Oleh: Mila Muzakkar (Sektetaris Kreator Era AI/Founder Generasi Literat)

Siapa sih yang dibilang cantik? Yang tinggi, putih, glowing, langsing, hidung mancung, rambut panjang? Jadi kayak bihun dong! Atau mereka yang pakai baju trendy dari brand terkenal dan kerja di kantor?

Kalau masih berpikir kayak gitu, fix, pemikirannya masih jadul. Kurang update!

Standar kecantikan yang kamu bayangkan itu cuma buatan segelintir orang yang narasinya diulang-ulang di media sosial dan TV. Tapi, apa semua orang setuju dengan standar itu? Belum tentu!

Jadi, siapa sebenarnya yang bikin standar kecantikan? Mereka yang bergerak di dunia bisnis lifestyle, brand kosmetik, desainer fashion, pelukis, artis, influencer, dan kroni-kroninya.

Lalu, siapa yang diuntungkan? Ya, mereka dong. Mereka yang berhasil membentuk dan mempromosikan standar itu. Dan mereka juga yang kaya raya, sementara konsumennya banting tulang nyari duit, atau biar gampang dan cepat, ada juga yang pakai jalur korupsi.

Siapa yang dirugikan? Pertama, tentu saja perempuan, terutama yang enggak sesuai dengan standar kecantikan tersebut. Kedua, laki-laki. Kenapa? Karena narasi “cantik” ini jadi salah satu faktor saat memilih pasangan. Kalau pacarnya “terlalu cantik,” laki-laki sering merasa harus “bercermin” dulu, pantas enggak bersanding sama dia?

Enggak sedikit loh laki-laki kehilangan cintanya cuma karena standar penampilan yang dianggap ideal oleh masyarakat.

Cantik dari Masa ke Masa
Standar kecantikan itu dinamis, berubah-ubah dari zaman ke zaman. Di Mesir Kuno (500 SM), perempuan dianggap cantik kalau pakai eyeliner hitam tebal (kohl) untuk memperbesar mata. Kulit halus dan rambut palsu (wig) juga jadi simbol kecantikan.

Di Tiongkok Kuno (1912 M), tradisi “foot binding” membuat kaki kecil dianggap ideal, meskipun harus bersakit-sakit.

Di Eropa pada abad ke-15, kecantikan dihubungkan dengan kesederhanaan, kerendahan hati, dan religiusitas. Lalu, saat zaman Renaissance Eropa (1300-1600 M), perempuan yang dianggap cantik adalah yang bertubuh gemuk, wajah bundar, dan kulit putih pucat.

Sementara di Amerika dan Eropa abad ke-20, perempuan cantik digambarkan dengan potongan rambut bob pendek, bibir merah, dan tubuh ramping. Pada tahun 1950-an, rambut bergelombang ala Marilyn Monroe jadi standar kecantikan.

Di Indonesia, kecantikan juga berubah-ubah. Pada masa Kerajaan Hindu-Buddha, perempuan berkulit cerah, rambut panjang, dan hitam dianggap cantik. Mereka juga menggunakan kosmetik dari bahan alami seperti bunga dan kunyit.

Di masa kolonial, standar kecantikan dipengaruhi oleh Barat, di mana kulit yang lebih terang itu dianggap cantik. Banyak perempuan pribumi menggunakan lulur dan bahan pemutih kulit.

Di zaman modern, terutama mulai tahun 1980-an, kecantikan di Indonesia mulai beragam. Meski begitu, standar kecantikan yang dibentuk oleh kelompok tertentu—terutama pengaruh artis K-Pop dan artis Barat—masih dominan.

Perspektif Cantik Lewat AI
Henny Levine, perempuan Indonesia, dulu minder dengan badannya yang gemuk, sekarang jadi kontent kreator fashion khusus big size dan pengusaha sukses. Dia berhasil membangun narasi kecantikan yang baru. Dengan tubuh besar dan wajah tembem, dia tampil percaya diri dengan gaya fashion yang ia kenakan.

Di era Artificial Intelligence (AI), membangun narasi kecantikan yang lebih manusiawi makin mudah. AI, seperti Image Generator, bisa banget membantu. Aku sendiri pakai AI untuk menciptakan perspektif baru soal kecantikan.

Dengan prinsip kesetaraan, keadilan, dan keindahan universal, aku melukis perempuan dengan beragam bentuk. Semua terlihat cantik, modern, dan professional.

Perspektif yang dibalut dengan kreatifitas dalam menggunakan AI, membuat kita bisa menggambarkan perempuan dengan kulit hitam, hidung pesek, rambut tebal dan keriting, atau rambut hitam pendek. Mereka tetap terlihat cantik, bahkan tanpa makeup berbahan kimia. Perempuan gemuk, berkulit putih, berambut warna-warni, atau yang memakai makeup mencolok, tetap cantik!

Yang berjilbab, bercadar, Entah mereka bekerja di pabrik, bank, mal, pasar, kebun, atau di rumah, semua bisa tampil menawan dengan gayanya masing-masing.

Perempuan yang masak di dapur bisa tetap stylish, pakai batik modern, dengan wajah ceria. Nggak melulu lusuh, berdaster, dan kelihatan lelah.

Mendobrak standar kecantikan adalah misi besar yang bisa dimulai dengan mengubah mindset tentang apa itu cantik. Setiap perempuan itu cantik dengan caranya masing-masing, tanpa perlu mengikuti standar yang dibuat oleh orang lain.

Ingat, standar kecantikan yang kaku sering kali lahir dari relasi kuasa dalam masyarakat patriarki.

Menurutku, cantik sejati adalah perpaduan dari dari dalam dan luar. Dari mindset, sikap, dan karya yang bermanfaat bagi kehidupan. Itulah simbol kecantikan yang sesungguhnya.

*Tulisan dan gambar adalah hasil kolaborasi penulis dengan AI