Oleh Agung Marsudi

Ketegangan dua anak kecil yang mempertahankan pendapatnya itu, membuat saya terkesima. “Percakapannya” kelas dewa. Konversasi khas anak-anak, ada sepuluhan anak, lengkap dengan kecentilannya, sehingga muncul kata “dramanya”, kayak “pejabat” aja.

Tak salah, ketika saya memperlambat langkah, karena kebetulan satu di antara anak-anak itu, di pojok, di bawah pohon beringin kecil, ada seorang anak laki-laki yang berkaos punggung 10 bertuliskan Agung, seperti nama saya. Nampak dia diam, serius memperhatikan “conversation” kelas anak-anak Jakarta itu.

Potongan konversasinya begini:
“Kamu yang salah!”
“Salahku dimana?”
“Kamu ingkar janji”
“Janji yang mana?”
“Kamu banyak drama, sih”
“Kayak pejabat aja”
“Kita selesaikan besok di Plaza Indonesia”
“Ngapain harus ke sana?”
(Mereka janji bertemu di Plaza Indonesia, untuk menyelesaikan soalnya. Entah soal apa).

Percakapan itu mengingatkan, tentang anak-anak kita yang ketika sedang bermain, atau keluar rumah, kita tidak tahu mereka sedang “ada apa”. Bercakap jenis apa, dengan sebayanya.

Seperti kondisi politik kita akhir-akhir ini, membayangkan bagaimana kemampuan “conversation” Prabowo kecil, Mega kecil atau Jokowi kecil.

Ketika puluhan tahun kemudian, mereka menjadi seorang presiden. Satu sama lain, boleh jadi saling mendominasi percakapan, keinginan, ego, keakuan, kekuasaan di genggaman. Apa ada semacam “dendam” yang disembunyikan, sementara mereka adalah personifikasi negara.

Menurut KBBI konversasi sendiri berarti percakapan, menurut brainly.co.id, kata konversasi adalah percakapan yang didasarkan pada aturan-aturan dan prinsip-prinsip tertentu yang sangat mempengaruhi hasil dari percakapan yang sedang dilakukan. Jadi konversasi maknanya jauh dari sekedar “omon-omon”.

Seorang presiden, atau para mantan presiden tak mungkinlah berderajat “omon-omon” ketika sedang menelpon atau bertemu. Apalagi rencana presiden ke-8 Republik Indonesia mau bertemu dengan presiden ke-5. Lalu presiden ke-7 dimintai komentarnya.

Konversasi jelas punya nilai, sedang “omon-omon” mungkin hanya “Cucok untuk Si Emon”. Konversasi anak-anak Cikini siang itu, di samping Gedung Ali Sadikin, TIM Ismail Marzuki, Sabtu (18/1/2025) mengingatkan kita melawan lupa: “intisari dari komunikasi itu adalah terjadinya konversasi”.

Rencana pertemuan Prabowo-Mega, adalah sebentuk konversasi sesama petinggi. Politik tanpa “konversasi” bukan demokrasi, meski nama partainya menyebut kata demokrasi. Ironi, ngaku demokrasi tapi ketuanya gak ganti-ganti.

Semoga tak ada lagi basa-basi, saling memuji menu masakan, karena pertemuan itu tak mungkin diberi judul, “hanya makan” lagi, seperti pertemuan Prabowo-Jokowi.

Ini soal harga, jati diri, mimpi, merekonstruksi bangunan bangsa yang mentereng, bukan soal “nasi goreng” yang enak digoreng-goreng.

Cikini, 18 Januari 2025