Paulus Laratmase
–
Tulisan ini merupakan kompilasi dari diskusi di WA Group Center for unity or Sciences yang sengaja saya angkat menjadi tulisan untuk dibaca. Memahami filsafat ilmu pengetahuan sudah tentu menuntut corak berpikir kritis, analitis terhadap realitas. Demikian Allah, realitas yang wajib didiskusikan pada tataran emperic, “To Get To Know God” dalam dan melalui cara berpikir manusia.
Ditilik dari sudut pandang sejarah, secara kronologis sejak zaman para filosof alam Yunani hingga zaman post-modern, kajian yg mengenai Wujūd dalam wacana filsafat selalu membuka ruang baru bagi perdebatan antar tokoh maupun mazhab filsafat yang berbeda.
Sebelum masa hidup Socrates (w. 399 SM) para filsuf secara filosofis telah berdebat mengenai Wujūd yang terangkum dalam pembahasan mengenai arkhé (substansi dasar alam semesta). Arkhé diperdebatkan oleh filsuf-filsuf alam dengan mengambil unsur-unsur fisik yang nampak dari alam semesta sebagai objek kajian yang keseluruhannya disimpulkan menjadi empat macam unsur, yaitu air, udara, api dan tanah.
Memasuki zaman Socrates dan setelahnya, perdebatan mengenai arkhé oleh para filosof mulai beralih corak menjadi lebih filosofis dan abstrak. Para filosof tidak lagi melakukan pengamatan sebatas pada benda-benda fisis di alam semesta, melainkan juga pada unsur-unsur nonfisika yang tidak mungkin dapat diamati hanya dengan menggunakan alat inderawi. Para filosof mulai mencari sesuatu yang selalu tetap dan tidak berubah di balik berbagai perubahan yang senantiasa terjadi itu, yang dinamakan sebagai realitas.
Perdebatan mengenai arkhé yang awalnya ditujukan untuk mengurai asas pertama dari alam dzāhir pada akhirnya mengantarkan para filosof untuk berbicara mengenai wujūd imateri yang kasat mata dalam obyek formal metafisika.
Pemikiran mengenai arkhé mengantarkan Aristoteles pada substansi semesta yang olehnya disebut sebagai Prima Causa, penggerak pertama yang tidak digerakkan (The Unmoved Mover), yang kemudian oleh Ibn Sīnā disebut sebagai Wājib al-Wujūd (Necessary Being).
Wujūd dalam kajian filsafat masuk pada permasalahan ontologi dan metafisika. Ontologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mencoba untuk melukiskan hakikat Ada yang terakhir (Yang Satu, Yang Absolut, bentuk abadi sempurna), menunjukkan bahwa segala hal bergantung padanya bagi eksistensinya, dan menghubungkan pikiran dan tindakan manusia yang bersifat individual dan hidup dalam sejarah dengan realitas tertentu.
Dalam bahasa Arab, wujūd bermakna sebagai “ada, yang-ada, penemuan, kehadiran,” atau dalam bahasa Inggris sebagai “exist, existent, existance” yang mengacu kepada sesuatu yang imanen maupun transenden.
Ibn Sīnā dalam bahasan ontologi—yang paling dianggap mewakili kaum peripatetik—menegaskan bahwa segala sesuatu itu memiliki dimensi esensi (kuiditas) dan eksistensi (wujūd). Dimensi pertanyaan “mā hiya” digunakan sebagai tolakan awal untuk berbicara mengenai esensi sekaligus sebagai jawaban bagi pertanyaan “mā huwa.”
Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Organon menjelaskan bahwa wujūd dapat dipahami dari sepuluh kategori, antara lain: Substansi, Kuantitas (jumlah), Kualitas (sifat), Relasi (hubungan), Aksi, Pasif, Di mana (tempat), Kapan (waktu), Posisi (tempat), dan Kepemilikan (status).
Pada pandangan yang ditarik dari dunia tasawuf, wujūd diartikan sebagai eksistensi, wujūd sendiri atau penemuan. Hal ini seiring jika dikaitkan dengan terminologi kata wujūd dalam bahasa Arab yang dapat diartikan sebagai penemuan, makhluk, kehadiran, dan eksistensi.
Amstrong menjelaskan bahwa jika wujūd diartikan sebagai Wujūd, istilah ini menunjukkan Dzat Allah. Jika diartikan sebagai eksistensi, wujūd menunjukkan segala sesuatu di dalam alam semesta. Jika diartikan sebagai penemuan, wujūd menunjukkan pengalaman “menemukan” Allah. Namun meskipun wujūd memiliki pengertian sebagai existence, ia tidak dapat dimaknai secara sederhana sebagai “keberadaan” karena wujūd lebih kompleks dari sekedar keberadaan.
Ada satu definisi yang sudah umum tentang wujūd, yaitu segala sesuatu yang dapat diketahui yang mana hal ini mencakup semua hal yang tampak maupun yang tidak tampak, baik yang termasuk kategori bentuk, warna, rupa, suara, rasa, hingga arah.
(Sumber = DIMENSI WUJŪD DALAM ḤIKMAT AL-ISYRĀQ SUHRAWARDĪ, Afandi Satya Kurniawan, Siti Rohmah Soekarba)