Antologi Puisi Cinta Romantis

Oleh: Rizal Tanjung

I

Jika Kau Harus Pergi

jika perpisahan adalah angin senja,
biarlah ia melintasi jemari waktu perlahan,
agar kata-kata kita tak gugur
dari ranting sunyi yang masih mengingatmu.

biarlah suaramu jadi embun
yang tak jatuh keras di dedaunan,
hanya membelai halus seperti kenangan
yang enggan dilupakan.

dan jika kau harus pergi,
pergilah seperti daun yang lelah,
meluncur ke permukaan air yang sabar,
tenang, tak memecah kesunyian,
hanya meninggalkan riak kecil
yang menetap di kolam ingatan.

kau tak perlu pamit dalam badai,
cukup seperti senyum terakhir
yang ditinggalkan matahari
di pipi langit yang telah tahu caranya merelakan.

II

Tentang Sebuah Pertemuan

kau datang seperti hujan pertama
setelah kemarau panjang dalam dada,
menyentuh retak tanah hatiku
dengan aroma basah yang tak bisa dijelaskan kata.

dalam tatapmu, aku menemukan rumah,
yang tak dibangun dari bata dan kayu,
melainkan dari sepi yang akhirnya
bertemu maknanya sendiri.

III

Nama yang Tertulis di Angin

aku menulis namamu di udara,
agar setiap hembusan yang kucium
menjadi doa tanpa suara.

dan bila malam menghapusnya,
aku tahu—
angin telah menyimpannya
di dada langit yang biru paling dalam.

IV

Di Antara Dua Keheningan

kau dan aku berdiri
di antara dua kesunyian:
kau diam, aku tak sanggup bertanya.

maka cinta pun tumbuh
bukan dari kata,
melainkan dari jeda
yang saling memahami tanpa perlu diucapkan.

V

Saat Langit Belajar Mencintai Laut

langit dan laut berpelukan di cakrawala,
namun tak pernah benar-benar bersentuhan.
seperti kita—
selalu dekat dalam rindu,
selalu jauh dalam takdir.

VI

Surat yang Tak Pernah Kukirim

ada sepucuk surat di laci waktu,
tintanya kering,
namun suaraku masih hidup di sana.

kau tak pernah membacanya,
tapi setiap kali angin membuka halaman pagi,
aku tahu:
rinduku masih menemukan alamatnya.

VII

Aroma dari Rambutmu

di antara malam yang letih,
aku mencium wangi rambutmu—
aroma bunga liar dan hujan yang jatuh di pegunungan.

wangi itu,
tak pernah mati di udara;
ia berpindah jadi kenangan,
menetap di sela napas yang tak bisa kulupakan.

VIII

Ketika Matahari Menunduk

matahari menunduk sore ini,
seperti hatiku yang kehilangan bayangmu.
aku tahu,
bahkan cahaya pun bisa lelah,
jika terlalu sering menatap kepergian.

IX

Lelaki di Ujung Perahu

aku masih di dermaga itu,
menunggu bayang perahu yang membawa namamu.
laut berkisah tentang perpisahan,
angin berdoa agar aku tak karam
oleh harapanku sendiri.

X

Sepotong Kenangan di Cangkir Teh

aku menemukan kenangan
di dasar cangkir yang telah kosong—
sebuah senyum yang tenggelam
di antara ampas waktu.

kadang cinta tak perlu diulang,
cukup disesap perlahan,
hingga meninggalkan hangat
yang bertahan lebih lama dari rasa itu sendiri.

XI

Di Pundak Rindu

aku memanggul rindu
seperti pengembara membawa salibnya sendiri.
setiap langkah adalah luka kecil,
namun juga penerimaan
bahwa mencintaimu
adalah ibadah paling sunyi
yang kutahu caranya.

XII

Waktu Tak Lagi Memihak

jam dinding berdetak seperti pisau,
memotong kenangan menit demi menit.
aku berhenti menghitung,
karena yang kurasa
bukan lagi waktu—
melainkan kehilangan yang tak selesai.

XIII

Di Tepi Langit Hangzhou

kau menatap Danau Barat,
aku menatap bayangmu di permukaannya.
antara kabut dan doa,
aku tahu:
cinta ini telah berubah menjadi ziarah
ke dalam diriku sendiri.

XIV

Hujan yang Tak Jadi Turun

ada awan yang ragu sore ini,
seperti hatiku yang ingin menangis,
namun takut kehilangan wibawa langit.

maka hujan pun hanya mengirimkan wangi tanah
sebagai tanda:
kadang kerinduan lebih indah
dari pertemuan itu sendiri.

XV

Surat Kedua dari Sunyi

aku menulis lagi,
bukan karena ingin kau balas,
tapi karena rindu tak punya wadah
selain kata yang menetes di kertas malam.

aku tak tahu apakah kau membaca,
tapi aku percaya,
setiap tinta adalah jalan kecil
menuju keheninganmu.

XVI

Perempuan di Balik Pintu Waktu

kau berdiri di sana,
antara masa lalu dan yang tak mungkin kembali.
senyummu seperti lentera—
menerangi tapi tak mendekat.

aku tahu,
ada cinta yang ditakdirkan hanya untuk dikenang,
bukan untuk dimiliki.

XVII

Cinta yang Tidak Pulang

aku mencarimu
di setiap musim yang datang dan pergi.
namun cinta yang pernah kita tanam
telah tumbuh menjadi pohon sepi,
berbuah rindu,
dan tak berakar pada siapa pun.

XVIII

Ketika Malam Memeluk Laut

aku berdialog dengan laut
tentang kehilangan.
ia menjawab dengan ombak,
dan aku memahami tanpa kata:
setiap perpisahan
adalah cara alam mengingatkan
bahwa tidak ada yang benar-benar abadi.

XIX

Puisi yang Lahir dari Air Mata

kata-kata ini bukan hasil pena,
melainkan titisan dari air mata
yang jatuh pelan di atas kertas waktu.

kau mungkin tak akan membacanya,
tapi biarlah dunia tahu—
ada cinta yang tumbuh
di antara luka dan ketabahan.

XX

Malam dan Wajahmu

malam ini wajahmu terlukis di langit,
bukan dari bintang,
tapi dari cahaya hati yang menolak padam.
setiap aku menatap gelap,
aku menemukan dirimu
sebagai alasan cahaya tak pernah benar-benar pergi.

XXI

Ketika Aku Menjadi Bayangmu

aku berjalan di belakang langkahmu,
hingga aku sendiri berubah jadi bayangan.
tapi bukankah cinta sejati
adalah kesediaan untuk lenyap,
asal yang dicintai tetap utuh dalam cahaya?

XXII

Cermin Waktu

setiap pagi aku menatap wajahku
di cermin yang retak,
dan kulihat pantulanmu di sana—
masih sama,
seolah waktu hanya melewati tubuh,
bukan perasaan.

XXIII

Riak di Kolam Ingatan

kenangan itu seperti riak di kolam tua,
tak pernah hilang,
hanya menyebar perlahan,
menggetarkan permukaan jiwa.

aku menyentuh airnya,
dan menemukan pantulan masa silam
yang masih hidup di mataku sendiri.

XXIV

Setelah Semua Pergi

setelah semua pergi,
tinggallah aku dan sunyi
yang belajar menjadi teman.

dari kesepian aku tahu:
mencintai bukan tentang memiliki,
melainkan tentang sanggup melepas
tanpa kehilangan doa.

XXV

Di Bawah Pohon Kenangan

aku kembali ke taman itu,
tempat kita pernah tertawa.
daun-daun jatuh seperti surat tua,
dan tanah memeluk bayangan kita
yang kini tinggal nama.

XXVI

Hati yang Tak Kunjung Tua

setiap luka menua,
namun cinta tidak.
ia tetap muda di dalam dada,
menolak beruban,
menolak dilupakan.

XXVII

Cahaya Terakhir di Matamu

sebelum matahari terbenam,
aku sempat menatap matamu sekali lagi.
di sana aku lihat dua hal sekaligus:
kepergian dan keabadian.

mungkin cinta memang begitu—
selalu lahir saat harus berakhir.

XXVIII

Surat dari Masa Depan

aku menulis dari waktu yang tak kau kenal,
tentang cinta yang telah berubah jadi doa.
di masa depan ini,
aku tak lagi menunggu,
aku hanya bersyukur pernah mencintaimu
dengan seluruh kebodohan yang indah.

XXIX

Doa di Ujung Malam

aku tak lagi meminta kau kembali,
aku hanya berdoa:
semoga di langit yang lain,
kau membaca puisi ini
dan tahu,
betapa indahnya mencintai
tanpa harus memiliki.

XXX

Ketika Semua Menjadi Cahaya

pada akhirnya,
setelah waktu dan kata selesai,
cinta pun bertransformasi jadi cahaya.
ia tak lagi punya bentuk,
tapi ada di mana-mana—
di daun, di angin, di doa.

dan di setiap hembusan malam
yang menyebut namamu,
aku tahu:
kau tak pernah benar-benar pergi.


Sumatera Barat, Indonesia, 2025