Alex Runggeary: Anggota Penulis Satupena

Oleh Alex Runggeary*)

Beberapa waktu lalu bp Wapres Ma’ruf Amin meluncurkan Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua – RIPPP 2022 – 2041 dan Sistem Informasi Percepatan Pembangunan Papua – SIPP di Sorong didampingi Ketua Bappenas bp Suharso Manoarfa. Kita semua gembira karena setelah membangun selama lebih 20 tahun sebelumnya dalam kegelapan, pada akhirnya ada sedikit cahaya petunjuk bagaimana arah membangun yang seharusnya.

Bagi kebanyakan orang ini adalah lompatan yang luar biasa. Tetapi tidak bagi mereka yang terbiasa bekerja dalam lingkup ini. Ada beberapa kelemahan mendasar yang patut diwaspadai.

Pertama model RIPPP yang memiliki titik kewaspadaan yang perlu diperhatikan. Model ini dibangun dengan mengandalkan – data sekunder -. Artinya angka landasannya
maupun angka hasil akhirnya diambil atau dihitung dengan angka relatif atau presentase (%). Tidak ada yang salah dengan model ini tetapi titik kelemahannya adalah: pertama, bukan berdasarkan hasil lapangan (data primer). Kedua, hasil akhir dengan menggunakan presentase bisa mengecoh karena hasil tersebut bisa jadi bukan semata-mata dari hasil kegiatan program kita tetapi sumbangsih dari program lain yang memiliki tujuan yang sama. Apalagi dengan gabungan data dalam SIPP. Ingat program dan anggaran sektor kesehatan dan pendidikan dan mungkin saja pembiayaan ekonomi rakyat juga direncanakan dan dibiayai dari program dan sumber dana lain di luar Program dan Dana Otsus. Ketiga, kita tidak akan pernah tahu hasil pembangunan tersebut untuk menjawab: siapa, di mana, kapan, berapa dan seterusnya. Artinya kita tidak mengukur dengan pasti hasil capaian kita sendiri.

Lain pula SIPP yang saya belum baca bagaimana aplikasinya. Belum pula tahu bagaimana riil pelaksanaannya. Yang saya pahami untuk sementara ini adalah satu sistem untuk mengintegrasikan data capaian hasil kerja dari program lain kedalamnya. Mempermudah membaca hasil capaian bersama. Contoh seperti berapa besar dana yang telah diluncurkan untuk pembangunan infrastruktur di Papua.

Pertanyaannya, lalu bagaimana sistem informasi internal program pembangunan dengan dana Otsus itu? Hanya ada tiga sektor, kesehatan pendidikan dan ekonomi rakyat. Bagaimana menyatukan perencanaan tiga sektor ini yang sudah dibagi-bagi ke enam Propinsi? Ini memiliki kesulitan tersendiri ketika setiap Kepala Daerah merasa paling berhak atas dana yang diluncurkan kepada propinsinya atau kabupaten/kota. Menyingronkan dengan tujuan di atasnya yaitu RIPPP pasti sungguh sulit. Di sinilah letak peran penting RIPPP yang harus dibaca terbalik – dari atas ke bawah – dan dibawah menyesuaikan dengan RIPPP di atasnya. Ini dengan dasar logika – Tindakan – Hasil – secara berjenjang ke atas.

Upaya Bappenas untuk mengatasi jalan buntu selama lebih 20 tahun ini, walaupun menyisahkan PR besar bagi Wapres sebagai ketua BP3OKP untuk menyinkron rincian rencana pembangunan berbagai daerah dengan pemikiran kepala daerah yang berbeda- beda. Dulu kita kenal – ego sektoral – sekarang – ego pejabat -. Tidak mustahil akan terjadi pergeseran tajam. Tugas BP3OKP untuk meyakinkan para pejabat daerah agar rencana kegiatan mereka selaras dengan hasil yang ingin dicapai di atasnya.

Dengan demikian platform perencanaan di bawahnya harus dibuat seragam. Pada tataran inilah akan menggambarkan secara jelas sekaligus menjawab pertanyaan: siapa, di mana, kapan dan berapa banyak. Atau yang disebut dengan INDIKATOR CAPAIAN**). Dalam metode ZOPP lebih tegas diartikan sebagai, Objectively Verifiable Indicators. Indikator yang bisa diuji kebenaran dari beberapa sumber. Inilah INTI dari Pembangunan itu karena menyentuh langsung masyarakat. Untuk Otsus lebih mudah lagi karena hanya ada tiga sektor yang menjadi sasaran: kesehatan, pendidikan dan ekonomi rakyat.

Sayangnya – Ekonomi Rakyat Papua – belum ada konsep yang memadai untuk aplikasinya. Saya melihat masih banyak mengikuti dan ingin menduplikasi pemikiran pusat yang badan usaha milik desa itu. Sayangnya kondisi – pasar – produk daerah di Papua tidak sama dengan daerah lain disebabkan konsumen (penduduk) yang sedikit.

Untuk itu perlu dicarikan pola lain yang lebih cocok dengan kondisi Papua. Saya merekomendasikan kriteria pembangunan berikut sebagai pedoman dalam menentukan – Pembangunan Ekonomi Rakyat Papua: (1) Berdasarkan Baseline Survey, (2) Menyentuh rakyat setempat dalam jumlah besar, (3) Berdasarkan Potensi Daerah***), (4) Berorientasi PRODUK, (5) Berorientasi PASAR, (6) Integrasi wilayah produksi, untuk mencapai volume produksi minimal untuk recovery cost alias menekan biaya, (7) Revolving Funds untuk jenis proyek tertentu, seperti contoh yang dari JDF, Proyek Peternakan Sapi. Modalnya terus berputar di tengah masyarakat tanpa perlu bergantung pada dana segar baru, (8) Teknologinya mudah dapat diadopsi masyarakat sasaran dengan mudah, (9) Pendampingan di lapangan

————
Jakarta, 12 Juni 2024
*) Alumnus ZOPP , Berlin Jerman 1992
– Instruktur pada DIKLAT Regional Planning, LAN RI dan DSE Jerman 1992 – 98
– Karyawan JDF 1975 – 97
**) Ref. Logical Framework Matrix of ZOPP
*) Proyek KAKAO JDF yang tersebar hampir di seluruh Papua