Paulus Laratmase: Direktur Eksekutif LSM Santa Lusia

*(Paulus Laratmase

Pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Majelis Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, 23 September 2025, disambut dengan tepuk tangan meriah dan apresiasi dari berbagai pemimpin dunia. Dengan nada penuh keyakinan, Prabowo menegaskan komitmen Indonesia untuk mendukung perdamaian global, memperkuat multilateralisme, serta berjanji mengerahkan ribuan prajurit dan sumber daya demi misi-misi perdamaian internasional.

Bagi dunia internasional, pidato ini seolah meneguhkan posisi Indonesia sebagai negara yang siap memikul beban moral demi menjaga perdamaian umat manusia. Namun, jika kita menelisik lebih dalam, pidato yang menggelegar di podium PBB justru menyimpan ironi besar. Saat Presiden berjanji mengirim 20.000 pasukan perdamaian ke Gaza, Ukraina, Sudan, atau Libya, di negeri sendiri konflik bersenjata di Papua terus berkobar, menelan korban jiwa dari aparat maupun warga sipil. Saat Prabowo berkomitmen memberi kontribusi finansial bagi perdamaian global, di tanah Papua rakyatnya sendiri dibiarkan berhadapan dengan kelaparan akibat kekeringan panjang.

Ironi ini mengguncang nurani: untuk apa Indonesia membangun citra sebagai pembela perdamaian dunia, jika di rumah sendiri perdamaian tidak pernah sungguh hadir?

Pidato yang Memikat Dunia, Tapi Menyayat Hati Bangsa Sendiri

Pidato Prabowo di PBB memang cerdas dirancang: retoris, penuh narasi sejarah, serta menekankan nilai solidaritas universal. Dengan menyebut PBB sebagai “pilar perdamaian, keadilan, dan kebebasan bagi semua bangsa,” ia seolah meneguhkan posisi Indonesia sebagai pemain global yang bermoral tinggi.

Namun, ada pertanyaan mendasar: mengapa retorika ini tidak diterapkan secara konsisten di dalam negeri? Mengapa komitmen terhadap perdamaian dunia tidak berangkat dari rumah sendiri, Papua yang hingga kini masih dirundung kekerasan bersenjata, pelanggaran HAM, dan ketidakadilan struktural?

Papua: Luka yang Tak Pernah Sembuh

Sejak lama Papua menjadi arena konflik berkepanjangan antara Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM) dan aparat keamanan TNI/Polri. Pertempuran demi pertempuran menelan korban nyawa, tidak hanya dari kedua belah pihak, tetapi juga masyarakat sipil yang tidak tahu harus berpihak ke mana. Di berbagai distrik pegunungan, ribuan warga terpaksa mengungsi, meninggalkan kampung halaman, kehilangan tanah, dan hidup dalam ketakpastian.

Lebih ironis lagi, di tengah kekayaan sumber daya alam Papua: tambang emas, tembaga, hutan, dan laut masih banyak rakyat Papua yang kelaparan. Tahun 2025 ini, laporan menunjukkan bahwa sebagian wilayah Pegunungan Papua mengalami kekeringan panjang, menyebabkan gagal panen dan krisis pangan. Sementara itu, pemerintah lebih cepat menyalurkan jutaan ton beras ke Palestina untuk menunjukkan solidaritas di panggung dunia, daripada segera memastikan perut rakyat Papua terisi.

Apakah solidaritas internasional harus dibangun di atas pengabaian terhadap penderitaan rakyat sendiri?

Diplomasi Citra vs. Kewajiban Konstitusi

Peran aktif Indonesia dalam misi perdamaian dunia memang penting. Konstitusi kita, UUD 1945, jelas menyebutkan bahwa Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Namun, jangan lupa: konstitusi juga mewajibkan negara untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”

Ketika Presiden Prabowo berkomitmen mengirim pasukan dan dana untuk perdamaian dunia, bukankah seharusnya ia terlebih dahulu memastikan perdamaian dan kesejahteraan rakyatnya sendiri? Bagaimana mungkin Indonesia tampil sebagai penjamin perdamaian global, jika konflik bersenjata di Papua tak kunjung terselesaikan dan rakyatnya masih hidup dalam penderitaan?

Di sini terlihat jurang besar antara diplomasi citra di panggung internasional dan kewajiban konstitusional di dalam negeri. Diplomasi global boleh mengilap, tetapi legitimasi moral seorang pemimpin tetap ditentukan dari seberapa besar ia memperhatikan rakyatnya sendiri.

Papua Sebagai Ujian Nyata Kepemimpinan

Papua seharusnya menjadi ujian nyata bagi komitmen Prabowo terhadap perdamaian. Jika di Palestina Presiden bisa begitu lantang menyerukan keadilan, mengapa di Papua suaranya terdengar pelan? Jika Prabowo siap mengerahkan 20.000 pasukan ke luar negeri, mengapa ia tidak sekuat itu mengerahkan diplomasi damai untuk menyudahi konflik Papua?

Masyarakat Papua bukan angka statistik dalam laporan pembangunan. Kami adalah warga negara Indonesia yang punya hak sama atas hidup damai, atas keadilan, dan atas masa depan yang sejahtera. Jika negara abai, luka Papua tidak hanya akan tetap menganga, tetapi juga menjadi noda sejarah yang terus menghantui klaim Indonesia sebagai negara pembela perdamaian.

Kritik terhadap Solidaritas yang Selektif

Solidaritas internasional memang penting, tetapi ketika solidaritas itu selektif, ia kehilangan makna moralnya. Mengirim bantuan pangan ke Palestina adalah langkah mulia, tetapi mengabaikan rakyat Papua yang kelaparan adalah bentuk kemunafikan politik. Mengirim pasukan perdamaian ke Sudan atau Ukraina mungkin terhormat, tetapi membiarkan perang berkepanjangan di Papua adalah pengkhianatan terhadap janji konstitusi.

Solidaritas sejati tidak boleh terputus oleh batas internasional, tetapi juga tidak boleh mengabaikan yang paling dekat. Seperti kata pepatah, “lampu terang di luar, tetapi redup di dalam rumah.” Inilah ironi besar pidato Prabowo di PBB.

Seruan untuk Membalik Prioritas

Presiden Prabowo masih punya kesempatan membalik prioritasnya: dari mencari panggung di dunia menuju menyelesaikan luka di rumah. Perhatian dunia memang penting, tetapi perhatian rakyat Papua jauh lebih mendesak.

Jika Prabowo sungguh ingin dikenang sebagai pemimpin besar, ia harus memulai dengan mendengar tangisan Papua, menghentikan konflik bersenjata, membuka ruang dialog bermartabat, dan menjamin kesejahteraan rakyatnya sendiri. Dari situlah, pidato di PBB tidak hanya terdengar megah di telinga dunia, tetapi juga tulus di hati bangsa sendiri.

Penutup

Pidato Presiden Prabowo di Sidang Majelis Umum PBB ke-80 memang berhasil memukau dunia, tetapi di balik gemerlap tepuk tangan itu, ada tangisan rakyat Papua yang tak terdengar. Sebelum mengirim 20.000 pasukan ke luar negeri, tidakkah lebih bijak mengirim ribuan tenaga untuk membangun Papua? Sebelum menggelontorkan dana bagi perdamaian global, tidakkah lebih mendesak mengalokasikan anggaran untuk menghapus kelaparan di pegunungan Papua?

Perdamaian dunia tidak akan pernah kokoh jika fondasinya rapuh di dalam negeri. Solidaritas internasional tidak akan pernah otentik jika lahir dari pengabaian terhadap penderitaan rakyat sendiri. Jika Presiden Prabowo ingin pidatonya di PBB dikenang bukan sebagai ironi, ia harus terlebih dahulu menghadirkan perdamaian dan kesejahteraan di Papua.

Baru setelah itu, Indonesia dapat berdiri tegak di hadapan dunia dengan moral penuh, bukan citra yang dipoles.

*(Paulus Laratmase adalah Direktur Eksekutif LSM Santa Lusia