Antologi Puisi Cinta Romantis
Oleh: Rizal Tanjung

Rindu di Padang Sunyi

aku duduk di tepi bumi,
berjaketkan rindu yang tak kau kirim,
menghadap bulan yang tak pernah letih
menjadi saksi janji-janji
yang kita kubur bersama senyap.

bulan itu,
tergantung sempurna di langit pekat,
seperti cinta yang tak sempat turun
karena kabarmu hanya berembun
di bibir langit —
dan tak pernah jatuh ke hatiku.

kau tahu,
rumput yang kutatap ini
hijau seperti harapan,
tapi harapan pun kini menunduk,
menghindari mataku
yang selalu kalah dalam pertanyaan:
apa kabarmu, wahai yang tak pernah menjawab?

aku menunggumu
di padang rumput yang tak kita janjikan,
menghitung detik
seperti mengulum pil pahit
bernama: kesetiaan
yang terlalu panjang untuk dikunyah,
terlalu hambar untuk dilupakan.

sementara kau —
entah masih manusia, atau sudah jadi angin —
terlalu sibuk
menghindar dari bulan yang ingin mempertemukan kita
dalam terang yang menyakitkan.

malam ini,
aku tidak lagi mencari wajahmu.
aku hanya ingin tahu,
kenapa rindu
selalu lebih setia dari cinta.

II
Surat dari Angin Malam

angin membawa kabar yang tak tertulis,
selembar rinduku tersangkut di dahan cemara,
dan bulan — seperti ibu tua — memintal sunyi
menjadi selimut untuk kesepianku.

aku menulis namamu di udara,
tapi udara pun menolak menampung rahasia,
ia bilang, cinta sepertimu
hanya bisa diucap dengan diam.

di antara desir rerumputan,
aku mendengar langkahmu datang dari masa lalu,
lembut,
rapuh,
seperti doa yang tak berani menyebut nama Tuhan.

aku memejam,
dan menemukan wajahmu di sela denyut jantung,
seolah setiap detak adalah langkahmu
menuju aku yang tak pernah pergi,
tapi selalu hilang.

III
Di Bawah Hujan yang Tak Jadi Turun

hujan menggantung di mataku,
menunggu aba-aba dari langit
yang ragu menumpahkan perasaannya.

aku dan kau pernah berjanji
menjadi dua payung di satu hujan,
tapi kini
payungku berkarat oleh penantian,
sedang hujanmu entah jatuh ke tanah siapa.

rindu itu menguap,
menjadi kabut yang mengurung jendela,
dan aku melihat wajahmu
di setiap embun yang menolak pergi dari kaca.

ah, cinta—
apakah kau tahu rasanya menjadi langit
yang tak bisa menangis
meski dadanya penuh mendung?

IV
Laut yang Tak Jadi Pulang

aku berjalan menuju pantai,
di mana ombak menulis surat
yang tak pernah sampai ke pulaumu.

setiap buih yang pecah
adalah kalimat yang tak selesai,
setiap arus yang surut
adalah napas yang kutahan
saat menyebut namamu.

aku ingin jadi laut,
yang setiap pasangnya
selalu mencari bulan—
walau tahu
bulan takkan pernah benar-benar turun.

V
Bayangan di Cermin Senja

di antara dua wajah yang memudar,
aku melihat kita—
dua kekasih yang tak sempat jadi satu doa.

kau di ujung jingga,
aku di tepi malam,
dan senja menjadi cermin
tempat waktu bercermin pada kesalahan cinta.

aku masih mencoba menyisir rambutmu
yang tumbuh di ingatan,
menyentuh pipimu
yang kini mungkin disentuh angin kota lain.

betapa ganjil,
mencintaimu seperti menatap kaca retak:
selalu ada aku,
selalu ada kau,
tapi tak pernah utuh.

VI
Diantara Debu dan Doa

ada debu yang menempel di hatiku,
sisa langkahmu yang tak sempat kulap.
aku bawa ia ke masjid sunyi
di mana doa-doa menjadi gema
yang menolak reda.

aku sebut namamu pelan,
antara sujud dan tangis,
karena aku tahu,
kadang cinta juga bagian dari ibadah
yang tak disahkan langit.

VII — Kenangan yang Membeku di Embun

pagi datang
membawa kabar dari masa lalu,
sebutir embun menatapku seperti mata
yang pernah mencintaiku tanpa alasan.

aku berjalan pelan,
melewati jalan yang dulu kita lalui—
setiap batu, setiap daun,
menyimpan sisa tawa
yang kini jadi salju di dada.

aku ingin hangatmu,
tapi yang datang hanyalah embun,
dan ia pun
cepat mencair di pelupuk waktu.

VIII
Lembah yang Tak Bernama

di lembah ini,
angin melukis wajahmu di udara.
aku ingin memeluknya,
tapi tangan ini hanya menemukan
rindu yang terlanjur tumbuh menjadi kabut.

aku menyebut lembah ini “kau”,
karena setiap kali kupanggil,
hanya gema yang menjawab.

IX
Rindu yang Dibelah Waktu

kau pernah jadi pagi,
tapi kini hanya fajar yang tersisa.
aku pernah jadi senja,
tapi kini hanya bayangan yang tertinggal di batu.

rindu kita,
seperti dua jam yang berdetak
di sisi berbeda dunia:
sama, tapi tak pernah bertemu.

X — Surat yang Tak Sempat Terkirim

aku menulis sepucuk surat pada langit,
menyisipkan sehelai rambutmu
yang jatuh saat perpisahan dulu.

surat itu kubakar pelan,
biar abunya mencari jalan sendiri
menuju hatimu yang entah di mana.

aku hanya ingin kau tahu,
bahwa api yang membakar kertas itu
lebih dingin dari rinduku padamu.

XI
Di Balik Waktu yang Mengintip dari Jendela

malam datang seperti kucing liar,
mengendus sisa wangi di bantal,
dan aku tahu —
kau baru saja berlalu dari mimpi yang tak sempat kupegang.

jendela terbuka,
angin membawa potongan waktu
yang mengintip wajahku diam-diam.
ada bayangan di sana,
mengenakan gaun putih dari kenangan,
menyisir rambut dengan jemari cahaya bulan.

aku tak tahu apakah itu kau
atau hanya rindu yang menyamar menjadi tubuhmu,
tapi langkahnya begitu lembut,
seolah bumi takut bergetar saat ia lewat.

di dadaku, jam berdetak tak teratur,
setiap detiknya seperti memanggil namamu
dengan logat yang lupa caranya berharap.

aku menatap langit,
dan di antara bintang-bintang
ada yang berkedip seperti matamu,
mungkin itu pertanda:
kau masih mengintipku
dari balik waktu yang belum selesai menulis takdir.

XII
Perempuan yang Dilukis oleh Sunyi

ada perempuan duduk di kursi waktu,
dilukis oleh sunyi yang pandai menyembunyikan luka.
ia menatap jauh ke arah masa lalu,
dan di matanya, aku melihat diriku sendiri
— tersenyum, tapi patah di dalam.

setiap hela napasnya menumbuhkan bunga
yang mekar di udara,
namun gugur sebelum sempat menyapa tanah.

aku ingin mendekat,
tapi setiap langkahku menjelma jarak,
setiap panggilanku menjelma kabut.

aku bertanya pada angin:
siapa dia?
dan angin menjawab:
dia adalah kau,
yang terus menunggu dirimu sendiri
dalam tubuh orang lain.

aku tersenyum getir,
karena benar —
kadang cinta membuat kita lupa
bahwa yang kita rindukan
adalah bayangan kita sendiri yang hilang di matanya.

XIII
Di Tepi Hening yang Membisikkan Namamu

aku duduk di tepi hening,
tempat segala suara berhenti bernapas.
hanya detak jantungku
yang masih berusaha memanggil namamu
seperti doa yang tak kunjung di-amin-kan.

kau tahu,
hening punya lidah yang tajam,
ia bisa menorehkan kenangan
lebih dalam dari pisau kehilangan.

aku mendengar langkahmu di sela angin,
tapi langkah itu tak pernah tiba,
hanya membulat di udara,
menjadi gema yang menertawakan rinduku sendiri.

aku menatap langit,
dan malam itu
menyebut namamu pelan-pelan
melalui kerlip bintang yang gemetar.

betapa aneh —
aku merasa kau begitu dekat,
padahal jarak ini lebih luas
dari doa yang tak pernah terkirim.

XIV
Malam yang Tak Bisa Tidur

malam ini menolak tidur.
ia duduk bersandar di dadaku,
menyeka peluh kenangan
yang menetes dari dinding waktu.

bulan memalingkan wajah,
tak sanggup melihat aku menulis namamu
di udara yang berdebu.
sementara bintang-bintang,
menyembunyikan diri di balik awan
karena malu menjadi saksi cinta yang kalah.

aku membayangkan kau di ranjang jauh,
mungkin juga menatap langit
dan bertanya pada diri sendiri:
mengapa kita saling mencintai,
tapi tak bisa saling menemukan?

malam hanya diam,
seperti ibu tua yang sudah hafal nasib anaknya.
ia tahu, aku takkan berhenti,
sekalipun cinta ini
tak pernah tidur seumur hidupnya.

XV
Rindu yang Tumbuh dari Batu

di sebuah bukit sepi,
ada batu yang menumbuhkan rindu.
akar-akar waktu menembus diamnya,
dan di sela retaknya,
terdengar suara: namamu.

aku sering datang ke sana,
membawa air mata sebagai persembahan,
membasuh batu itu
agar rinduku tetap hidup,
tetap keras,
tetap membatu dalam kesetiaan yang aneh.

kadang aku berpikir,
barangkali cinta memang lahir dari batu,
dari sesuatu yang tak bisa berubah,
yang memilih diam
meski langit terus berputar di atasnya.

aku ingin memeluk batu itu,
tapi pelukanku hanya kembali jadi angin.
dan aku tahu —
batu itu bukan batu,
tapi hatiku sendiri
yang menolak mati meski ditinggal cinta.

XVI
Di Antara Dua Keheningan

ada dua keheningan yang tak pernah berjumpa:
yang satu di dadaku,
yang lain di dadamu.

mereka berdua saling memanggil dari ujung dunia,
namun tak pernah bertemu,
karena waktu membentangkan dirinya
seperti sungai panjang tanpa jembatan.

aku sering berdiri di tepi arus itu,
menatap bayanganmu mengalir di permukaannya.
kau begitu dekat —
namun setiap kali kucoba menyentuh,
air berubah menjadi kaca,
dan aku hanya melihat diriku sendiri
tenggelam di pantulanmu.

mungkin begitulah cinta:
dua keheningan yang saling mencari gema,
tapi tak pernah tahu,
mereka sedang saling menunggu.

malam itu aku berdoa,
agar salah satu dari kita
berani melompat ke arus yang sunyi,
meski harus kehilangan nama
demi menemukan hati.

XVII
Hujan yang Lupa Jalan Pulang

hujan turun, tapi tak tahu ke mana harus jatuh.
awan menangis,
tapi bumi telah menutup wajahnya dengan abu.

aku berdiri di antara keduanya,
menjadi penafsir air mata langit,
menerka apakah ini kesedihan
atau cinta yang terlambat tiba.

setiap tetes yang menyentuh tanah
berbunyi seperti namamu,
berulang-ulang,
sampai bumi pun ikut bergetar.

aku ingin menadah hujan itu,
menyimpannya di botol kenangan,
agar suatu hari
aku bisa memperlihatkannya padamu:
“lihat, ini rindu yang tak pernah sampai,
tapi tak juga berhenti jatuh.”

namun aku tahu,
hujan tak pernah punya rumah.
ia hanya singgah di hati manusia
yang belum sempat kering dari cinta.

XVIII
Waktu yang Duduk di Ujung Tempat Tidurku

malam tadi, waktu duduk di tepi ranjangku,
membawa jam yang jarumnya berdetak seperti doa.

ia menatapku lama, lalu berkata,
“mengapa kau belum juga melupakan wajah itu?”

aku menjawab,
“karena wajah itu adalah rumahku,
dan setiap kali aku beranjak,
aku selalu tersesat di dalamnya.”

waktu tersenyum pahit,
menyentuh rambutku dengan lembut,
“kau tahu, anakku,
bahkan abadi pun butuh istirahat.”

aku menatap matanya —
dua pusaran cahaya yang menyimpan masa lalu.
“kalau begitu, biarkan aku tetap begini,”
kataku, “menunggu dalam diam,
karena diam pun punya cara mencintai.”

dan waktu pergi tanpa suara,
meninggalkan denting jam yang patah di dadaku.

XIX
Di Dalam Diri yang Kau Tinggalkan

ada sebuah kamar di dalam diriku
yang tak pernah kusapu semenjak kau pergi.
di sana, debu menulis namamu
di setiap dinding kenangan.

aku duduk di lantai
dan mendengar langkahmu yang sudah lama tak ada.
tapi anehnya, lantai itu masih bergetar,
seolah setiap partikel ruang
menolak menerima kepergianmu.

kadang aku berbicara pada bayangan di cermin:
“kau masih di sana?”
dan cermin itu retak pelan,
menjawab dengan diam yang menyakitkan.

aku mencoba membuka jendela,
tapi udara enggan masuk.
ia tahu, di dalam sini
ada cinta yang membusuk oleh waktu,
namun tak juga mati karena harapan.

aku memeluk diriku sendiri,
dan rasanya seperti memelukmu
yang telah berpindah jadi ingatan.

XX
Kubur dari Cahaya

malam ini aku menggali kubur,
bukan untuk jasad,
melainkan untuk kenangan yang tak mau mati.

tanahnya kutaburi puisi,
kulemparkan doa yang lupa arah,
dan di atas nisan yang tak bernama
kutulis dengan jemari cahaya:
“di sini bersemayam rindu yang tak sempat berlabuh.”

bulan menunduk,
mungkin karena kasihan,
mungkin karena tahu —
cinta ini tak butuh tubuh untuk hidup.

aku duduk lama di depan kubur itu,
dan tiba-tiba angin datang,
membawa wangi rambutmu dari entah di mana.

aku tahu,
kau sudah jadi cahaya,
dan kubur ini tak lain hanyalah mataku sendiri
yang belum sanggup menutup diri darinya

XXI
Di Gerbang Mimpi yang Terlambat

malam memanggilku dengan suara yang jauh,
seperti laut yang rindu pada pantainya sendiri.
aku melangkah ke dalam mimpi
yang tak sempat kusambangi semalam,
dan di sana —
kau sudah menunggu,
duduk di kursi cahaya,
membaca buku yang tak pernah kau tulis.

“mengapa kau datang terlambat?” katamu,
matamu berembun seperti daun pagi.

aku menjawab dengan napas yang goyah,
“karena aku takut mimpi ini terlalu nyata,
dan aku tak ingin terbangun di dunia yang kehilanganmu.”

kau tersenyum.
senyum yang sama,
yang dulu membuat waktu berhenti berlari.

di bawah langit mimpi itu,
kita bicara tanpa suara,
karena bahasa hanya akan merusak makna.
kau menyentuh wajahku —
dan aku tahu,
bahwa mimpi bukanlah bayangan,
melainkan tempat Tuhan menyembunyikan cinta yang belum selesai.

XXII
Surat yang Dikirim Lewat Doa

aku menulis surat pada Tuhan,
bukan untuk memohon,
tapi untuk menyampaikan rinduku padamu
yang kini mungkin sudah menjadi bintang.

di setiap hurufnya,
ku titipkan embun dari kelopak mataku,
dan di setiap tanda titik,
ada jeda panjang tempat hatiku berlutut.

aku tak tahu alamat surga,
tak tahu juga siapa malaikat pos yang bertugas malam ini,
tapi aku percaya,
setiap doa punya cara sendiri
menemukan yang dituju.

kadang,
aku merasa surat itu kembali kepadaku dalam bentuk angin —
menyapu wajahku lembut,
seakan menjawab,
“aku juga merindukanmu.”

aku tersenyum,
karena hanya cinta
yang bisa membuat doa terasa seperti surat balasan.

XXIII
Bayangmu di Tengah Cahaya

pagi datang tanpa suara,
membawa sepotong cahaya
yang jatuh di dadaku seperti kenangan.

aku melihat bayanganmu di sana —
bukan dalam bentuk tubuh,
melainkan siluet lembut dari keabadian.

kau berjalan di antara sinar,
seolah seluruh langit adalah gaunmu,
dan aku —
hanya titik gelap di kaki cahaya yang memujamu.

aku memanggil pelan,
“jangan pergi dulu, biarkan aku menatapmu
meski hanya sampai matahari lupa namanya.”

tapi cahaya itu terus bergerak,
melewati jariku,
meninggalkan wangi samar yang membuat pagi terasa fana.

aku sadar,
kau tidak pernah hilang —
kau hanya berpindah tempat
dari dunia ke hatiku.

XXIV
Di Kamar Waktu yang Tak Berdinding

malam itu aku masuk ke kamar waktu,
tanpa pintu, tanpa dinding, tanpa arah.
di dalamnya,
semua detik berjalan pelan seperti doa yang takut putus.

kau berdiri di tengahnya,
dalam bentuk cahaya yang belum selesai.

aku mendekat,
dan waktu tiba-tiba berhenti —
seakan malu mengganggu dua jiwa
yang sedang saling mengenali dari jarak abadi.

kau berkata,
“kita tak lagi milik bumi,
tapi cinta selalu mencari bentuknya sendiri.”

aku tersenyum,
menyentuh udara tempat tubuhmu seharusnya ada,
dan tiba-tiba —
rindu menjadi benda paling nyata di ruangan itu.

ketika aku keluar,
seluruh dunia terasa baru,
karena ternyata waktu pun bisa berlutut pada cinta.

XXV
Ketika Rindu Menjadi Langit

aku pernah bertanya pada malam:
“apakah kau pernah jatuh cinta pada bumi?”

dan malam menjawab,
“ya, tapi aku tak pernah bisa menyentuhnya.”

sejak itu aku mengerti —
aku adalah malam,
dan kau adalah bumi yang ku tatap dari jauh.

namun kini,
rindu tumbuh terlalu tinggi,
menembus batas udara,
mendaki sampai menjadi langit itu sendiri.

aku tak lagi mencari dirimu,
karena setiap arah sudah jadi wajahmu,
setiap cahaya sudah jadi matamu,
setiap sunyi sudah jadi suaramu.

aku berjalan di padang luas yang tak bernama,
dan setiap langkahku bergaung
seperti gema dari masa lalu yang disembuhkan waktu.

cinta kita mungkin tak pernah pulang,
tapi lihatlah —
ia telah berubah menjadi langit,
tempat segala kehilangan menemukan rumahnya.

XXVI
Senja Terakhir di Matamu

aku kembali ke senja,
tempat pertama kali kita berhenti bicara tapi saling mengerti.

langit berwarna merah tua,
seperti luka yang mulai sembuh tapi masih berdenyut.
angin datang membawa aroma laut,
dan aku tahu — ini senja terakhir
yang akan mengenal namamu.

aku duduk di tepi waktu,
menggenggam cahaya yang tersisa di jemari hari.
kau berdiri jauh di sana,
antara bayangan dan cahaya,
antara ingin tinggal dan harus pergi.

aku tak lagi memanggilmu,
karena cinta sejati tak memanggil — ia menunggu dalam diam.
dan ketika matahari tenggelam seluruhnya,
aku sadar,
cahaya itu tak benar-benar hilang,
ia hanya berpindah ke dadaku.

XXVII
Di Antara Doa yang Tak Selesai

ada doa yang tak pernah selesai kusebut,
karena setiap kali sampai di namamu,
lidahku berubah jadi air.

aku duduk di antara dua waktu,
antara masa lalu yang masih menangis
dan masa depan yang belum berani lahir.

aku menyebut namamu tanpa suara,
biar malaikat yang menuliskannya di langit,
seperti puisi yang ditulis dengan tinta bintang.

dan ketika aku menutup mata,
aku merasa suaramu masih di sana,
menyelinap di sela napasku,
menjadi detak yang paling rahasia.

barangkali,
itulah arti cinta yang sesungguhnya:
doa yang tak selesai,
tapi tak juga hilang dari hati.

XXVIII
Cinta yang Tak Ingin Pulang

aku pernah mencoba memanggil cintaku pulang,
tapi ia menatapku lembut dan berkata:
“aku sudah sampai, bahkan sebelum kau mulai mencari.”

aku terdiam,
karena benar —
cinta bukan sesuatu yang datang atau pergi,
ia adalah napas yang selalu ada
meski kita berhenti mencintai.

aku menatap laut yang diam,
dan di permukaannya kulihat wajahmu,
bukan dalam bentuk manusia,
tapi dalam pantulan yang memahami segalanya.

aku ingin menangis,
tapi air mata sudah menjadi cahaya.
aku ingin berdoa,
tapi doa sudah berubah menjadi kehadiranmu.

sejak malam itu,
aku tak lagi mencari rumah,
karena ternyata
aku sudah tinggal di dalam rindumu.

XXIX
Saat Segalanya Menjadi Satu

dunia memudar perlahan,
seperti tinta di kertas yang terlalu lama disimpan air mata.
aku berdiri di antara dua dimensi,
dan di sana — tak ada nama, tak ada rupa,
hanya gema yang menyebut “kau” tanpa suara.

aku melihat cinta dalam bentuk yang paling tenang,
tanpa wajah, tanpa janji, tanpa perpisahan.
segala sesuatu yang pernah menyakitiku
tiba-tiba terasa indah,
karena semuanya membawaku ke sini —
ke titik di mana aku dan kau
tak lagi dua arah yang berlawanan.

waktu berhenti bernapas,
langit menunduk,
dan bumi bergetar lembut,
seolah berkata:
“akhirnya, mereka telah kembali menjadi satu.”

XXX
Padang Sunyi

aku kembali ke padang itu,
tempat pertama kali aku menulis puisi ini.

rumput telah tumbuh menutupi bekas dudukku,
angin berdoa dengan bahasa yang tak ku mengerti,
dan langit — oh, langit itu —
masih menggantungkan bulan
seperti luka yang dijaga agar tetap indah.

aku menatap cakrawala,
dan entah mengapa,
aku merasa kau tersenyum di balik cahaya.

aku membuka buku rinduku yang terakhir,
menuliskan satu kalimat:

> “Cinta tak pernah pergi —
ia hanya berubah menjadi alam yang lebih luas dari pengertian.”

lalu aku menutupnya perlahan,
meletakkannya di tanah,
dan berbisik pada bumi:
“jaga ia, seperti aku menjaganya di dalam doa.”

setelah itu,
aku berjalan pergi tanpa langkah,
menyatu bersama angin,
menjadi sebait puisi yang abadi
di padang sunyi tempat segalanya bermula.


Sumatera Barat, Indonesia, 2025.