Ilustrasi "Api dan Kuman": Kumpulan Puisi Leni Marlina (PPIPM-Indonesia, Poetry-Pen IC, Satu Pena, Kreator Era AI, FSM)

/1/

Api dan Kuman

Puisi: Leni Marlina

<1>

Di bawah bayang-bayang bumi yang membisu,
bersembunyi kuman-kuman itu,
perjalanan mereka tanpa jejak,
memamah setiap denyut hidup yang terlupakan—
seperti kutu di atas kulit malam,
menyusup, menggigit, tanpa suara.

Apa yang tak terlihat,
adalah tanda-tanda luka yang membusuk,
seperti jamur di batu karang—
diam tapi menggerogoti,
mengikis tulang dan darah dari dalam,
merayap dalam keheningan yang memuakkan.
Kuman itu hidup di tempat yang dipenuhi kebohongan,
dalam bayangan yang tak pernah terungkap.

<2>

“Ke mana hilang darah bumi ini?”
Kuman itu bertanya pada tanah yang retak,
pada jalan yang telah lama terlupakan,
pada lautan yang kelam,
di mana ombaknya membawa kecemasan,
dan kapal-kapal mengarah ke tempat yang jauh,
menyeret kebenaran ke dasar yang tak terjamah.

Mereka berkata, “Kita hidup di dalam racun ini,
terjebak dalam api yang padam tanpa nyala.”
Lalu, tanah itu menelan kata-kata mereka,
memuntahkan kuman yang lapar dan haus,
sedangkan cahaya hilang dalam bayang yang pekat—
segala yang terbungkus dalam kegelapan.

Apakah kita akan terus hidup di antara kuman-kuman itu,
yang menggali lebih dalam,
mencari bagian dari kita yang hilang?
Ataukah kita menjadi api,
yang menyebar dalam gelapnya malam,
menyulut kebohongan, membakar segala dusta?
Api yang melawan, api yang berani
menyentuh langit yang sudah retak.
Kuman itu akan meledak, melepaskan racunnya,
tapi api itu akan membakar hingga habis.

<3>

Kemana perginya tangan yang mencuri tanah kita?
Kemana perginya jiwa yang tertukar dengan emas?
Kuman itu mencuri lebih dari apa yang terlihat,
mereka mencuri dari mata yang terlena.
Kini kita dihadapkan pada pilihan:
terus terkurung dalam jaring mereka,
atau menjadi api yang menyalakan kegelapan?
Karena dalam bayang-bayang ini,
hanya api yang bisa menyalakan mata yang buta.

Jika kita tetap diam, kita akan menjadi kuman—
terlupakan, tersembunyi, tergali lebih dalam.
Tapi jika kita membakar—
kita akan menyinari setiap sudut bumi yang gelap,
menghancurkan racun yang tersembunyi dalam darah kita,
dan menulis sejarah baru, merangkul kembali mereka yang telah dilupakan, mengembalikan mereka yang tersisih karena berani menyuarakan kebenaran.

Padang, Sumbar, 2023

/2/

Kegelapan dan Cahaya

Puisi: Leni Marlina

Langit merekah seperti luka terbuka,
mengalirkan malam yang berbau karat,
di mana bintang-bintang adalah serpihan kaca,
menusuk kulit malam yang renta.
Bayang-bayang merayap di dinding sunyi,
memunculka wajah-wajah yang telah hilang.

Di bawah tanah, akar-akar berbisik,
memuntahkan kisah dari mulut mati,
menghisap air mata yang membatu
di tulang-tulang bumi yang hancur.
Tapi di balik retakan itu,
ada percikan api yang tak terlihat,
seperti bisikan yang membakar angin,
menghidupkan detak terakhir yang tersisa.

Apakah kita hanya menjadi abu
di labirin tanpa pintu,
atau kita menjadi nyala yang melawan badai?
Dalam kegelapan ini, cahaya adalah pedang,
mengiris setiap kebohongan hingga bersih,
menyisakan bara yang membangun dunia baru—
di mana keadilan tak lagi menjadi bayangan.

Padang, Sumbar, 2023

/3/

Darah yang Terkunci

Puisi: Leni Marlina

Darah mengalir seperti ular,
mengitari labirin tubuh yang membusuk,
menggigit daging harapan
dan menyuntikkan racun kebisuan.
Tulang-tulang berdiri seperti menara hitam,
tempat mereka menggantung sejarah
dalam lembaran-lembaran yang dikubur.

Tanah bergema dengan suara gemeretak,
pecah di bawah langkah-langkah kosong.
Jejak mereka membawa lubang baru,
menganga seperti mulut yang tak pernah kenyang.
Tapi di dalam darah itu,
ada bara yang menunggu meledak,
seperti gunung yang menahan napas,
menunggu retak untuk memuntahkan lava.

Jika kita terus berjalan dalam lingkaran,
kita akan menjadi bayang tanpa tubuh.
Namun, jika kita menggenggam bara itu,
kita akan menulis dunia
dengan tinta merah yang membebaskan—
menyuarakan kebenaran,
membakar kebohongan dan tipu daya, sampai abunya larut dan lenyap bersama darah kotor yang mestinya sudah dibuang sedari lama.

Padang, Sumbar, 2023

/4/

Wajah yang Terlupakan

Puisi: Leni Marlina

Wajah kita terhapus dalam cermin waktu,
terkubur di antara reruntuhan sejarah,
di mana debu menggantikan napas
dan arang menjadi mahkota.
Mereka menggali kita dari dalam,
seperti tikus-tikus yang mencakar jantung bumi,
mengubah jiwa menjadi tulang yang dingin.

Tapi bayangan wajah itu tak hilang,
terpantul di genangan racun
yang mengalir dari luka-luka kota.
Tangan-tangan yang tak terlihat
menggoreskan namanya pada kulit kita,
meninggalkan bekas yang tak terhapus.

Wajah yang terlupakan adalah api,
menyala di bawah abu ingatan.
Ia menunggu, menggeliat,
seperti ular yang melingkar di rahim malam,
siap menyembur dan menghancurkan tirai kebohongan.
Kita adalah wajah itu,
dan waktu adalah milik kita untuk membakar.

Padang, Sumbar, 2023

 

/5/

Syair Langit yang Menangis

Puisi: Leni Marlina

Langit menjahit luka dengan kawat berduri,
air matanya jatuh seperti peluru,
menghujam tanah yang berlubang-lubang,
tempat doa menjadi serpihan kaca
dan harapan terkubur di dasar lumpur.
Setiap tetes adalah racun,
mengalir di akar-akar pohon yang mati,
menyebarkan kebusukan ke setiap sudut.

Tanah membalas dengan gemetar,
memuntahkan batu-batu hitam
yang menari di bawah hujan darah.
Apa yang tersisa dari dunia ini,
selain bayang-bayang yang melahap cahaya,
meninggalkan malam tanpa ujung?

Namun, langit yang menangis
adalah panggilan untuk bangkit,
untuk membakar setiap akar kebusukan
dengan nyala yang menyala hingga ke tulang.
Kita bukan hanya saksi,
kita adalah penjaga api,
yang menyentuh langit dengan tangan yang berdarah
dan menulis ulang nasib bumi
dengan setiap nyala yang kita ciptakan.

Padang, Sumbar, 2023

—————————
Kumpulan puisi ini awalnya ditulis oleh Leni Marlina tahun 2023. Puisi tersebut direvisi kembali dan dipublikasikan untuk pertama kali oleh penulisnya melalui media digital tahun 2025.

Leni juga merupakan anggota aktif Asosiasi Penulis Indonesia, SATU PENA cabang Sumatera Barat sejak berdiri tahun 2022. Selain itu, ia juga merupakan anggota aktif Komunitas Penyair dan Penulis Sastra Internasional ACC di Shanghai, serta dipercaya sebagai Duta Puisi Indonesia untuk ACC Shanghai Huifeng International Literary Association. Leni pernah terlibat dalam Victoria’s Writer Association di Australia. Sejak tahun 2006, ia telah mengabdikan diri sebagai dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang.

Leni juga mendirikan dan memimpin komunitas digital/ kegiatan lainnya yang berfokus pada bahasa, sastra, literasi, dan sosial, di antaranya:

1. World Children’s Literature Community (WCLC): https://shorturl.at/acFv1
2. Poetry-Pen International Community
3. PPIPM (Pondok Puisi Inspirasi Masyarakat), the Poetry Community of Indonesian Society’s Inspirations: https://shorturl.at/2eTSB; https://shorturl.at/tHjRI
4. Starcom Indonesia Community (Starmoonsun Edupreneur Community Indonesia):
https://rb.gy/5c1b02
5. Linguistic Talk Community
6. Literature Talk Community
7. Translation Practice Community
8. English Languange Learning, Literacy, Literary Community (EL4C)