Oleh: Reo Fiksiwan

“Sesampainya di setiap kota baru, pengelana menemukan kembali masa lalunya yang tidak dia ketahui sebelumnya: keasingan dari apa yang tidak lagi Anda miliki atau sama sekali tidak lagi dimiliki menanti Anda di tempat-tempat asing yang tak dimiliki.” — Italo Calvino(1923-1985), Novel “Invisible Cities(1972).

Negara tidak menentang kebebasan masyarakat untuk mengekspresikan keterikatan budaya tertentu, namun juga tidak memupuk ekspresi tersebut secara terbuka, partisipatif dan emansipatif. Sebaliknya, seringkali negara sebagai perwakilan pemerintah di level manapun menanggapinya dengan ‘pengabaian yang jinak'(benign neglect).

Semestinya, tiap anggota kelompok etnis dan nasional dilindungi dari diskriminasi dan prasangka, dan mereka bebas mempertahankan warisan etnis atau identitas apa pun yang mereka inginkan, sesuai dengan hak orang lain.

Namun upaya mereka murni bersifat pribadi, dan lembaga publik tidak berhak untuk melampirkan identitas hukum atau disabilitas pada keanggotaan budaya atau identitas etnis dari manapun asal-usulnya. Karena semestinya, tiap identitas itu lebih produk sosiogen dan bukan biogen.

Pemisahan negara vis a vis Pemkot/Pemda dan etnis ini menghalangi pengakuan hukum atau pemerintah atas kelompok etnis, atau penggunaan kriteria etnis dalam distribusi hak, sumber daya, dan kewajiban.

Demikian perspektif sosiologi perkotaan yang diajukan oleh Will Kymlicka(62), filsuf politik asal Canada, dalam “Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights”(1995) agar negara via seluruh level pemerintahan mampu mengaktifkan prakarsa warga kota(citizenship) dalam pembangunan partisipatif(participative development model).

Disiplin perkotaan, dalam teori dan praktek, selalu diliputi masalah vital dan sering fatal menghadapi urbanisasi(urban society) yang menggoda bahkan menghipnotis warga desa(rural) dari manapun untuk menjadi migran warga kota, sementara maupun selamanya.

Akibatnya, agen-agen dan struktur kewargaan bermunculan dan dilatari perilaku budaya asal daerahnya dengan konsekuensi adaptif atau benturan budaya(clash of culture). Dengan kata lain, sejarah kota manapun dengan tipe apapun berpotensi menjadi kumuh dan kemaruk.

Untuk itu, dalam upaya mengevaluasi perkembangan mutakhir sosiologi kota Manado, di bawah Pemkot dengan Walikota Andrei Angouw dan Wakil Walikota Richard Sualang II, Forum Pembaruan Kebangsaan(FPK) Manado dan diinisiasi oleh Ketua dan Sekretarisnya, Brian JW SH. dan Ir. Karyanti Antho Martham menyelenggarakan Rakor organisasi hari ini(8/8/24) di Hotel Formosa untuk menyerap aspirasi dan kontribusi dari berbagai elemen warga kota yang multikultur ini.

Atas permohonan panitia pelaksana, saya diminta untuk menjadi narasumber dengan mengajukan tema “Kajian Relasi Sosiologi Kota Multikulturalis” Manado sebagai upaya membeberkan literasi pengetahuan sosial-budaya publik.

Kajian agen, struktrur dan institusi(organisasi) sosiologi perkotaan pada topik Rakor FPK dari unsur pengurus utama, kecamatan dan lintas etnis, antara lain dianalisis dari teori Anthony Giddens(86), Will Kymlicka(66), Bhikhu Parekh(86) — ketiganya pakar sosiologi mutakhir dan multikulturalisme perkotaan — yang di antaranya mengemukakan empat dimensi agen dan struktur sosiologi multikulturalis: 1) egalitarialisme(equality vs equity), 2) Empowerment(pemberdayaan), 3) Creating Capabilities(Kemampuan-kemampuan terukur), 4) Empati atau Kerendahan hati(moderation/modesty).

Keempat dimensi memiliki beberapa faktor-faktor atau elemen determinan dukungan yang secara prinsipil terdiri atas hadirnya: rasa keadilan(justice & fairness), tanggung jawab(responsibility), kemandirian(independensi), kesejahteraan(social welfare), berkebudayaan(culture code) dan perwujudan “good governance & clean goverment”.

Akhirnya, dalam sambutannya, Walikota Andrei Angouw menekankan bahwa kegiatan Rakor FKM ini harus terus mengembangkan secara aktif komunikasi antar seluruh warga dari berbagai latar suku, agama dan profesi. Bukan “kase biar kong so jalan sandiri-sandiri. So ndak baku perduli.” Demikian pula, Wakil Walikota, dr. Richard Sualang II ikut memberikan pengarahan diawal acara. Sejatinya, institusi forum-forum di bawah Pemkot dan tentu didukung oleh APBD Pemkot harus lebih proaktif untuk memprakarsai aktivitas-aktivitas kemasyarakatan warga kota sesuai dengan tupoksinya. Dengan demikian, FPK akan hadir dan dikenal seluruh warga dalam kemajuan seluruh sektor pembangunan di kota Manado.