Yusufachmad Bilintention
Prolog:
Puisi ini lahir dari perenungan di Masjid Ampel, tempat di mana spiritualitas bertemu dengan sejarah, dan lubang-lubang kecil di dinding menjadi pintu masuk ke dunia batin. “Lubang Pikir” bukan sekadar metafora, tapi jejak pencarian akan makna, cinta, dan kekosongan yang justru penuh isi. Mbah Bolong, sebagai tokoh mistik, hadir bukan untuk menakuti, tapi untuk mengingatkan bahwa lubang dalam pikiran bisa menjadi ruang untuk tumbuh.
Kuingat salat berjamaah di masjid Ampel,
Tasbih berputar di jemariku, bergetar bersama zikir para jamaah.
Kupandang imam berdiri tegak di depan,
Matanya lurus ke mihrab, pikiranku mengalir deras,
Membasahi setiap celah lubang di dinding tua itu.
Cerita Mbah Bolong menyelinap di antara kancing gamis jamaah,
Rongga kemuncing menyapa, debu menempel di atas mushaf.
Retakan huruf menyusup ke benakku,
Mengisi lubang botak dalam kotak pikiran yang lama terlupakan.
Mbah Bolong mengingatkanku pada lubang di jantung temanku,
Liang coklat yang membekas di rongga hatinya.
Celah cinta yang tak pernah kosong,
Tak terlihat oleh mata, tapi terasa nyata.
Hanya lubang mihrab itu yang membawa tubuh dan jiwaku,
Tepat ke sana—ke bayangan Ka’bah yang sunyi.
Mbah Bolong, kau lubangi pikiranku,
Adakah lubang yang tak berlubang?
O Mbah Bolong, kau mengingatkanku pada lubang di dada istriku,
Lubang yang tak pernah tertutup,
Mengalirkan pikiranku ke celah-celah tanpa ujung,
Lubangmu adalah tanda pencarian, perjalanan yang tak selesai.
Lubang Mbah Bolong, simbol kehampaan dan makna,
Membawa pikiranku terbang,
Menggapai jawaban di balik kekosongan.
Surabaya, 4 November 2023
Penutup:
Lubang bukan selalu kehampaan. Kadang ia adalah ruang untuk zikir, Untuk cinta yang tak terlihat. Dan untuk perjalanan yang belum selesai.






