Oleh: Gunawan Trihantoro

Dianingrum tersenyum di bawah matahari pagi yang hangat. Udara segar khas pedesaan menyambutnya, membawa aroma embun dan tanah basah yang masih segar. Hari itu, ia memutuskan untuk berkeliling Desa Doplang, desa yang telah menjadi rumahnya sejak kecil. Namun, ada yang berbeda dalam perjalanannya kali ini. Dian merasa seolah-olah desa tercintanya ini sedang bersiap untuk menjadi sesuatu yang lebih besar, sebuah desa wisata yang ramai dikunjungi orang.

Langkah pertama Dian menuju Alun-Alun Doplang, tempat yang selalu ramai setiap pagi. Warga berkumpul di sana untuk berbelanja atau sekadar berbincang. Ia ingat, dulu alun-alun ini hanyalah lapangan sederhana. Namun kini, alun-alun tersebut telah menjadi sentra ekonomi yang melayani banyak wilayah di sekitar Desa Doplang, termasuk Randublatung dan Kunduran. Dian menyaksikan bagaimana pengembangan alun-alun ini mampu menggerakkan roda ekonomi desa, dan ia merasa bangga menjadi bagian dari perubahan ini.

Seorang nenek yang sedang menjual jamu mendekati Dian. “Ayo, Nak, cicipi jamu ini. Sehat untuk badan dan bisa membuatmu segar sepanjang hari,” ujar nenek itu ramah. Dian tertawa kecil, mengambil secangkir jamu yang diberikan. Setelah berbincang sejenak, ia melanjutkan langkahnya menuju Sendang Wungu.

Sendang Wungu menyimpan kenangan yang penuh makna bagi Dian. Di tempat itulah ia sering menemani neneknya berdoa dan merenung. Meskipun sekarang Sendang Wungu hanya berupa sumur bor tanpa aliran air, tempat itu masih memiliki kekuatan spiritual bagi masyarakat. Dian berdiri sejenak di tepi sendang, mengenang masa-masa kecilnya. Ia bisa merasakan betapa pentingnya nilai-nilai tradisi dan spiritual yang tetap dijaga oleh warga Desa Doplang.

Kemudian, ia melanjutkan perjalanan ke Sendang Salak, yang kini sedang dalam proses pengembangan menjadi kolam renang alami. Airnya jernih dan mengalir sepanjang tahun. Dian tersenyum, membayangkan tempat ini dipenuhi anak-anak yang bermain air dan para wisatawan yang datang untuk merasakan kesegaran alam. Ia tahu, tempat ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang mencari pengalaman wisata yang menyatu dengan alam.

Setelah berkeliling sendang, langkah Dian mengarah ke panggung seni di tengah desa, tempat berbagai kesenian tradisional dipentaskan. Hari itu, sekelompok pemuda sedang berlatih karawitan. Suara gamelan mengalun lembut, membawa suasana damai yang meresap hingga ke hati. Di satu sisi, beberapa warga lanjut usia berkumpul untuk memainkan keroncong, alunan musik yang membawa nostalgia masa lalu. Tak jauh dari situ, sekelompok anak muda juga berlatih tari barongan dengan penuh semangat.

“Apa kabar, Dian?” sapa Pak Karman, salah satu seniman karawitan di desa itu.

“Baik, Pak. Wah, Desa Doplang semakin hidup dengan berbagai kesenian ini. Saya bangga bisa melihatnya berkembang,” jawab Dian sambil tersenyum.

Pak Karman mengangguk. “Kami semua di sini ingin Desa Doplang tetap hidup dengan seni dan budaya yang diwariskan leluhur. Kesenian ini adalah identitas kita, dan kami berharap semakin banyak orang yang tertarik untuk datang dan melihatnya.”

Hari semakin siang ketika Dian sampai di kedai yang menjual minuman khas desa, Wicangsyu. Minuman ini telah menjadi ikon kuliner Desa Doplang, dan kabarnya telah mendapatkan hak paten. Dian memesan segelas Wicangsyu, merasakan kesegaran rasanya yang unik. Ia tersenyum puas, membayangkan minuman ini menjadi oleh-oleh yang dibawa pulang oleh para wisatawan.

Di kedai itu, Dian berbincang dengan pemiliknya, seorang pemuda bernama Andi. “Wicangsyu ini tidak hanya minuman biasa, Mbak,” ujar Andi bangga. “Kami membuatnya dari bahan-bahan lokal dan itu menjadi ciri khas desa ini. Saya berharap suatu saat nanti, orang-orang dari seluruh penjuru negeri akan datang ke Doplang hanya untuk mencicipi Wicangsyu.”

Setelah selesai menikmati minumannya, Dian menuju Balai Desa. Di sana, ia melihat para aparatur desa mengenakan seragam resmi yang khas. Seragam itu tidak hanya menjadi identitas, tetapi juga simbol kebanggaan bagi mereka yang telah mendedikasikan diri untuk melayani masyarakat. Dian merasa terharu melihat betapa kompak dan profesionalnya mereka dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Tak jauh dari balai desa, ia bertemu dengan anggota Forum Penyelesaian Permasalahan Desa (FPPD), sebuah forum yang berisi para tokoh masyarakat. Forum ini menjadi tempat musyawarah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di desa. Mereka adalah orang-orang yang telah purna tugas namun tetap peduli pada kondisi desa. Dian merasa bahwa keberadaan mereka memberikan rasa aman dan damai bagi seluruh masyarakat.

Hari semakin sore ketika Dian melangkah pulang. Ia merasa terinspirasi oleh potensi Desa Doplang untuk menjadi desa wisata yang berbasiskan kearifan lokal. Ia tahu, dengan kekayaan alam, budaya, dan produk lokal yang dimiliki, desa ini memiliki peluang besar untuk berkembang. Dalam hati, ia berharap bahwa suatu saat nanti, orang-orang dari berbagai penjuru akan datang ke Desa Doplang untuk merasakan kedamaian, keindahan alam, dan kearifan lokal yang ditawarkan.

Matahari mulai terbenam, mengiringi langkah Dian yang kembali ke rumah. Cahaya senja memancarkan kehangatan, seolah memberi restu bagi Desa Doplang untuk terus maju dan berkembang, menjadi desa wisata yang dicintai banyak orang. Di bawah langit jingga, Dian tersenyum, yakin bahwa masa depan cerah sedang menanti desa tercintanya.

Keterangan:
Cerpen ini dibuat berdasarkan potensi yang ada di Desa Doplang, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora. Desa ini saat ini dikenal sebagai Desa Kreator Cerdas AI, yang memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan untuk mengembangkan kreativitas dan potensi lokal.