Antologi Puisi Sufi
Oleh: Rizal Tanjung
—
I — Pintu yang Tak Bernama
Aku berdiri di depan sebuah pintu,
yang tak pernah tertulis dalam kitab waktu.
Angin bertanya padaku,
“Apakah kau tahu siapa yang mengetuk hatimu dari dalam?”
Aku hanya diam —
sebab di dalam diam,
aku melihat segala bentuk kembali menjadi cahaya.
—
II — Jalan yang Melengkung ke Dalam Diri
Jalan itu tidak menuju timur,
tidak pula barat.
Ia berkelok menuju dada,
tempat debu dan doa bertemu dalam denyut rahasia.
Aku berjalan di sana,
tanpa kaki, tanpa bayang,
hanya seutas kesadaran yang memeluk ketidaktahuan.
—
III — Bulan di Antara Dua Tidur
Bulan adalah cermin jiwa,
yang memantulkan luka-luka Tuhan dalam senyum paling lembut.
Ia berkata:
“Wahai hamba, segala terang berasal dari kehilangan.”
Aku menunduk,
karena tahu setiap terang
adalah sisa tangis cahaya yang pernah diusir dari langit.
—
IV — Wajah yang Tumbuh Pohon
Dari kepalaku tumbuh sebatang pohon,
daunnya zikir, rantingnya doa yang membeku di udara.
Setiap angin yang lewat adalah bisikan malaikat,
membaca kitab tak tertulis
di kulit kesunyian.
—
V — Mata yang Menatap ke Dalam Mata
Ada mata di langit,
dan ada langit di dalam mataku.
Keduanya saling menatap
hingga lupa siapa yang melihat siapa.
Begitulah cinta Tuhan —
ia memandang dirimu dengan matamu sendiri.
—
VI — Spiral Waktu
Segala yang berputar bukanlah waktu,
melainkan rindu yang mencari pusatnya.
Aku melihat sebuah spiral merah di tanah,
dan di dalam pusarannya
berdiri bayangan yang terus bertanya:
“Apakah engkau atau Aku yang bermimpi?”
—
VII — Tidur Para Arwah
Malam adalah rahim bagi yang terjaga,
dan tidur adalah bentuk lain dari sujud.
Aku terbaring di antara dua tiupan:
satu menghidupkan, satu memadamkan.
Tapi keduanya berasal dari Nafas yang sama.
—
VIII — Doa yang Lupa Lahir
Doa bukanlah ucapan,
melainkan aroma dari hati yang terbakar diam.
Ia naik tanpa suara,
menembus dinding langit
dan kembali turun menjadi hujan kesadaran.
—
IX — Pintu Kedua di Balik Pintu
Setiap kali aku membuka pintu,
ada pintu lain di baliknya.
Setiap kali aku menatap wajah Tuhan,
ada wajah lain yang memantul di air mataku sendiri.
Maka aku sadar —
Tuhan adalah perjalanan tanpa ujung ke dalam diri.
—
X — Gerimis di Padang Jiwa
Langit menggigil dalam zikirnya sendiri.
Gerimis turun sebagai huruf-huruf rahasia
yang jatuh di antara bumi dan kenangan.
Aku menangkap satu tetesnya —
dan melihat diriku di dalamnya,
sebagai air yang sedang bermimpi menjadi manusia.
—
XI — Perjamuan Sunyi
Dalam kesendirian,
Tuhan menghidangkan roti cahaya dan anggur nurani.
Kita semua duduk di meja tak terlihat,
menyantap sepi sebagai rasa yang paling hakiki.
—
XII — Bayangan yang Tak Mau Mati
Bayangan bukan musuh cahaya,
ia hanyalah ingatan yang belum sempat diterangi.
Setiap langkahku adalah negosiasi
antara nur dan noda,
antara zikir dan nafsu yang belum sembuh.
—
XIII — Laut yang Tak Basah
Aku berenang dalam laut kesadaran,
tapi tak pernah basah.
Sebab airnya bukan air,
melainkan pantulan nama-nama Tuhan
yang mengalir tanpa arah.
—
XIV — Pohon di Tengah Ketiadaan
Ada pohon tumbuh di padang hampa,
akar-akarnya menembus waktu,
daunnya menulis ayat tentang kelahiran cahaya.
Dan aku tahu —
itulah pohon pengetahuan yang hanya berbuah di hati yang pasrah.
—
XV — Ziarah ke Dalam Nafas
Aku berjalan menelusuri nafasku sendiri,
di sana kutemukan kota para jiwa,
pasar bisikan, dan menara doa.
Di puncaknya tertulis satu kalimat:
“Aku adalah engkau yang sedang mencari Aku.”
—
XVI — Langit yang Tertunduk
Langit pun pernah bersujud,
ketika mata seorang sufi menatapnya dengan kasih.
Sebab pandangan cinta lebih kuat dari hukum gravitasi semesta.
—
XVII — Cermin yang Tak Memantul
Ada cermin di hatiku,
tapi ia menolak memantulkan wajahku.
Katanya:
“Engkau bukan yang kau sangka.”
Dan aku pun pecah,
agar bisa melihat melalui serpihan.
—
XVIII — Rumah Tanpa Dinding
Tuhan membangun rumah di dalam diriku,
tapi Ia tak memberi dinding.
Sebab cinta tidak mengenal batas,
dan zikir adalah pintu yang selalu terbuka.
—
XIX — Tawa yang Tak Terdengar
Ada tawa malaikat,
begitu lembut hingga terdengar seperti keheningan.
Itulah saat ketika alam semesta
menyadari dirinya hanyalah permainan bayang-bayang.
—
XX — Hujan di Mata Tuhan
Hujan turun dari mata Tuhan,
membasahi kesadaran bumi.
Setiap tetesnya adalah kisah,
setiap kisah adalah jalan pulang.
—
XXI — Rindu Sebagai Makna
Rindu adalah bahasa Tuhan
yang hanya dimengerti oleh hati yang retak.
Sebab dari celah luka itulah
Ia menulis ayat paling lembut:
“Aku dekat.”
—
XXII — Waktu yang Sembahyang
Setiap detik bersujud,
setiap jam berdzikir.
Waktu bukan garis, tapi napas,
yang naik dan turun dalam tubuh keabadian.
—
XXIII — Saksi Tanpa Nama
Ada yang melihat, tapi tak terlihat.
Ada yang berbicara, tapi tak bersuara.
Itulah Aku yang di dalam Aku,
menyaksikan Aku yang berzikir tentang Aku.
—
XXIV — Pasir Kesadaran
Setiap butir pasir adalah satu jiwa
yang menunggu disentuh angin pengampunan.
Aku menulis namaku di atasnya,
dan segera lenyap —
sebab di hadapan Keabadian,
tiada yang layak disebut “aku.”
—
XXV — Gerbang Cahaya
Gerbang itu bukan di langit,
tapi di dada.
Siapa yang mengetuknya dengan keikhlasan,
akan dibuka oleh tangan yang tak tampak,
dan disambut oleh bayangan dirinya yang telah menjadi cahaya.
—
XXVI — Angin yang Mengajarkan Doa
Angin berkata:
“Jangan ajari aku arah,
aku lah arah itu sendiri.”
Dan aku belajar —
bahwa doa bukanlah permohonan,
melainkan arah kembali pada Diri Sejati.
—
XXVII — Kesunyian yang Bernyanyi
Kesunyian bukan ketiadaan suara,
tapi harmoni dari segala yang tak terucap.
Di sana aku mendengar nama Tuhan
sebagai melodi yang tiada awal dan tiada akhir.
—
XXVIII — Jiwa yang Pulang
Aku melihat diriku berjalan pulang,
tanpa tubuh, tanpa waktu.
Hanya seberkas nur
yang menembus malam,
seperti anak panah yang dilepaskan dari busur rahmat.
—
XXIX — Cahaya yang Tersenyum
Segala rahasia telah menjadi terang,
dan terang itu tersenyum padaku.
Katanya:
“Engkau bukan mencari Aku,
Engkau adalah Aku yang sedang mengenali diri-Nya sendiri.”
—
XXX — Sunyi yang Abadi
Di ujung jalan —
tak ada pintu, tak ada tubuh,
hanya sunyi yang melingkar dalam dirinya sendiri.
Dan di dalam sunyi itu,
segala nama larut,
segala doa menjadi cahaya,
segala cinta menjadi Tuhan.
—
Sumatera Barat, Indonesia, 2025.






