Oleh: Chris Poerba

Saya akan mengenang beliau sebagai seorang sosiolog perempuan dan perintis lembaga negara Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

Indonesia pun telah mencatat bahwa beliaulah perempuan Indonesia pertama bergelar Doktor di bidang ilmu Sosiologi. Wajah beliau pun akan selalu diingat oleh sejarah, karena bersama dengan Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan menemui Presiden B.J Habibie melaporkan temuan adanya Kekerasan Seksual di Tragedi Mei ’98. Ada sebuah foto, mereka bertiga (Habibie, Ibu Sap, dan Ibu Mely) sangat ikonik, saya sendiri menyukai foto itu, keduanya terlihat sangat marah ketika meminta pertanggungjawaban negara.

Saya tidak begitu ingat lagi, kapan terakhirkali berjumpa dengan beliau, terutama setelah beliau semakin sepuh. Namun, sering melihat para dosen dan alumni meluangkan waktu menjenguknya.

Pada tahun 2013, saya dan alm.Theresia Sitanggang (Rere) mendapat disposisi untuk mengikuti seminar gender di LIPI (sekarang BRIN). Narasumbernya adalah Ibu Mely G Tan. Ada dua peneliti perempuan di LIPI yang tulisannya menjadi acuan penelitian saya. Setelah seminar selesai, kami berdua menawarkan untuk mengantarkannya pulang ke apartemennya.

“Apakah tidak merepotkan?” ujar beliau. Rere menjawab, “Enggak bu, kebetulan mobil kantor juga lagi tidak banyak yang meminjam.” Maklum, pada waktu itu mobil kantor hanya satu. Akhirnya, beliau pun bersedia. Saya pikir, lumayan dalam perjalanan nanti, saya bisa tanya dan diskusi sedikit tentang tesis saya, Kekerasan Seksual di Tragedi Mei ’98.

Kami menuntunnya sampai lobi. Ketika mobil kantor datang, Pak Khotib, pengemudinya, langsung menyapanya.”Loh, kamu kenal sama saya,” ujar Ibu Mely. “Saya kan beberapakali mengantar ibu. Saya sudah hafal apartemennya.” Kami pun tertawa.

Ibu Mely memang kalau berbicara apa adanya. Saya, Pak Khotib, dan Rere banyak tertawa dalam perjalanan tersebut. Beliau membicarakan kenangan masa remajanya, kuliah di Amerika, sampai ketika bersama-sama merintis lahirnya sebuah lembaga negara.

Di dalam perjalanan, Rere pun menyeletuk, perihal tesis yang sedang saya selesaikan. Namun, beliau pun menanggapinya dengan santai.

“Tidak usah terlalu serius dengan tesis itu. Pasti lulus,” ujarnya. “Amiiiin. Saya pasti lulus sih bu. Cuma pertanyaannya kan, kapan lulusnya ini,” celotehan saya pun membuat semua tertawa lagi. Banyak tawa lepas dalam perjalanan. Perjalanan yang menyenangkan di dalam mobil.

Kenangan berikutnya adalah tahun 2019. Pada saat itu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mengadakan peringatan 35 Tahun Ratifikasi Konvensi CEDAW di Indonesia (30/07/2019).

Sebagian besar tamu diundang sudah sangat tua, sepuh, dan bahkan hadir dengan bantuan asisten yang merawatnya. Saya ingat Ibu Achi Sudiarti Luhulima (penulis buku Cedaw) dan Ibu Mely G Tan masih bersedia datang, walau sudah menggunakan kursi roda. Setelah acara selesai, saya menghampiri beberapa undangan. Saat bertemu dengan Ibu Mely, tentu saja beliau sudah tidak ingat lagi, pertemuan saat mengantarkannya dulu tahun 2013.

Namun, ini mungkin yang disebut dengan Déjà vu. Sebuah perasaan dialami di masa lalu dan ternyata dialami lagi. Saya menyampaikan ke Detti Artsanti, nanti siapa yang mengantarkan Ibu Mely kembali ke apartemennya, “Kalau tidak ada yang bisa mengantarkan. Saya saja.” Ternyata memang hanya saya dan pengemudi yang mengantarkannya.

Ternyata Déjà vu itu pun dirasakan oleh Ibu Mely. Entah bagaimana ceritanya, ternyata beliau mengingat sesuatu. Mungkin, waktu itu ada percakapan kami yang sama persis seperti tahun 2013 dulu. Ingatannya tiba-tiba melesat.

“Perempuan yang dulu ikut ngantar saya, di mana sekarang?”
“Bapak ini berarti baru di KP ya?”
“Terus kamu sudah lulus!”

Terang saja, saya kaget dengan semua pertanyaan itu. Ternyata ingatannya kuat dan tajam sekali. Saya pun menyampaikan, kalau Rere sudah almarhum. Pak Khotib sudah pulang kampung. Pengemudi KP yang sekarang mengantarnya bernama Pak Andy. Dan, saya sudah lulus.

Perjalanan kali ini meski ada tawa, namun suasananya beda dengan tahun sebelumnya. Itulah momen terakhir yang saya ingat pertemuan terakhir dengan Ibu Mely, karena setelah itu pandemi Covid 19 melanda seluruh negeri dan benua.

Sebenarnya, saya sendiri sengaja turut mengantarkan pulang ke apartemennya, adalah cara saya untuk menyampaikan terimakasih kepadanya. Terimakasih untuk tulisan dan pemikirannya, terutama tentang Studi Sosiologi Etnis Tionghoa di Indonesia.

Bukunya “Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan Mely G. Tan” (2008) yang paling sering kita jumpai. Walaupun, beliau juga banyak menulis di makalah dan jurnal ilmiah. Saya berharap ada penerbit yang menerbitkan semua karyanya, termasuk disertasi doktoralnya. Dalam satu buku besar: “Magnum Opus Mely. G Tan”

Sekarang, sudah tidak ada lagi yang akan mengantarkannya pulang ke apartemen. Sebab, Ibu Mely sudah pindah dari apartemennya. Beliau sudah menempati rumah baru, rumah abadi bersama Tuhan di Surga.

Mely Tan Giok Lan, seorang Sosiolog, perintis Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dan seorang perempuan.

Jakarta, 30/04/2024

Foto (2019): Mengantar Ibu Mely ke apartemennya di Jakarta Selatan