Oleh: Alex Runggeary
–
Tadi pagi ngobrol dengan seorang tamu hotel yang sama warga negara Belanda asal kota Amsterdam. Kami saling sapa dalam bahasa Belanda tapi ngobrol dalam bahasa Inggris karena bahasa Belandaku patah-patah. Lebih banyak tidak paham. Aku belajar bahasa Belanda 1960-61 di Jongens Vervolgh School Blijdorp Serui, hanya dua tahun dan kemudian tak pernah aku praktekkan membuat lupa. Ataukah hanya alasan? Mungkin ! Dasarnya memang aku agak blo’on kali.
“Dari mana asalmu?”, dia mencari tahu.
” Aku dari Papua”
” Kamu di sini berlibur atau apa?”
” Aku tinggal di sini”
” Di mana?”
” Mbantul aku”
Ia kemudian membuka Google map, ” Oh, hanya 11 kilometer, bisa untuk olaraga jalan kaki”
” Mengapa kamu memilih tinggal di sini?”, ia melanjutkan.
” Karena hidup di sini jauh lebih murah dan aman”
“Ooh begitu !”
Ia kemudian bercerita tentang kota Harlem, Amterdam yang kehidupan di sana sangat mahal. Para pendatang dari Amerika melakukan investasi besar- besaran. Membangun blok- blok apartemen dan menyewakan dengan harga mencekik. Belum lagi Raja Belanda Bernard melakukan hal yang serupa. Masyarakat setempat kini tersingkir tak berdaya. Amsterdam menjadi salah satu kota termahal di dunia.
Ternyata tidak hanya Amsterdam, di Yogyapun terjadi hal yang mirip. Banyak investor dari luar menguasai tanah- tanah untuk membangun Kota. Rakyat setempat mulai tersingkir perlahan ke pinggiran. [ Hasil ngobrol dengan pak Sabar]
Saya pikir tidak hanya Amsterdam dan Yogya, tapi juga berbagai kota di dunia yang sedang membangun terjadi hal serupa – penduduk setempat tersingkir secara sistematis. Ini juga yang terjadi dengan penduduk asli Jakarta, Betawi.
Orang-orang Papua sebagaimana yang terdapat dalam postingan berbagai watchup grup, menyuarakan dengan keras untuk membatasi pendatang dengan berdalih pemerintah daerah dapat menggunakan Undang Undang Otonomi Khusus untuk mengeluarkan Perdasus/ Perdasi sebagai dasar. Sampai hari ini tidak ada satupun turunan aturan itu digubris pemerintah.
Membatasai pergerakan penduduk tentu saja bertentangan dengan jiwa NKRI dan membatasi hak konstitusional warganegara, mencoba meniru gaya bahasa Mahkamah Konstitusi. Saya pikir itu alasannya mengapa tidak ada satupun sampai hari ini, aturan yang membatasi keluar masuk pendatang ke pelbagai wilayah di Papua.
Tidak berarti kita boleh membiarkan kekhawatiran mereka berlalu begitu saja. Membangun SDM yang kuat lewat – pendidikan – menjadi mutlak. Membangun bidang – kesehatan – agar menjadi manusia yang berpendidikan dan sehat – Manusia Unggul Papua – yang siap hidup dalam tantangan masa depan. Dan jangan lupa membangun Ekonomi Rakyat berdasar Potensi Setempat. Semua ini telah tertera dalam UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua
Sayangnya selama ini rencana yang baik itu hanya di atas kertas. Kenyataannya Rakyat Papua termiskin seIndonesia. Dan rentan terhadap perubahan, Ini memberikan indikasi kuat – kekhawatiran bahwa penduduk setempat akan tersingkir itu menjadi tak terelakkan.
Namun berdasarkan pengalaman Amsterdam, Jakarta dan Yogyakarta, ini adalah proses alami.. Apa boleh buat, kalau tak ada tekad yang sungguh untuk, paling tidak meredam benturan budaya lama ke budaya baru yang semakin keras, manusia Papua bisa saja tersingkir dengan cara yang memprihatinkan. Mengais sampah di atas tanah sendiri.
——-
Yogyakarta, 26 April 2024