Khoirotun Nisak: Mahasiswa STF Driyarkara Jakarta

Oleh: Khoirotun Nisak1

Isu perubahan iklim semakin memprihatinkan seiring dengan meningkatnya suhu global dan dampaknya yang meluas. Fenomena ekstrem seperti kebakaran hutan, banjir, dan kekeringan semakin sering terjadi, mengancam ekosistem dan kehidupan manusia. Emisi gas rumah kaca dari aktivitas industri dan transportasi terus memicu pemanasan global, menyebabkan naiknya permukaan laut dan kerusakan habitat. Krisis ini menuntut kesadaran dan tindakan mendesak dari semua pihak- termasuk pemerintah, perusahaan, dan individu untuk mengurangi jejak karbon dan berlaih ke sumber daya yang berkelanjutan.

Tanpa upaya serius menangani krisis iklim, maka planet kita dan generasi mendatang akan berada dalam ancaman serius. Ancaman tersebut seperti kesinambungan hidup serta terganggunya kesejahteraan masyarakat dalam hal terganggunya keseimbangan ekosistem, masalah sosial- ekonomi, dan lingkungan global. Revolusi industri secara masif membentuk inovasi teknologi menjadi pemicu utama meningkatnya emisi karbon dioksida (CO2), Metana (CH4), dan Nitrous Oksida (N2O), juga meningkatnya suhu panas dipermukaan bumi yang semakin meningkat.

Kondisi krisis iklim demikian yang mendasari Greta Thunberg, seorang aktivis muda dalam soal lingkungan asal Swedia secara lantang melakukan aksi protes dan kampanye atas isu krisis iklim. Tindakan berani Greta telah menjadi simbol keberanian dan kekuatan bagi generasi muda di dunia dalam perjuangan melawan perubahan iklim.

Keresahan Greta terhadap perubahan iklim dibarengi dengan sikap pesimisnya di awal tentang apakah bisa perubahan iklim dilakukan oleh manusia yang menjadi penyebab utama terjadinya krisis iklim, sementara kebanyakan masyarakat tidak perduli.

Para elit bagi Greta hanya menikmati kondisi atau terjadi sebuah “status quo” sehingga tidak ada upaya atau perubahan yang dilakukan untuk menghadapi kriris iklim yang semakin parah.

Aksi protesnya pertama kali dilakukan di Gedung Parlemen Swedia pada 2018, dibarengi dengan ide school strike di US sebagai tuntutan terhadap tindakan serius pemerintah terhadap krisis iklim. Aksi tersebut kemudian dikenal sebagai “Fridays for Future”, yang tidak hanya mencuri perhatian media tetapi juga menginspirasi jutaan pelajar di seluruh dunia untuk bergabung dalam protes yang sama. Gerakan ini kini telah berkembang menjadi fenomena global, dengan anak-anak muda dari berbagai negara melakukan aksi serupa setiap hari Jumat untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap perlindungan lingkungan.

Aksinya juga dibarengi dengan inisiatif Greta dalam mengunggah aksi protesnya di media sosial, dengan harapan apa yang dia lakukan dapat diikuti dan dilihat oleh banyak pihak. Melalui unggahan media sosialnya Greta berhasil menggugah generasi muda untuk ikut melakukan aksi yang sama, hingga kemudian membuat aksi mereka semakin masif, baik secara nasional dan bahkan internasional. Aksi kampanye Fridays for Future melalui media sosial tersebut mendapat predikat postingan terbaik dari 200 negara dan chanel sosial media seperti, Twitter 7 Youtube; kemudian di Instagram & Facebook dengan lebih dari 20 juta pengikut.

Viralnya aksi Greta ini semakin mengundang publik luas untuk terbuka dalam isu Climate Change. Pidato Greta di Sidang Umum PBB pada September 2019 adalah salah satu momen penting dalam perjalanan aktivismenya. Dalam pidato yang penuh emosi tersebut, Greta mengecam para pemimpin dunia atas ketidakmampuan mereka untuk mengambil tindakan yang memadai terhadap krisis iklim, menekankan betapa mendalamnya dampak perubahan iklim terhadap masa depan generasi mendatang. “How dare you?” adalah ungkapan yang terkenal dari pidatonya, yang menggambarkan kemarahannya terhadap ketidakpedulian terhadap masalah yang sangat penting. Pidato ini mendapat sambutan luas dan meningkatkan kesadaran global tentang urgensi masalah ini, memberikan dorongan besar bagi banyak orang muda untuk lebih aktif terlibat dalam gerakan perubahan iklim.

Greta Thunburg Mewakili Suara Masa Depan Generasi Muda

Pendekatan emosional-personal yang Greta lakukan dalam membujuk keluarganya untuk terlibat aktif pada aksi perubahan iklim, dilakukan melalui kalimat yang sangat persuasif bahwa tindakan kesadaran terhadap isu krisis iklim ini sangat berpengaruh pada masa depan dirinya dan generasi penerus mendatang, telah berhasil membujuk keluarganya untuk terlibat dalam aksinya. Pendekatan yang sama Greta lakukan dengan mengajak seluruh masyarakat untuk perduli terhadap krisis iklim, yang mulai dilakukan dalam lingkup global.

Pada usia menginjak 16 tahun, Greta mengkampanyekan idenya melalui berbagai forum di banyak negara, seperti Perancis, Inggris, termasuk Amerika Serikat dan Kanada, untuk menyebarluaskan pesannya dan berdiskusi langsung dengan para pemimpin dunia tentang pentingnya tindakan terhadap perubahan iklim. Dalam pertemuan tersebut, Greta menekankan pentingnya tindakan segera dan konkrit, mendesak para pemimpin untuk mempercepat upaya mereka dalam mengatasi krisis lingkungan.

Greta juga menggunakan platform media sosial dan buku untuk mengedukasi dan menginspirasi lebih banyak orang. Buku “No One Is Too Small to Make a Difference” berisi Kumpulan pidatonya yang penuh inspirasi dan pesan-pesan Greta untuk mengajak setiap orang terlibat aktif dalam mengatasi krisis iklim saat ini. Melalui buku dan platform online, Greta terus mendorong pembaca dari berbagai kalangan untuk mengambil tindakan pribadi dan kolektif dalam menghadapi tantangan iklim, membuktikan bahwa setiap individu dapat berkontribusi dalam perubahan positif.

Insipirasi Eco-Influencer

Pengaruh Greta Thunberg terhadap generasi muda menjadi simbol keberanian dan komitmennya, ia telah menghidupkan semangat banyak orang untuk lebih peduli dan bertindak terhadap masalah perubahan iklim.

Greta Thunberg telah membuktikan bahwa lanskap aktivisme iklim dapat dilakukan melalui aksi nyata dan kekuatan media sosial dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk memulai perjuangan melawan perubahan iklim. Melalui aksi protesnya, Greta tidak hanya menyuarakan tuntutannya tetapi juga merancang strategi cerdas dengan memposting foto dan update aksinya di media sosial. Aksi kampanye demikian sangat efektif dan kontekstual di era kini untuk menjangkau audiens yang lebih luas dan mengundang perhatian global terhadap isu tersebut.

Keputusan Greta untuk memanfaatkan media sosial sebagai alat utama dalam aksinya sangat efektif. Di era digital saat ini, di mana generasi Z sangat aktif di berbagai platform, Greta berhasil memanfaatkan kekuatan media sosial untuk memperluas jangkauan pesan dan mengorganisir dukungan. Kekuatan dari platform seperti Twitter, Instagram, dan Facebook mempermudah Greta untuk menyebarluaskan pesannya secara cepat dan luas, menjangkau jutaan orang di seluruh dunia yang kemudian terinspirasi untuk bergabung dalam gerakan “Fridays for Future”. Dengan cara ini, Greta menunjukkan bahwa aksi protes tidak selalu harus dilakukan secara fisik di jalan, tetapi juga dapat dilakukan melalui kampanye digital yang menggerakkan orang untuk bertindak.

Seperti kemunculan Eco-Influencer, sebuah gerakan dari generasi muda untuk menyuarakan isu krisis iklim. Eco-influencer menggabungkan pengaruh digital dengan kesadaran lingkungan. Mereka memanfaatkan platform media sosial untuk menyebarluaskan pesan tentang pengurangan jejak karbon, masalah sampah, dan perlindungan lingkungan. Inisiatif Eco-influencer ini dapat menjangkau audiens yang besar di berbagai platform seperti Instagram, Tiktok, dan Youtube, dengan menggabungkan konten visual yang menarik dan informatif untuk mempromosikan gaya hidup ramah lingkunagn dan mendorong tindakan nyata. Tokoh seperti Leah Thomas dan Elizabeth Teo telah berhasil meningkatkan kesadaran tentang dampak perubahan iklim dan memberikan panduan praktis untuk mengurangi sampah dan konsumsi yang lebih bertanggung jawab melalui media sosial.

Kekuatan media sosial saat ini, salah satunya melalui gerakan eco-influencer dirasa jauh lebih efektif untuk menjangkau mendorong perilaku ekologis dikalangan pengikut (followers). Melalui aksi nyata ini, kampanye perubahan iklim akan dapat disuarakan secara masif dan efektif menjangkau generasi muda dan dari berbagai kalangan.

Tidak hanya informasi, tetapi juga tindakan kongkret, seperti pengurangan penggunaan plastic, konsumsi energi yang lebih efisien, dan keterlibatan dalam kampanye lingkungan. Melalui kolaborasi dengan mereka secara berkelanjutan dan kampanye digital, eco-influencer berperan penting dalam membentuk pola pikir dan kebiasaan konsumen, serta mempengaruhi kebijakan perusahaan dan pemerintah untuk lebih memprioritaskan keberlanjutan.

Perkembangan aktivisme digital melalui gerakan eco-influencer dalam hal isu krisis iklim di atas, meskipun tidak secara terang Greta menginisiasi gerakan tersebut, tetapi justru menjawab dari apa yang dibayangkannya bahwa perubahan iklim dapat dilakukan secara nyata. Hingga kini, Greta dan banyak generasi Muda baik di kancah Nasional maupun internasional telah memaksimalkan berbagai platform digital dalam aksi nyata untuk isu krisis iklim.

Kesimpulan

Pengaruh Greta Thunberg dan eco-influencer memainkan peran penting dalam gerakan perubahan iklim saat ini. Greta, dengan inisiatif aksinya seperti “Fridays for Future” dan penggunaan media sosial, telah membuktikan bahwa aktivisme lingkungan dapat dilakukan dengan menggabungkan aksi nyata dan strategi digital yang efektif. Dengan memanfaatkan platform online, Greta telah mampu menjangkau audiens global, menginspirasi generasi muda untuk berpartisipasi dalam protes iklim, dan meningkatkan kesadaran mengenai urgensi krisis iklim.

Sementara itu, eco-influencer juga berkontribusi secara signifikan dengan memanfaatkan kekuatan media sosial untuk menyebarkan pesan ekologis dan mempromosikan gaya hidup ramah lingkungan. Mereka mengedukasi dan menginspirasi pengikut mereka untuk mengadopsi praktik berkelanjutan, berkolaborasi dengan merek berkelanjutan, dan mendorong perubahan kebijakan. Kombinasi dari upaya Greta Thunberg dan eco-influencer menunjukkan bahwa media sosial, ketika digunakan secara strategis, dapat memperkuat pesan lingkungan dan mendorong tindakan kolektif yang esensial untuk mengatasi perubahan ikli

Khoirotun Nisak1 adalah Mahasiswa Magister Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (SFT Driyarkara)