The Jongos: ISI Yogyakarta Sabtu, 10 Agustus 2024

Oleh: Amelia Fitriani
(CEO XYZ+ Agency, Anggota Satupena, Anggota Creator Club)

SEORANG hakim yang duduk di kursi kehormatan pun rupanya memiliki peran tidak ubahnya jongos, alias pelayan bagi oligarki di negeri ini.

Kesan tersebut yang saya tangkap dari pementasan teater mikro berjudul “The Jongos” yang digelar di Auditorium Innstitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada Sabtu malam (10 Agustus 2024).

Saya sebetulnya sangat awam dengan dunia teater. Pun tidak terbiasa menonton pementasan teater. Namun saya tidak pikir dua kali untuk membeli tiket dari Jakarta ke Yogyakarta demi menyaksikan pementasan teater “The Jongos”.

Anggota Creator Club, Nazrina Zuryani, Nita Lusaid dan Amelia Fitriani saat hendak menyaksikan teater bertajuk The Jongos di ISI, Yogyakarta, Sabtu 10 Agustus 2024

Bukan tanpa alasan, karena jauh sebelum teater itu dipentaskan, saya sudah mendengar cerita behind the scene yang seru dari sang sutradara, Isti Nugroho, mengenai “The Jongos”. Saya dan Mas Isti, begitu saya biasa menyapanya, memiliki lingkaran pertemanan yang sama yang disebut dengan Creator Club.

Singkat cerita, Sabtu sore itu saya datang ke ISI bersama beberapa teman dari Creator Club untuk mendukung Mas Isti dengan karya terbarunya.

Pementasan dibuka dengan dua tokoh laki-laki paruh baya yang merupakan jongos bagi seorang tokoh yang disebut Tuan Hakim. Kesan yang saya tangkap, para jongos itu dulunya merupakan mantan aktivis yang kemudian kehilangan “taring” di hari tuanya dan kemudian memilih menjadi jongos bagi Tuan Hakim.

Kedua jongos itu pun kemudian bercakap-cakap dengan selingan guyon dan candaan satir mengenai keresehanan sosial yang terjadi saat ini, seperti isu tambang dan ormas, mobil Esemka, serta bansos.

Para jongos itu pun tampak sangat “menjilat” dan pada Tuan Hakim yang padahal kerap mempermainkan hukum demi memperkaya diri sendiri. Hal ini disimbolkan dengan kuat di atas pentas dengan pemberian kotak hadiah berisi uang mata uang asing serta kunci mobil.

Namun di sisi lain, pada adegan berbeda, rupanya Tuan Hakim mengalami dilema tersendiri, terutama karena ia berada pada situasi sulit. Posisinya membuatnya ditekan dari atas dan bawah. Dari atas ia ditekan oleh kekuatan penguasa dan dari bawah ia ditekan oleh masyarakat yang menuntut keadilan.

Pentas mencapai puncaknya ketika Tuan Hakim kemudian mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya di ujung pistol setelah mengalami gejolak batin yang besar.

Sebelum bunuh diri, Tuan Hakim diselimuti rasa bersalah setelah menyadari bahwa dirinya hanyalah jongos, atau pelayan, bagi kekuasaan oligarki.

“Di luar oligarki, semua hanya menjadi korban,” kata Tuan Hakim dengan nada pahit.

Saya terkesan dengan pementasan “The Jongos” karena berhasil mengemas dengan apik keresahan sosial di negeri ini dengan sentuhan komedi satir.

Setting panggungnya sebenarnya sederhana dengan pusatnya berupa sebuah kursi yang diberi pita merah. Terkesan sebagai kursi kehormatan yang diduduki oleh Tuan Hakim.

Alur cerita yang dipentaskannya pun sangat sederhana. Namun adegan dan percakapannya sangat kaya dan berbobot. Tidak jarang diwarnai guyon dan diselipkan bahasa Jawa.

Menyaksikan The Jongos, membawa saya sejenak merenungi situasi negeri ini. Paling tidak, saya ikut tersenyum satir saat isu-isu yang tengah jadi keresahan negeri disindir di pentas “The Jongos”. Standing applause untuk Mas Isti dan teman-teman Dapoer Seni Jogja yang sukses mementaskan “The Jongos”.