Oleh: Rizal Tanjung
—
Di lembah kaca dan menara besi,
angin membawa kabar bahwa negeri itu telah menjadi maju,
lampu-lampu berdiri tegak seperti tentara cahaya
menyala di jalan-jalan yang dulu penuh lumpur doa.
Namun, bila kau dengar baik-baik—
di bawah setiap tiang listrik,
masih ada ibu yang menanak air mata untuk sarapan pagi,
dan bapak yang berangkat kerja ke ilusi jam tujuh.
Mereka bilang:
“Lihatlah, kita telah menembus langit!
Kita punya kota cerdas, jembatan tanpa nama,
dan patung yang berpidato kepada angin.”
Tapi burung-burung di langit tertawa getir:
“Untuk apa menembus langit,
jika bumi sendiri belum kau pahami?”
—
Negeri itu seperti panggung sirkus abad modern,
setiap menteri adalah badut yang pandai bersyair,
setiap janji adalah balon helium—
terbang tinggi, tapi mudah meletus bila disentuh kenyataan.
Dan rakyat, oh rakyat—
mereka menjadi penonton yang membeli tiket harapan
dengan harga lapar.
Ada istana cermin, tempat para penguasa berlatih berbicara,
dalam setiap kata mereka—bayangan sendiri menjawab.
“Rakyat bahagia,” kata bayangan.
“Ekonomi tumbuh,” kata gema.
“Korupsi turun,” kata mikrofon yang tersenyum palsu
karena telah dijanjikan pensiun emas.
—
Di perempatan sejarah,
jam tua berdetak dengan nada sinis:
Hampir seabad merdeka,
namun kemerdekaan itu hanya berganti pakaian—
dari kolonialisme besi menjadi kolonialisme kertas,
dari penjajahan fisik menjadi penjajahan wacana.
Kini, rakyat bukan dijajah oleh bangsa asing,
melainkan oleh angka, data, dan statistik bahagia
yang disiarkan tiap minggu sore
di layar kaca penuh tepuk tangan buatan.
—
Kau tahu, negeri itu telah pandai membuat taman futuristik,
tapi lupa menanam pohon di hati manusianya.
Jalan-jalan mulus menuju pusat kota,
namun menuju nurani—masih terjal dan licin.
Birokrat menjadi arsitek ilusi,
menggambar masa depan dengan tinta janji,
sementara rakyat menulis nasibnya
di pasir yang terus dihapus ombak pajak.
—
Mereka berkata:
“Kita adalah negara maju!”
Dan benar—mereka maju…
Maju dalam berhutang,
maju dalam mencetak slogan,
maju dalam menggelar konferensi tentang kemiskinan
yang diselenggarakan di hotel bintang tujuh.
Para pejabat tersenyum sambil memotret diri di depan spanduk:
“Transformasi, Inovasi, dan Kolaborasi!”
Tapi di belakang panggung,
anak-anak masih berebut nasi dengan lalat.
—
Setiap lima tahun sekali,
negeri itu berpesta dengan bendera warna-warni janji.
Suara rakyat diukur dengan decibel mikrofon,
dan ditukar dengan paket sembako elektronik.
Setelah itu—
yang terpilih menjadi raja sementara,
yang kalah menjadi pengamat penderitaan.
Dan rakyat?
Menjadi angka di tabel partisipasi demokrasi,
disebut sebagai “kemenangan bersama”
yang tak pernah mengenyangkan.
—
Di pantai waktu,
ombak membawa potret masa lalu yang belum dikubur:
revolusi yang berubah jadi festival,
pahlawan yang jadi logo perusahaan,
kemerdekaan yang dijual dalam bentuk saham.
Di setiap kantor pemerintahan,
terdengar azan yang dikumandangkan oleh printer:
“Kerjakan laporanmu dengan khusyuk,
sebab bonus turun bersama audit!”
—
Negeri itu kini seperti robot dengan jantung karat,
berjalan di atas roda data,
tersenyum dengan bibir statistik.
Setiap keputusan diambil oleh algoritma,
setiap kebijakan lahir dari iklan.
Mereka menukar hati dengan aplikasi,
dan mengganti nurani dengan perangkat lunak.
Namun di pojok pasar,
seorang nenek masih menjual doa di dalam kantong plastik
dengan harga seribu rupiah.
—
Kau mungkin akan bertanya:
“Apakah masih ada harapan?”
Ada—di antara celah karat,
di sela batu bata istana birokrasi,
di hati bocah yang menulis cita-cita di buku sobek,
di tangan tukang becak yang menolak mati meski sejarah lupa padanya.
Mereka adalah sisa-sisa republik sejati,
yang tak butuh pengakuan dari media,
karena mereka masih percaya bahwa merdeka
bukan berarti maju di kertas,
melainkan berdiri di dalam jiwa sendiri.
—
Dan angin pun menulis epilog di langit muram itu:
“Negeri ini tak butuh menara baru,
tapi cermin yang jujur.
Tak butuh pujian dari dunia,
tapi air mata yang berani memandikan dusta.”
Lalu matahari,
yang sejak tadi menonton dari balik awan,
berbisik perlahan:
“Mereka menyebut ini kemajuan,
padahal yang bergerak hanyalah bayangan.”
—
Apakah ini akhir?
Tidak.
Karena setiap kali rakyat tertidur,
penguasa menulis bab baru di buku utang.
Dan setiap kali rakyat bangun,
mereka harus belajar lagi cara berharap
pada pemerintahan yang sudah lupa
bagaimana caranya menjadi manusia.
—
“Maka berdirilah negeri ini di antara dua waktu:
masa lalu yang dibanggakan,
dan masa depan yang terus dijanjikan.”
—
Sumatera Barat, Indonesia, 2025.






