Pembangunan di kawasan Timur Indonesia telah lama menjadi perhatian, mengingat potensi besar yang dimiliki namun diiringi tantangan geografis, sosial, dan ekonomi yang kompleks. Dengan luas lautan yang mencapai 74% dari total wilayah Indonesia, kawasan ini menyimpan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, mulai dari hasil perikanan yang berkualitas tinggi hingga potensi pariwisata yang menakjubkan. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Dr. Balthasar Watunglawar, S. Pd., MAP., SH., disparitas pembangunan antara kawasan Barat dan Timur masih menjadi tantangan besar dalam mewujudkan keadilan sosial yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. “Kebijakan pembangunan harus lebih responsif terhadap kebutuhan daerah kepulauan yang memiliki karakteristik unik,” ujarnya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kawasan Timur memiliki potensi yang besar, perhatian yang kurang dari pemerintah pusat sering kali membuatnya tertinggal.
Disparitas ini terlihat jelas dalam data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan angka kemiskinan. Provinsi seperti Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur mencatat tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia, yang merupakan cerminan dari ketidakmerataan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi. Menurut Dr. Watunglawar, yang pernah berkarya sebagai dosen di Poltek Saint Paul Sorong, kebijakan pembangunan seringkali terpusat pada kawasan Barat, sehingga potensi besar di kawasan Timur, seperti sektor maritim, pertanian, dan pariwisata, belum dikelola secara optimal. “Ketimpangan ini tidak hanya masalah ekonomi, tetapi juga persoalan moral dan keadilan sosial yang perlu segera ditangani,” tegasnya. Dalam konteks ini, penting untuk mengidentifikasi dan memahami faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan ini, serta merumuskan strategi yang efektif untuk mengatasinya.
Pembangunan infrastruktur menjadi prioritas utama untuk mengatasi ketimpangan tersebut. Infrastruktur yang memadai, seperti jalan, pelabuhan, dan bandara, sangat penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dr. Watunglawar menyoroti pentingnya penguatan transportasi laut untuk mendukung konektivitas antarpulau. Program Tol Laut, meskipun sudah berjalan, masih membutuhkan optimalisasi agar benar-benar mampu menurunkan biaya logistik dan meningkatkan aksesibilitas. Misalnya, dengan meningkatkan frekuensi dan kapasitas kapal yang melayani rute-rute terpencil, diharapkan barang dan jasa dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat di pulau-pulau kecil. Selain itu, pembangunan infrastruktur dasar seperti listrik, jaringan telekomunikasi, dan fasilitas kesehatan di kawasan terpencil harus menjadi fokus agar masyarakat lokal merasakan manfaat pembangunan secara langsung. Tanpa infrastruktur yang memadai, potensi yang ada di kawasan Timur tidak akan dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Di sisi lain, pengembangan ekonomi kerakyatan berbasis potensi lokal menjadi solusi untuk memberdayakan masyarakat di kawasan Timur. Menurut Dr. Watunglawar, sektor-sektor seperti perikanan, industri kreatif, dan pengolahan hasil laut harus menjadi perhatian utama dalam kebijakan pembangunan. “Ekonomi kerakyatan dapat menjadi alat untuk menciptakan kemandirian ekonomi masyarakat lokal, sekaligus mengurangi ketergantungan pada pusat,” ungkapnya. Contoh konkret dari ekonomi kerakyatan ini adalah pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang memanfaatkan sumber daya lokal, seperti kerajinan tangan dari bahan baku alam atau produk makanan tradisional. Upaya ini juga perlu didukung dengan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di kawasan Timur. Pelatihan ini dapat mencakup keterampilan teknis, manajemen usaha, hingga pemasaran produk, sehingga masyarakat dapat lebih siap bersaing di pasar yang lebih luas.
Kebijakan redistribusi aset, seperti program sertifikasi tanah, menjadi langkah penting dalam menciptakan keadilan ekonomi. Dr. Watunglawar yang sampai sekarang masih sebagai pembimbing mahasiswa program Pascasarjana Program Administrasi Publik UT Sorong menekankan bahwa akses masyarakat terhadap lahan produktif dapat meningkatkan partisipasi mereka dalam kegiatan ekonomi. Dengan memiliki hak atas tanah, masyarakat tidak hanya dapat bertani untuk kebutuhan sendiri, tetapi juga berpotensi menjual hasil pertanian mereka ke pasar. Namun, kebijakan ini harus disertai dengan dukungan teknis dan pendampingan agar masyarakat mampu mengelola aset mereka secara produktif. “Redistribusi tanpa pemberdayaan hanya akan menghasilkan ketimpangan baru,” tambahnya. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memberikan pelatihan dan akses informasi yang diperlukan agar masyarakat dapat memanfaatkan lahan mereka secara optimal.
Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah juga menjadi kunci dalam implementasi kebijakan pembangunan berbasis ketimuran. Otonomi daerah harus dimanfaatkan untuk memformulasikan solusi yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan lokal. “Pemerintah daerah harus diberdayakan untuk menjadi motor penggerak pembangunan di wilayahnya, bukan hanya sebagai pelaksana kebijakan pusat,” kata Dr. Watunglawar. Sinergi ini mencakup koordinasi dalam pendanaan, regulasi, dan evaluasi program, sehingga setiap kebijakan yang diambil benar-benar relevan dengan konteks lokal dan dapat diimplementasikan dengan efektif. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sangat penting, karena mereka adalah pihak yang paling memahami kebutuhan dan tantangan yang dihadapi.
Selain itu, pembangunan berbasis ketimuran harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Eksploitasi sumber daya alam harus dilakukan secara bijak agar tidak merusak ekosistem yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat lokal. Dr. Watunglawar juga menekankan pentingnya pendekatan partisipatif dalam pembangunan. “Keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan akan menciptakan rasa kepemilikan yang lebih besar,” tuturnya. Pendekatan ini tidak hanya akan meningkatkan efektivitas program, tetapi juga akan membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan dan sumber daya alam yang ada.
Dengan pendekatan yang lebih inklusif, responsif, dan berkelanjutan, pembangunan kawasan Timur Indonesia dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan nasional yang adil dan merata. Dr. Watunglawar menutup pandangannya dengan optimisme: “Transformasi kebijakan berbasis ketimuran bukan hanya sebuah keharusan strategis, tetapi juga panggilan moral bagi kita semua untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan.” Melalui kolaborasi yang kuat antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, diharapkan kawasan Timur dapat berkembang secara berkelanjutan dan memberikan manfaat yang luas bagi seluruh bangsa.