Oleh Paulus Laratmase

Isu perubahan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) mulai mencuat belakangan ini, meskipun sebenarnya belum ada urgensi mendesak untuk mengubahnya. Banyak kalangan yang melihat bahwa upaya revisi tersebut lebih mengarah pada pengakomodasian kepentingan politik penguasa, yang ingin melibatkan TNI dalam urusan sipil. Sejumlah agenda yang melibatkan TNI dalam kehidupan sipil, seperti program cetak sawah, ketahanan pangan, Makan Bergizi Gratis (MBG), distribusi gas elpiji, serta pengelolaan ibadah haji, menjadi contoh konkret bagaimana peran TNI semakin meluas ke ranah yang sejatinya bukan tugas mereka.

Sejumlah lembaga sipil yang seharusnya dikelola oleh pihak non-militer, seperti Badan Narkotika Nasional, Kejaksaan, Mahkamah Agung, hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan, sudah semakin terasa terlibat dengan TNI. Ini jelas merupakan pengalihan peran yang mengaburkan batas antara urusan pertahanan dan urusan sipil. Pada akhirnya, keterlibatan TNI dalam bidang-bidang ini bisa mengguncang profesionalisme mereka sebagai lembaga pertahanan negara.

Jika perubahan UU TNI ini tetap dilanjutkan, bukan tidak mungkin TNI akan semakin terlibat dalam urusan pengamanan kota dan berhadapan langsung dengan rakyat, termasuk dalam situasi demonstrasi seperti yang terjadi pada era Orde Baru. Hal ini tentu saja memunculkan spekulasi dan kekhawatiran akan kembalinya situasi represif yang pernah terjadi di masa lalu, di mana ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) mengendalikan hampir seluruh aspek kehidupan sipil.

Salah satu kekhawatiran terbesar yang muncul adalah potensi kembalinya konsep Dwifungsi ABRI, yang pernah menjadi ciri khas pemerintahan Orde Baru. Saat itu, ABRI memiliki peran yang sangat dominan tidak hanya dalam bidang pertahanan, tetapi juga dalam politik dan kehidupan sosial masyarakat. Kini, dengan revisi UU TNI, kita bisa melihat kembalinya tren tersebut, meski dengan nuansa dan gaya yang berbeda.

Pada tahun 2019, saya pernah menulis mengenai kebangkitan neo-Orba ketika Prabowo Subianto menjadi calon presiden. Kepemimpinan Prabowo yang cenderung militeristik dalam menghadapi masalah-masalah sipil mengingatkan kita pada gaya kepemimpinan Soeharto. Prabowo sendiri dikenal besar di bawah bayang-bayang Orde Baru, dan karakteristik kepemimpinannya sangat dipengaruhi oleh pengalaman tersebut. Dengan Prabowo sekarang menjabat sebagai Presiden, ada kekhawatiran bahwa revisi UU TNI ini merupakan bagian dari ambisinya untuk memperkuat kembali peran aktif TNI dalam kehidupan politik dan sosial, layaknya era Orba.

Sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo tentu saja berperan besar dalam proses revisi ini. Ditambah lagi, beliau berasal dari keluarga Cendana yang sangat dekat dengan kekuasaan Orde Baru. Jadi, tidak mengherankan jika ada dugaan bahwa revisi UU TNI ini memiliki kaitan erat dengan agenda politik Prabowo untuk memperkuat posisi TNI dalam mendukung program-program pemerintahannya, serta mendongkrak pencalonannya kembali sebagai Presiden pada 2030 mendatang.

Skenario ini memang masih penuh dengan spekulasi, namun kita tidak bisa menutup mata terhadap potensi perubahan besar dalam struktur politik dan militer Indonesia. Kembalinya TNI ke ranah sipil, meskipun dengan alasan yang mungkin dianggap sah, bisa berisiko mengganggu stabilitas politik dan sosial negara. Peran TNI yang kembali meluas ke ranah sipil bisa membuka celah bagi masalah besar, terutama ketika TNI dihadapkan dengan rakyat dalam situasi-situasi yang sensitif. Ini tentu menjadi tantangan besar bagi negara dan masyarakat Indonesia ke depan.