Oleh: Esthi Susanti

Saya mengenal Putu Oka di Pacet Maret 1996. Yayasan Hotline yang saya pimpin dengan dukungan 2 lembaga internasional menyelenggarakan lokakarya untuk membuat pernyataan/deklarasi tentang HIV-AIDS dalam perspektif Hak Asasi Manusia. Ini moment nasional yang bicara hak asasi manusia dalam hubungan dengan HIV-AIDS yang pertama kali. Sebelum lokakarya ada seminar nasional di ruang sidang Universitas Airlangga dengan penyelenggara sama yakni Hotline dengan dukungan The Ford Foundation dan EPOCH (Enabling Private Organization to Combat HUV/AIDS). Peran Rosalia Sciortino yang wakili The Ford Foundation besar sekali untuk event pionir ini.

Event seminar nasional dan lokakarya mengocok pikiran dan emosi saya. Saat itu saya belum paham betul apa itu hak asasi manusia dalam narasi dan praktek yang ada. Dalam keadaan ini saya harus menjadi penyelenggara. Ini situasi yang mengoncang dan membuat sikap serba salah karena pikiran belum solid.

Saya tambah tergoncang ketika Putu Oka Sukanta membuka dirinya sebagai eks tapol tahun 1965. Ia perlu membuka diri karena peserta harus tanda tangan pernyataan. Peristiwa 1965 meninggalkan rasa takut pada saya dan menjadi sumber “sikap pengecut saya”. Kolega saya terus mengejek saya sebagai “China pengecut” sehingga saya tak punya tulang punggung kokoh katanya. Benar penilaian itu dulu dan sekarang sudah berhasil saya atasi.

Dari pertemuan itu lalu saya dan Putu Oka bersahabat. Buku-buku baru Putu Oka saya hadiri ketika diluncurkan dan saya baca dengan serius. Putu Oka memilih dunia fiksi sebagai ekspresi kebebasannya yang terpenjara oleh tembokvstigma sosial yang begitu kuat di ruang sosial hingga sekarang.

Saya usul padanya untuk menulis autobiografi sebagai renungan hidup yang jujur. Usul saya belum terealisir sehingga akhirnya saya tergerak menulis memoar psikososial Putu Oka. Tulisan semacam yang saya tulis untuk Pak Michael Utama Purnama. Rencananya saya mau mulai bulan Juni 2024 yang lalu ketika di Jakarta. Sayang tak terealisir karena saya ada dalam tekanan psikologis yang “melumouhkan”. Waktu di kost Jakarta banyak saya gunakan merenung.

Perjumpaan kembali terjadi atas fasilitasi Letss Talk yang adakan lokakarya penulisan puisi dengan bimbingan Putu Oka Sukanta. Saya ikut sebagai peserta. Lokakarya ini saya ikuti dengan penuh konsentrasi. Melalui acara ini saya punya jalan mengenali Putu Oka Sukanta dalam hubungan ekspresi penulisan puisi yang dilakukan. Sebelumnya kami lebih banyak membahas urusan hidup pribadi kami.

Tak disangka lokakarya ini menghasilkan buku dengan masing-masing peserta setor 3 puisi terkait dengan covid. Puisi yang menjadi buku berisi puisi yang ditulis saat kejadian covid dan saat setelah penugasan.

Putu Oka Sukanta dalam kata sambutannya di peluncuran buku menyinggung kematian. Umurnya sekarang 85 tahun. Saya tergerak meresponnya. Kata saya:”Dunia sana tak menakutkan karena kita berjumpa dengan Sang Ada Sejati”. Ternyata Putu Oka Sukanta tidak ada lagi di zoom karena ia kelelahan dari Bogor. Zoom diadakan malam hari. Beberapa peserta mungkin terkejut dengan respon saya sehingga saya kontak Putu Oka untuk berjumpa darat. Ternyata Putu Oka sudah left zoom.

Peluncuran kumpulan puisi itu meninggalkan rasa tak selesai dengan Putu Oka. Karena itu saya memaksakan diri menjumpainya di Rawamangun ketika saya ke Jakarta hadiri acara Esoterika dan Forum Spiritual tanggal 24 Agustus 2024 lalu.

Akhirnya kami bertemu tanggal 24 Agustus 2924 sore. Kami bercakap beberapa jam di ruang praktek akupunturnya. Perjumpaan yang bersifat up date cerita hidup kita masing-masing sekaligus saya menjelaskan pandangan saya tentang kematian.

Saya mendalami kematian semenjak berhadapan dengan begitu banyak kematian prematur. Bahkan saya pernah alami trauma dan goncangan jiwa karena berhadapan dengan begitu banyak yang teresiko meninggal. Emosi yang dibangkitkan itu saya tatap dalam meditasi. Juga dialog spiritual dengan Bu Nasrin Astani berkontribusi pada munculnya pemikiran solid saya tentang kematian. Lalu terjadilah moment kesadaran penting.

Kesadaran saya dibantu oleh perempuan Jerman bernama Annemarie Schimmel. Anne dalami tasawuf dan dunia sufi. Saya imani apa yang ditulis di batu nizannya yang ditulis dalam bahasa Jerman dan Arab. Moto hidup yang ditulis di atas nizan dalam terjemahan google sebagai berikut:”Sesungguhnya manusia itu tertidur, dan ketika mereka mati, maka mereka bangun”.

Saya duga Th. Sumartana (Mas Tono) yang menjadi guru pertama saya soal dialog iman, dugaan saya terpengaruh pikiran Anne terkait kematian. Sumartana dua tahun sebelum meninggal selalu membahas kematian dan tidur. Begitu banyak puisi tidur Mas Tono sehingga dibukukan oleh Yayasan Dian Interfidei. Cara pergi Mas Tono rileks bagi saya yang dekat dengannya.

Kematian saya tatap. Dengan cara ini saya justru bisa lebih merasakan denyut hidup yang ada.