau dan kompas estetika yang kabur, puisi saat ini berdiri gemetar di antara dua tebing: sebagai gema jujur ​​dari jiwa yang terluka atau sebagai replika steril dari konstruksi pemikiran yang usang. Fenomena puisi esai—yang baru-baru ini muncul sebagai tren—alih-alih memperkaya lanskap puisi, malah menjadi pagar berduri yang membatasi lompatan imajinasi dan getaran batin penyair.

Puisi esai, dalam banyak bentuknya saat ini, bukanlah luapan kepekaan yang muncul dari luka atau harapan. Lebih sering daripada tidak, ia terwujud sebagai reportase intelektual yang disamarkan dalam balutan puitis—sebuah narasi yang diselubungi bentuk syair, tetapi dilucuti denyut estetikanya. Dalam karya-karya ini, kita tidak lagi mendengar keheningan seorang penyair yang berbisik kepada dunia. Sebaliknya, kita dibombardir oleh irama tesis yang terus-menerus berjuang untuk divalidasi, dibenarkan, dan disebarluaskan—dibawa di belakang struktur seperti paragraf yang dipecah menjadi jeda baris.

Namun, puisi, pada hakikatnya yang paling sejati, bukanlah kolase opini atau sepotong ideologi yang dihiasi jeda liris. Puisi adalah suara gemetar yang lahir dari pertemuan intim antara tubuh dan luka-lukanya, antara kenyataan dan kegelisahan eksistensial. Puisi adalah bahasa yang menemukan tempatnya di celah-celah keberadaan yang sunyi, bukan di lorong retorika dan data yang bising.

Dari perhatian ini, saya mengamati bahwa banyak karya yang sekarang diberi label sebagai puisi tidak lebih dari produk intelektualisme massa yang dibuat di pabrik. Teknik dan referensi dapat diajarkan, tetapi getaran ketulusan—itu tidak dapat dipalsukan atau direkayasa. Puisi bukanlah komoditas budaya, atau produk kalengan untuk konsumsi sastra. Puisi adalah makhluk hidup yang lahir hanya dari pergolakan batin yang sejati.

Kita hidup di masa yang aneh: lebih banyak orang menulis puisi daripada membacanya. Lebih banyak orang ingin disebut penyair daripada memahami mengapa puisi harus ditulis. Jurnal sastra sering kali berfungsi sebagai arena diplomasi dan hubungan kekuasaan, bukan ruang penemuan dan pencerahan. Di tengah semua ini, estetika puisi disubordinasikan pada keinginan untuk dilihat, daripada keinginan untuk merasakan.

Sebagai pengingat, saya menawarkan empat prinsip yang harus diwujudkan oleh setiap puisi sejati jika ingin bertahan hidup di dunia yang sudah menyesakkan ini:

1. Pencerahan: Puisi harus menjadi sumber cahaya, bukan sekadar luapan emosi. Puisi harus memicu kesadaran dan memperluas cakrawala spiritual pembaca.

2. Ringkas tetapi Menusuk: Puisi yang kuat tidak perlu panjang. Satu baris, jika ditulis dengan kejujuran yang brutal, dapat menciptakan keretakan besar dalam kesadaran.

3. Jangkauan Budaya yang Abadi: Puisi yang bagus akan bertahan lebih lama dari penulisnya. Puisi menjadi idiom budaya, yang diwariskan dari mulut ke mulut, dari zaman ke zaman.

4. Keunikan yang Tidak Populer: Puisi tidak berbicara tentang tren pasar. Justru keanehannya dan penolakannya terhadap penyederhanaan yang memberinya nilai estetika yang dalam.

Saya tidak menentang puisi digital, sama seperti saya tidak menolak pasang surut waktu. Yang harus dikritik adalah kedangkalan konten dan kemudahan sensasionalisme emosional yang menggoda yang ditawarkan banyak puisi daring. Puisi-puisi ini mungkin meledak dengan gairah, tetapi sering kali runtuh di bawah beban kekosongan spiritual dan estetika.

Puisi esai, jika tidak dibuat dengan kepekaan artistik yang tajam, menjadi kegagalan monumental dalam menembus esensi realitas. Ia merosot menjadi pamflet politik yang dibalut riasan sastra. Tidak ada ruang untuk refleksi, tidak ada keheningan estetika. Ia ada untuk membuktikan, bukan untuk menyentuh. Ia hanya menjadi kebisingan lain di dunia yang sudah menjerit—dan dengan demikian, menambah keheningan sejati: matinya makna.

Jadi pertanyaan sebenarnya adalah ini:
Apakah kita masih menulis puisi sebagai cara untuk menyembuhkan dunia dan diri kita sendiri? Atau, apakah kita menulis hanya untuk terlihat pintar, agar terdengar filosofis, agar terlihat radikal?

Era ini tidak lagi membutuhkan puisi yang lahir dari ambisi. Ia membutuhkan puisi yang lahir dari luka. Ia membutuhkan baris-baris yang muncul dari tubuh-tubuh yang gemetar, bukan kepala-kepala yang dijejali kutipan-kutipan. Ia merindukan kejujuran, bahkan jika kejujuran itu tidak populer, bahkan jika itu berarti berdiri sendiri.

Dalam dunia puisi yang kehilangan batas-batasnya, hanya penyair yang cukup berani untuk menarik diri ke kedalaman keheningan batin mereka—yang menyatu dengan bahasa tanpa kesombongan—yang akan mampu menjaga nyala api keaslian tetap menyala. Bukan untuk dipamerkan, tetapi sebagai cahaya kecil di tengah kegelapan besar zaman kita.

Sumatera Barat, 2025
—Rizal Tanjung—