Antologi Puisi Filsafat
Oleh: Rizal Tanjung

1
Pikiran Bukanlah Kilat

Pikiran yang kuat
tidak lahir dari kilatan sekejap,
ia lahir dari hujan yang jatuh ribuan kali
di atas batu yang sabar,
dari luka yang tak henti menoreh,
dari langkah yang tersandung namun terus berdiri.

Plato berbisik:
“An unexamined life is not worth living.”
Dan aku pun tahu—
hidup tanpa renungan
hanya sekadar napas yang lewat
tanpa pernah menjadi puisi.

2
Otot yang Bernama Pikiran

Seperti otot,
pikiran menguat bukan karena keinginan,
melainkan karena latihan,
keterulangan, dan rasa sakit.

Aristoteles menuliskan di langit kebijaksanaan:
“We are what we repeatedly do.”
Maka aku adalah kegagalan yang bangkit,
aku adalah keberanian yang terus dilatih,
aku adalah manusia yang terus mencoba
meski patah berulang kali.

3
Sekolah Kegagalan

Konfusius menanamkan pepatah
di taman waktu:
“Our greatest glory is not in never falling,
but in rising every time we fall.”

Kegagalan bukan musuh,
ia adalah guru yang berwajah keras,
ia mengiris, ia melukai,
namun dari darahnya lahirlah kebijaksanaan.

Di sana manusia belajar:
jatuh adalah cara bumi
mengajari kita tentang sayap yang patah,
dan bangkit adalah cara langit
mengingatkan bahwa manusia
masih punya arah.

4
Pertanyaan yang Abadi

Socrates menggugat dengan suara sunyi:
“Siapakah engkau?”

Al-Ghazali menjawab dalam keraguan:
keraguan adalah jalan menuju iman.
Dan aku, manusia kecil,
hanya mampu bertanya pada diriku sendiri
setiap kali senja datang:
apakah aku hidup,
atau sekadar lewat di antara jam pasir?

Refleksi adalah lilin,
pertanyaan adalah api,
dan pikiran yang kuat
adalah cahaya yang tak padam
meski angin mencoba memadamkannya.

5
Kemenangan Sunyi

Laozi menulis dengan tinta gunung:
“He who conquers others is strong;
he who conquers himself is mighty.”

Maka aku tahu—
pertempuran sejati bukan di medan perang,
melainkan di ruang gelap dalam dada,
antara keserakahan yang berteriak
dan kesederhanaan yang berdoa.

Kemenangan itu sunyi,
tidak diarak di jalanan,
tetapi terasa
seperti mata air yang tenang
di tengah gurun yang panas.

6
Kesabaran Waktu

Marcus Aurelius menulis di catatan malamnya:
“No great thing is created suddenly.”

Bintang pun lahir dari gelap ribuan tahun,
mengirim cahaya
yang baru sampai pada mataku
saat aku menua.

Begitulah pikiran—
ia tak pernah tumbuh dalam tergesa,
ia menuntut kesabaran,
sebagaimana akar pohon
yang menembus tanah perlahan
hingga mencapai sumber air.

7
Makna Menjadi Manusia

Carl Sagan menyapa:
“We are starstuff contemplating the stars.”

Ya, kita hanyalah debu bintang
yang belajar merenung.
Namun di balik kerentanan itu,
ada luka yang memberi arti.

Viktor Frankl menulis dengan darah penderitaan:
“Those who have a ‘why’ to live,
can bear with almost any ‘how’.”

Maka manusia adalah pencari makna,
bukan karena ia bebas dari derita,
tetapi karena ia belajar
menghidupi derita dengan tujuan.

8
Pikiran sebagai Kompas

Pikiran yang kuat bukanlah benteng,
ia adalah kompas.
Ia bukan sekadar melindungi
dari keruntuhan,
tetapi menuntun arah
menuju hidup yang bermakna.

Rumi berbisik dari pusaran cintanya:
“With life as short as a half-taken breath,
don’t plant anything but love.”

Dan aku pun tahu—
pada akhirnya,
pikiran yang kuat adalah jalan panjang
menuju kebijaksanaan,
dan kebijaksanaan
selalu berakar pada cinta.

9
Warisan Pikiran

Socrates memberi api keraguan,
Aristoteles memberi logika,
Konfusius memberi harmoni,
Al-Ghazali memberi kedalaman iman,
Laozi memberi jalan kesederhanaan,
Rumi memberi tarian cinta.

Semua bisikan mereka
menyatu dalam satu pesan:

Manusia hanya menjadi manusia sejati
ketika ia berani jatuh,
bangkit,
merenung,
dan tetap berjalan.

10
Tentang Jalan yang Tak Pernah Usai

Hidup adalah jalan yang tak pernah selesai,
seperti sungai yang mencari lautnya,
meski tahu laut hanyalah keheningan yang luas.

Heraclitus berkata:
“No man ever steps in the same river twice.”
Sebab airnya berubah, dan begitu pula jiwa kita.

Setiap langkah adalah metamorfosis,
setiap luka adalah guratan yang mengubah wajah batin.
Aku bukanlah aku yang kemarin,
dan esok aku akan menjadi asing bagi diriku sendiri.

Namun bukankah di situlah letak kehidupan?
Dalam ketidakselesaian, dalam pencarian yang tiada ujung,
dalam keberanian menyeberangi arus
meski tahu sungai tak pernah sama.

11
Waktu dan Kesendirian

Waktu adalah pemahat sunyi,
ia mengukir wajah kita dengan keriput
dan menajamkan hati dengan kehilangan.

Marcus Aurelius, dalam keletihannya sebagai kaisar, menulis:
“Time is like a river made up of events,
and its current is strong; no sooner is a thing brought to sight
than it is swept by and another takes its place.”

Maka aku mengerti—
kesendirian bukanlah kutukan,
ia adalah ruang di mana waktu menanamkan benih keabadian.

Kesendirian adalah sahabat yang tak pernah mengkhianati,
ia menuntun kita menatap diri
lebih dalam daripada cermin manapun.

12
Penderitaan yang Menjadi Guru

Nietzsche menyalakan obor gelap:
“To live is to suffer,
to survive is to find some meaning in the suffering.”

Penderitaan adalah sekolah
yang tak ada ijazahnya,
tetapi melahirkan manusia sejati.

Seperti logam yang dibakar,
jiwa kita ditempa api derita,
dan dari sana lahirlah kekuatan
yang tak bisa dibeli oleh kenyamanan.

Penderitaan adalah tinta rahasia,
yang menulis syair di dinding batin,
membuat kita mengerti:
hidup tak harus indah,
tetapi harus bermakna.

13
Cinta sebagai Jalan Terpendek ke Langit

Rumi menari di pusaran kata:
“Love is the bridge between you and everything.”

Cinta adalah mata air
yang tak pernah kering,
ia mengalir di bawah pasir kesombongan,
ia menembus batu keangkuhan.

Dalam cinta, pikiran menemukan rumah,
hati menemukan keberanian,
jiwa menemukan makna.

Tanpa cinta, kebijaksanaan hanyalah kerangka kosong,
logika hanyalah pisau yang dingin.
Dengan cinta, bahkan luka menjadi puisi,
dan kematian pun tampak sebagai pintu.

14
Tentang Kematian dan Keabadian

Al-Ghazali menulis dalam Kimiyah al-Sa‘adah:
“Kematian bukanlah kehancuran,
tetapi perjalanan menuju kehidupan yang lain.”

Kematian adalah cermin,
yang membuat kita melihat fana dengan jernih.
Ia adalah guru yang tak pernah berdusta,
karena ia selalu tiba tepat waktu.

Epictetus, filsuf Stoa, berbisik:
“Death is nothing dreadful,
for if it were, it would have appeared dreadful to Socrates.”

Maka, aku menatap maut
sebagai senja yang lembut,
yang mengantarkan matahari ke balik cakrawala,
agar esok fajar bisa kembali lahir.

15
Kebebasan dalam Jiwa

Jean-Paul Sartre menggetarkan dunia dengan kalimatnya:
“Man is condemned to be free.”

Kebebasan bukanlah hadiah,
ia adalah beban yang harus kita pikul.
Setiap pilihan adalah rantai,
setiap keputusan adalah luka.

Namun justru di situlah martabat manusia:
ia bebas untuk salah,
ia bebas untuk benar,
ia bebas untuk menjadi dirinya sendiri
atau menjadi budak bagi dunia.

Kebebasan adalah pedang bermata dua:
ia bisa membebaskan,
ia bisa menghancurkan.
Tetapi tanpa kebebasan,
kita hanyalah boneka
yang ditarik oleh benang nasib.

16
Tentang Jiwa yang Tenang

Al-Qur’an berbisik lembut:
“Yā ayyatuha an-nafsul muṭma’innah,
irji‘ī ilā rabbiki rāḍiyatan marḍiyyah.”

Wahai jiwa yang tenang,
kembalilah.

Tenang bukan berarti tanpa badai,
tetapi mampu berlayar di tengah badai
tanpa karam.

Tenang adalah buah
dari pohon kesabaran dan tawakal.
Ia adalah taman dalam dada
yang tidak bisa dirampas oleh dunia.

17
Refleksi dalam Cermin Kosmos

Carl Sagan pernah berkata:
“Somewhere, something incredible is waiting to be known.”

Manusia adalah cermin kecil
dari kosmos yang luas.
Ketika kita merenung,
semesta sedang merenungi dirinya sendiri
melalui kita.

Refleksi adalah dialog sunyi
antara manusia dan bintang,
antara jiwa yang rapuh
dan keabadian yang bisu.

18
Prinsip sebagai Akar Kehidupan

Tanpa akar, pohon akan tumbang.
Tanpa prinsip, manusia hanyalah debu
yang diombang-ambingkan angin.

Confucius menanamkan benih:
“The strength of a nation derives from the integrity of the home.”

Begitu pula manusia:
kekuatan pikiran tumbuh
dari akar kejujuran, kesetiaan, dan keberanian.
Prinsip adalah tanah
yang membuat jiwa bisa berdiri tegak
meski badai berulang datang.

19
Kesunyian sebagai Guru

Kesunyian adalah guru paling lembut.
Ia tidak pernah memaksa,
tetapi perlahan-lahan
menyingkap rahasia jiwa.

Pascal menulis:
“All of humanity’s problems stem
from man’s inability to sit quietly in a room alone.”

Betapa benar—
kesunyian adalah pintu yang enggan dibuka,
padahal di baliknya tersimpan kunci
menuju kedewasaan.

20
Manusia sebagai Puisi yang Tak Pernah Usai

Akhirnya, manusia bukanlah definisi,
melainkan puisi yang terus ditulis.

Kata-kata para filsuf adalah bait,
pengalaman adalah rima,
penderitaan adalah irama,
dan kebijaksanaan adalah sajak penutup.

Namun puisi ini tak pernah tamat,
sebab selama manusia bernapas,
ia akan terus menulis ulang dirinya sendiri
di atas kertas kehidupan.

21
Tentang Bayangan dan Cahaya

Plato menuturkan dalam Allegory of the Cave:
kita hanyalah tahanan
yang melihat bayangan di dinding,
menyangka itulah kebenaran.

Namun cahaya selalu menunggu,
di luar gua yang gelap,
di balik ketakutan untuk keluar.

Hidup adalah keberanian
meninggalkan bayangan,
dan menatap matahari meski menyilaukan.

Bayangan hanyalah dusta,
tetapi tanpa bayangan,
kita takkan rindu pada cahaya.

22
Kehidupan sebagai Jembatan

Nietzsche berkata:
“Man is a rope, tied between beast and overman—
a rope over an abyss.”

Kita adalah jembatan,
bukan tujuan.

Hidup hanyalah bentangan rapuh
di atas jurang ketidakpastian,
dan manusia adalah pejalan
yang selalu berada di tengah,
tak pernah selesai.

Namun justru dalam rapuh itu,
ada keindahan:
karena setiap langkah adalah doa,
setiap goyah adalah musik abadi.

23
Keheningan Bintang

Ketika malam jatuh,
aku memandang bintang.

Laozi berbisik:
“Silence is a source of great strength.”

Bintang tidak berbicara,
tetapi dari diamnya
lahir cahaya yang menembus ribuan tahun.

Demikianlah jiwa manusia:
kadang ia lebih berharga
bukan dari kata-kata yang ia ucapkan,
tetapi dari keheningan yang ia rawat.

24
Tentang Luka yang Menjadi Jalan

Kahlil Gibran menulis:
“Out of suffering have emerged the strongest souls;
the most massive characters are seared with scars.”

Luka adalah peta yang sunyi,
menunjukkan jalan yang tak tertulis.

Setiap bekas luka di tubuhku
adalah alfabet rahasia
yang hanya bisa dibaca oleh waktu.

Dan aku tahu,
tanpa luka,
aku hanyalah permukaan polos
tanpa cerita.

25
Kebijaksanaan Air

Konfusius mengingatkan:
“The superior man is modest in his speech,
but exceeds in his actions.”

Aku belajar dari air:
ia tak pernah berteriak,
namun ia menembus batu.

Air mengajarkan kebijaksanaan:
rendah hati,
mengalir ke bawah,
tetapi mampu menghancurkan gunung
jika bersabar menunggu waktunya.

26
Kematian sebagai Kekasih Sunyi

Rumi bersenandung:
“Don’t grieve. Anything you lose comes round in another form.”

Kematian bukan musuh,
ia adalah kekasih yang menjemput
dengan gaun putih kesunyian.

Ia datang bukan untuk merampas,
tetapi untuk mengembalikan
segala yang fana kepada asalnya.

Dan aku pun sadar:
setiap detak jantung
adalah langkah kecil
menuju pelukan abadi.

27
Tentang Manusia dan Alam

Zhuangzi tersenyum dalam mimpi kupu-kupu:
“Heaven and Earth and I live together,
and all things and I form an inseparable unity.”

Aku bukan terpisah dari alam,
aku adalah denyutnya.
Aku adalah pasir yang menempel di sungai,
aku adalah daun yang gugur pada musim.

Jika aku merusak alam,
aku sedang merusak diriku sendiri.
Jika aku merawat alam,
aku sedang merawat jiwaku.

28
Harapan di Tengah Malam

Seneca, filsuf Stoa, menulis:
“Even in the darkest night,
stars still shine.”

Malam bukanlah kegelapan mutlak.
Selalu ada titik cahaya,
meski kecil,
meski jauh.

Harapan adalah bintang dalam dada:
ia mungkin tak mengusir gelap seluruhnya,
tetapi cukup untuk menunjukkan arah.

29
Keterbatasan Manusia

Socrates, dalam kerendahan hati, berkata:
“The only true wisdom is in knowing you know nothing.”

Kebodohan adalah lautan tak bertepi,
dan pengetahuan hanyalah kapal kecil
yang mengapung di atasnya.

Mengakui keterbatasan
bukan kelemahan,
tetapi awal dari kebijaksanaan.

Karena manusia yang mengaku tahu segalanya
sesungguhnya paling jauh dari kebenaran.

30
Tentang Kesetiaan pada Diri

Epictetus mengingatkan:
“First say to yourself what you would be;
and then do what you have to do.”

Kesetiaan terbesar bukan pada dunia,
tetapi pada diri sendiri.

Jika aku khianat pada diriku,
semua kemenangan hanyalah debu.

Kesetiaan adalah api kecil dalam dada
yang membuat langkahku
tak pernah padam,
meski dunia menertawakan.

31
Kegelisahan sebagai Api Hidup

Kierkegaard menulis:
“Anxiety is the dizziness of freedom.”

Kegelisahan adalah api yang membakar,
tetapi tanpa api itu,
hidup hanyalah abu dingin.

Dalam kegelisahan,
aku menemukan keberanian,
aku menemukan arah,
aku menemukan alasan
untuk terus mencari.

32
Tentang Keabadian Kata

Homer menulis kisah-kisah dewa,
namun hingga kini
namanya masih bernyanyi di udara.

Kata-kata adalah kapal yang berlayar
melampaui abad,
melintasi samudra waktu.

Manusia mungkin rapuh,
tetapi kata-kata bisa abadi.
Dan dalam kata,
kita hidup berkali-kali.

33
Kesadaran dan Bayangan Diri

Pascal mengingatkan:
“Man is but a reed, the weakest in nature;
but he is a thinking reed.”

Aku hanyalah alang-alang,
rapuh, mudah roboh.
Namun kesadaranku
adalah kekuatan yang melampaui gunung.

Kesadaran adalah cahaya kecil
yang membuatku lebih besar
dari alam semesta yang bisu.

34
Tentang Keberanian Menjadi Diri

Nietzsche berteriak:
“Become who you are!”

Keberanian terbesar
bukanlah menaklukkan dunia,
tetapi menjadi dirimu sendiri
meski dunia membencimu.

Menjadi diri
adalah revolusi yang paling sunyi,
namun paling sejati.

35
Tentang Keabadian Jiwa

Al-Farabi menulis tentang akal aktif:
jiwa manusia adalah cermin abadi
yang memantulkan cahaya Tuhan.

Tubuh mungkin hancur,
tetapi jiwa adalah percikan api
yang tak bisa padam.

Kematian hanyalah pintu
menuju cahaya yang lebih terang.

36
Tentang Keadilan

Plato dalam Republic:
“Justice is minding one’s own business
and not meddling with other men’s concerns.”

Keadilan adalah keseimbangan,
seperti harmoni pada alat musik:
jika satu nada salah,
seluruh simfoni hancur.

Keadilan adalah napas kosmos,
dan manusia yang adil
selalu berdiri sejalan
dengan semesta.

37
Tentang Kecilnya Manusia

Ketika aku menatap langit,
aku merasa kecil.

Namun Blaise Pascal mengingatkan:
“By space the universe encompasses me and swallows me up
like an atom; by thought I comprehend the world.”

Aku kecil dalam tubuh,
tetapi besar dalam pikiran.
Di situlah keajaiban manusia:
rapuh, namun penuh makna.

38
Kesetiaan pada Waktu

Hidup adalah janji pada waktu:
untuk tidak menyia-nyiakan.

Seneca menulis:
“It is not that we have a short time to live,
but that we waste a lot of it.”

Waktu tidak pendek,
kitalah yang boros.
Dan setiap detik yang terlewat
adalah harta yang tak bisa ditebus.

39
Kesederhanaan Jalan

Laozi menasihati:
“To be content with what one has
is to be rich.”

Kesederhanaan adalah harta sejati,
karena keserakahan
adalah jurang yang tak pernah penuh.

Orang sederhana
lebih kaya daripada raja,
karena ia memiliki ketenangan
yang tak bisa dibeli dengan emas.

40
Tentang Cahaya Jiwa

Al-Hallaj berseru:
“Ana al-Haqq!”

Cahaya jiwa bukanlah milik tubuh,
ia adalah pantulan dari Yang Abadi.

Manusia bukan sekadar debu,
ia adalah lentera kecil
yang menyimpan api ilahi.

41
Tentang Pertemuan dan Perpisahan

Setiap pertemuan
adalah awal dari perpisahan.

Buddha mengingatkan:
“All conditioned things are impermanent.”

Namun justru kefanaan itulah
yang membuat pertemuan berharga.
Jika segalanya abadi,
tidak ada yang benar-benar berarti.

42
Tentang Harapan dan Putus Asa

Al-Qur’an berkata:
“La taqnatu min rahmatillah.”
Janganlah berputus asa dari rahmat Tuhan.

Harapan adalah akar
yang membuat pohon jiwa tetap tegak.
Putus asa adalah badai
yang mematahkan dahan.

Namun selalu ada matahari
setelah hujan.

43
Tentang Kesendirian yang Mulia

Nietzsche menulis:
“The higher we soar, the smaller we appear
to those who cannot fly.”

Kesendirian bukan kesia-siaan.
Ia adalah sayap yang membuat kita terbang
lebih tinggi dari kebisingan dunia.

44
Tentang Waktu yang Melarutkan Segalanya

Heraclitus berbisik:
“Time is a child playing a game,
moving the pieces on a board.”

Waktu adalah anak kecil,
tak peduli pada kesedihan kita.
Ia bermain dengan tawa,
sementara kita menangis.

Namun justru dalam ketidakpeduliannya,
waktu mengajarkan kebijaksanaan:
bahwa segalanya hanyalah permainan.

45
Tentang Jalan yang Sendiri

Buddha menegaskan:
“No one saves us but ourselves.”

Hidup adalah jalan yang sunyi.
Kita bisa ditemani,
namun langkah terakhir
selalu harus kita tempuh sendiri.

46
Tentang Kebisuan Alam

Alam tidak berbicara,
tetapi ia selalu mengajar.

Gunung mengajarkan keteguhan,
laut mengajarkan kedalaman,
hujan mengajarkan kesabaran.

Manusia bijak adalah
yang bisa membaca bahasa alam
tanpa kata.

47
Tentang Kesementaraan

Omar Khayyam bernyanyi:
“Be happy for this moment.
This moment is your life.”

Hidup bukanlah masa lalu,
bukan pula masa depan.
Ia hanya detik ini,
napas ini,
tatapan ini.

Dan jika aku mengabaikannya,
aku kehilangan segalanya.

48
Tentang Rindu pada Keabadian

Manusia selalu rindu abadi,
meski tahu dirinya fana.

Augustinus menulis:
“Our heart is restless, until it rests in You.”

Rindu itu adalah tanda
bahwa dalam dada manusia
tersimpan cahaya abadi.

49
Tentang Kebijaksanaan sebagai Perjalanan

Kebijaksanaan bukan tujuan,
tetapi jalan.

Setiap pertanyaan adalah batu,
setiap jawaban adalah jejak,
dan perjalanan tak pernah selesai.

Filsafat adalah cinta pada hikmah,
dan cinta itu
tak pernah mengenal akhir.

50
Tentang Manusia sebagai Puisi Semesta

Akhirnya, manusia adalah puisi.
Setiap napas adalah bait,
setiap luka adalah metafora,
setiap cinta adalah sajak,
setiap kematian adalah tanda baca terakhir.

Namun semesta tidak berhenti menulis,
sebab manusia hanyalah satu kata
dari kalimat yang tak pernah usai.

Dan aku pun tahu:
hidupku adalah puisi kecil,
tetapi puisi ini
adalah bagian dari kitab besar
yang disebut: Kehidupan.
——
Sumatera Barat, Indonesia, 2023.