Oleh: Paulus Laiyan, S.Pt
–
Eksistensi para jurnalis dewasa ini, perlu mendapatkan pencerahan terkat tugas dan fungsinya. Dalam perspektif Undang Undang nomor 40 THN 1999 tentang PERS mengatur tentang kebebasan pers, hak dan kewajiban pers, serta perlindungan hukum bagi wartawan.
Diatur dalam UU No. 40/1999, terkait asas moralitas yang wajib hukumnya ditaati oleh setiap orang yang menyatakan dirinya seorang wartawan atau jurnalis yaitu “Seorang wartawan tidak boleh menerima suap, wartawan tidak boleh menyalahgunakan kode etik profesi, tidak boleh merendahkan orang miskin dan tidak boleh menulis berita berdasarkan diskriminasi SARA dan gender.”
Fenomena Pemilukada dan Dugaan Penyelewengan Etika Profesi Kewartawanan
Selaku jurnalis senior yang mengantongi identias dari Dewan Pers sebagai “Wartawan Utama” mensinyalir sejumlah wartawan pada momen “Pemilukasa 2024” telah melakukan “Penyimpangan” terhadap etika profesi jurnalisnya.
Sinyalemen itu mulai terlihat jelas dalam redaksi pemberitaan terkait calon bupati/ wakil bupati, walikota/ wakil wali kota bahkan gubernur/ wakil gubernur pada pemeberitaan tendesius “Pro” terhadap kandidat tertentu dalam “contra” pemberitaan terhadap kandidat pasangan tertentu.
Oknum – oknum yang menamakan diri wartawan membaur dengan masyarakat awam dalam mendukung calon-calon tertentu. Terang-terang memuat isi berita berita propaganda dengan cara mendiskreditkan pasangan calon lain, hanya utk menaikan elektabilitas calonnya.
Fenomena ini akan semakin membuat profesi jurnalis/ wartawan bekerja tidak profesional lagi dikarenakan hanya mementingkan kolega calonnya, yang justru berbanding terbalik atau bertentangan dengan rohnya undang-undang PERS.
Alasan Peliputan Berita Sebagai Dalil
Para jurnalis pada momen pilkada, dimanfaatkan para kandidat calon bupati/ wakil bupati, wali kota/ wakil wali kota/ gubernur/ wakil gubernur bahkan tim sukes sebagai corong pemberitaan semua katifitas mulaisejak pendaftaran di KPU, pencabutan nomor urut bahkan di masa kampanye menuju puncak pemilukada 27 November 2024.
Bukan hanya masyarakat awam yang kurang paham tentang aturan formal yang berlaku yang melakukan pelanggaran terhadap UU Pilkada. Justeru para jurnalis sendiri yang paham bahkan mengetahui dampak atau sanksinya, melakukan pelanggaran terhadap kode etik jurnalistiknya.
Disinyalir para wartawan mendapat “upeti” demi pemberitaan yang selalu positif menaikkan “elektabilitas” pasangan kandidat calon kepala daerah dan menutup diri terhadap pemberitaan yang berimbang terhadap kandidat pasangan calon kepala daerah yang tidak memberikannya.
Memang harus diakui, momen pilkada di hampir seantero negeri, peredaran uang ke tangan masyarakat tidak bisa dibendung dengan berbagai cara, entah melalui pembagian sembako, bahan material dengan kesepakatan yang bervariasi, juga ikut bermain di air keruh oleh oknum- oknum wartawan dengan dalil ikut memantau dan atau meliput moment kampanye- kampanye terselubung.
Dampak Pemberitaan Oleh Jurnalis/ Wartawan
Apabila praktik seperti yang terjadi saat ini, maka semua pihak termasuk wartawan ikut melahirkan pemimpin yang tidak memiliki jiwa leadership dan lambat laun daerah-daerah tersebut sarat dengan kolusi,korupsi dan nepotesme yang justru akan berpengaruh ke masyarakat dengan istilah yang miskin tetap miskin yang kaya tetap kaya.
Kepemimpinan dari hasil pilihan rakyat, dikarenakan pemberitaan atau publikasi hasil liputan para jurnalis yang tidak objektif, manipulatif demi kandidat yang sejatinya tidak memiliki kapabilitas kepemimpinan menjadi pimpinan daerah. Manipulasi pemberitaan itulah menjadi rujukkan pilihan tak terelakkan rakyat.
Wartawan “Kenabian”
Wartawan sering diidentikkan dengan “Seorang Pewarta.” Pewarta dalam term theology atau menurut pandangan Alkitab, seorang pewarta dikenal dengan sebutan “Nabi.”
Sepanjang zaman, nabi akan selalu dirindukan dan dibutuhkan tetapi sekaligus juga ditolak dan dibenci. Inilah ironi seorang nabi. Di tengah keputusasaan dan penderitaan, nabi dibutuhkan untuk memberikan semangat hidup dan penghiburan untuk bertahan. Di tengah ketidakadilan, nabi dirindukan untuk menyuarakan dan menegakkan keadilan sehingga tercipta harmoni dan kedamaian. Namun, sebagian orang tidak akan senang dengan kehadiran seorang nabi. Sebab, nabi yang menyuarakan suara Tuhan pasti akan menggoyang status quo mereka yang hidup nyaman dengan adanya penderitaan dan ketidakadilan sesamanya. Seorang nabi akan mengusik dan mengancam kenyamanan mereka.
Korelasi Wartawan “Kenabian?”
Wartawan yang adalah seorang “Pewarta” atau dalam Bahasa biblis disebut “Nabi” dalam term UU Pers yaitu UU 40 Tahun 1999, telah memuat apa yang disebut: Ketaatan Terhadap Kode Etik Jurnalisme.
Konsekuensi ketaatan terhadap kode etik jurnalisme adalah tidak jarang tugas mulia seorang jurnalis bagaikan seorang nabi yang diutus di tengah-tengah umat Allah. Seorang jurnalis selalu dirindukan dan dibutuhkan tetapi juga tidak jarang seorang jurnalis ditolak dan dibenci.
Jurnalis yang adalah pewarta diutus ke tengah-tengah Masyarakat yang putus asa, menderita tetapi ia hadir sebagai penyemangat hidup. Diutus di tengah-tengah ketidakadilan, di sana ia dibutuhkan untuk menegakkan keadilan dan menciptakan harmoni hidup. Namun seorang jurnalis bisa ditolak karena menggoyahkan status quo mereka yang nyaman di atas pendiritaan rakyat, dalam ketidakadilan yang dihadapi dan dialami rakyat. Mengapa? Karena kehadirannya (wartawan) mengusik dan mengancam kenyamanan mereka.
Penutup
Wartawan adalah seorang nabi. Wartawan adalah seorang pewarta kebenaran di tengah-tengah kondisi masyarakat yang tidak menentu hidupnya, akibat sebuah situasi yang dialami dan wajib diwartakan, diberitakan untuk diketahui publik.
Pilkada tidak membuat kita hidupa dalam sebuah penyimpangan terhadap “Etika Profesi” kewartawanan kita. Rambu-rambu UU No 40 Tahun 1999 telah termaktub sanksi yuridis terhadap penyimpangan etika profesi jurnalis. Karena memang seorang jurnalis adalah seorang “Pewarta” alias “Nabi” yang wajib mengabarkan kebenaran di tengah bangsa Indonesia, menyukseskan Pesta Pemilukada pada tanggal 27 November 2024 nanti.