Oleh: Stefi Rengkuan

Pada Minggu 21/07/24, saya menghadiri undangan sebuah keluarga perantauan tou Minahasa di Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Keluarga Jem Mantouw-Solang asal Tataaran dan Sampiri ini turut mengadakan acara Pengucapan Syukur tahunan masyarakat budaya Minahasa, yang hari itu diadakan serentak di wilayah kabupaten Minahasa (induk) yang beribukota Tondano di Sulawesi Utara.

Saya bertanya kepada tuan dan nyonya rumah apa bahasa makatana atau bahasa leluhur dari Pengucapan Syukur? Mereka tidak tahu, termasuk dua bapak yang masih paham bahasa Tataaran 2 (campuran bahasa Tombulu dan Tondano) yang bersama saya berkunjung ke rumah tersebut.

Bagaimana dengan para intelektual dan ahli bahasa budaya Minahasa sendiri? Termasuk penyelenggara aktivitas massal kultural tahunan tersebut, para pejabat dinas kebudayaan dan agama serta tokoh masyarakat sendiri?

Padahal kata SYUKUR sebagai salah satu ungkapan kualitas batin sangat bermakna bagi orang beriman atau orang yang senantiasa terbuka pada yang maha Ada dan segala kemungkinan tak terbatasnya dari perspektif manusia (terbatas): maha pencipta, maha penguasa, maha pemberi, maha penerima, dst.

Maka tentu mesti ada kata ungkapannya yang pas dan tepat dalam bahasa asali dari masyarakat yang mengadakan sebuah tindakan sosial komunal itu, dalam hal ini acara PENGUCAPAN SYUKUR, yang bahkan sekarang diatur oleh lembaga pemerintah dalam kerjasama dengan lembaga keagamaan yg sebelumnya tidak ada; diyakini bahwa tindakan sosial “pengucapan syukur” adalah warisan budaya masyarakat arkais sebelum agama dan pemerintahan modern ada.

Kita terbantu untuk berefleksi atas fenomena faktual dan aktual ini dari beberapa info ilmu pengetahuan yang sudah ada, bahkan dengan memakai penalaran sederhana atau common sense saja. Dengan merujuk pada Jürgen Habermas, filsuf Jerman yang berteori tentang asas dan kimiawi bahasa (dari pelbagai lintas ilmu), seorang budayawan dan filsuf Minahasa, Benni E. Matindas, dalam suatu seminar bedah buku Penguasa Dinasti Han dan Leluhur Minahasa, 2018, di Kalbis Institute, Jakarta, memberi komentar menarik tentang “tesis” atau temuan Weliam Boseke yang menyatakan bahwa bahasa Minahasa itu: asasinya hanya satu, berformat monosilabel (Han), dan bersifat klasik.

Term keterangan klasik diusulkan BEM memakai terminologi ‘etik’, karena memang pembuktian Boseke menjadi sah dan masuk akal serta makin sulit terbantahkan antara lain karena menyingkap demikian banyak kata dan ungkapan dalam bahasa Minahasa yang ternyata mengandung keterangan-keterangan atau bermakna filosofis etis. Valen Lumowa, yang pernah disambut oleh seorang tokoh senior Kawanua swbagai filsuf muda Minahasa, juga turut menegaskan dimensi etis filosofis tersebut bahkan tidak mesti mengaitkan bahasa ini dengan format ideografis monosilabel. Menurut Valen, masih dengan mudah kita menemukan kandungan etik ini dalam format multisilabel seperti adanya sekarang, misalnya dalam arti nama-nama fam atau marga Minahasa, yang berupa frase bahkan kalimat penuh.

Jadi, masih menurut filsuf bahasa di atas bahwa tindakan sosial manusia itu dari hulu sampai muara berdimensi etis, maka BEM menegaskan bahwa demikian juga pembentukan kata bahasa manusia itu berorientasi etikal, apapun perbedaan komunitas masyarakatnya, termasuk di Minahasa.

Nah, terkait kata syukur atau lengkapnya pengucapan syukur itu, yang jelas teks dan makna bahasa Indonesianya. Lalu, apa padanannya dalam bahasa asli Minahasa? Apa coba? Tampaknya belum ada yang memberi jawaban tegas, seolah tidak ada kata penting yang bisa merekam tindakan sosial komunal mengucap syukur, yang jelas sangat bermuatan etik filosofis bahkan etik spiritual masyarakat Minahasa awal?

Temuan Boseke tentang bahasa Minahasa bersifat klasik etik itu turut menyingkap apa yang disebut tuan pendeta Riedel sebagai tabir rimbengbeng (gelap), sinaput wo kinakelewan (terbungkus dan tertutup) tentang puhuna (awal) manusia Minahasa. Boseke menyodorkan demikian banyak temuan dengan metode pembandingan kedua bahasa melalui cara pinyin, wade giles, dan zhuyin.

Temuan Boseke seyogyanya bisa membantu para ahli pikir, kaum akademis dan aktivis bersama semua lapisan dan pemangku kepentingan budaya bahasa Minahasa, untuk menggali dan melestarikannya sesuai yang ada asali, yang menjadi dan arah tujuan ultim dari sebuah entitas komunitas “tunas manusia hidup menjadi utuh sepenuhnya untuk menghidupkan tunas manusia lain”.

Kalimat kutipan ini tak lain terjemahan monosilabel dan etik dari prinsip humanisme Minahasa: Si Tou Timou Tumou Tou, yang terjemahan kontemporernya: manusia hidup untuk menghidupkan sesamanya.

Suatu pembandingan dua bahasa yang sangat kuat dan sulit dilepas jalinannya, menurut Max Wilar, tokoh intelektual dan aktivis senior Kawanua di Jakarta, yang seminahasanya membawa kesadaran baru eksistensial manusia Minahasa berani berpikir dan ‘bertolak lebih dalam’ (duc in altum) terkait jatidiri, khususnya budaya bahasanya.

Bila dibandingkan, dua pendekatan terjemahan di atas masih mirip, tapi bila ditinjau secara etik filosofis, jelas yang terakhir sudah mengalami distorsi bahkan delesi. Pasalnya, untuk mempunyai kemampuan menghidupkan atau menumbuhkan sesama manusia, seorang manusia mesti berproses dan menjadi manusia utuh sepenuhnya, bukan hanya dari sisi usia dan kematangan fisik, tapi juga mental spiritual. Nemo dat quod non habet, manusia hanya mampu memberi sesuatu kalau dia punya untuk diberikan, dan sebaliknya, bukan?

Nah, ada banyak kata dan ungkapan bahasa Minahasa yang sudah kabur bahkan tak diketahui lagi artinya, kalau bukan disebut dengan istilah “bahasa tenem atau dolong” belaka dan kata yang sudah punah dari para penggunanya, bahkan sudah sulit dilacak untuk dijelaskan walaupun ada tertulis dalam kamus atau sebuah lembaran dan situs budaya. Mungkin termasuk kata terkait ungkapan syukur dan terimakasih sudah hilang entah kemana dimana aslinya.

Lalu datanglah era baru, di mana wahyu sejarah mulai disingkap perlahan namun pasti melalui temuan Weliam Boseke. Dengan pendekatan monosilabel tersebut, makna literal dan filosofis aktivitas sosial ‘pengucapan syukur’ itu ditemukan dalam kata ‘KAMBERU’ yang dalam bahasa Han berarti ‘menyampaikan syukur kepada Tuhan/yang dimuliakan paling tinggi’. Memang dalam arti kontemporer: ‘nasi baru’ (kan weru)

Pengertian ini nampak sudah bergeser makna, tapi masih bisa dilacak dan dijelaskan keterkaitannya, misalnya bila dilihat konteks aktivitas mengucap syukur itu adalah terkait panen baru, dalam hal ini panen padi gabah (wene = grain) sebagai hasil bercocok tanam untuk memenuhi sumber makanan (tikohon), lalu diolah menjadi nasi (kan), dan nasi dari hasil panen perdana itu sendiri disebut nasi baru (kan weru, disambung menjadi kamberu) untuk dipersembahkan kepada para leluhur dan yang Ilahi, dan tentu untuk dimakan bersama dalam upacara kebersamaan.

Hal ini terkait dengan mitologi leluhur Minahasa yang berkisah bahwa secara istimewa tanaman ini diyakini dan diritualkan sebagai tanaman surgawi, karena berasal dari benih pemberian makhluk dewata/dewiti, karena itu layak dan pantas hasil perdana itu dipersembahkan pertama kepada sang sumber atau darimana pertama berasal.

Tentu saja bahasa itu hidup dan terus berubah sesuai sikon jaman. Bahkan bahasa Indonesia saja baru berumur belum 100 tahun sudah mengalami banyak perubahan, termasuk bahasa Han di negerinya sendiri sudah mengalami perubahan. Kita tidak perlu berpretensi memakai ungkapan2 bahasa lama, namun minimal memahami asal usul dan perubahan yang sudah terjadi tersebut, apalagi bilamana disadari dan ditemukan ada kebenaran, kebaikan, dan kegunaan, serta keindahan di masa lalu itu, bukan?#