Oleh: Dr. Balthasar Watunglawar, S. Pd., MAP., SH.)*
–
Dalam beberapa waktu terakhir, muncul protes dari sebagian umat Katolik di Papua yang mengarah pada langkah hukum terhadap Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC. Aksi bisu dan wacana pelaporan ini didasari oleh persepsi sebagian umat bahwa kebijakan Uskup Mandagi dalam mendukung Proyek Strategis Nasional (PSN) di Papua bertentangan dengan aspirasi masyarakat adat setempat. Namun, penting bagi kita untuk mencermati tugas pastoral yang diemban oleh Uskup Mandagi dan bagaimana langkah-langkahnya bertujuan untuk mendukung kesejahteraan umat dan perdamaian di Papua.
1. Misi Gereja dalam Mewujudkan Keadilan Sosial dan Perdamaian
Sebagai bagian dari misi Gereja, seorang uskup memiliki tanggung jawab yang sangat penting dalam menciptakan dan memelihara perdamaian serta keadilan sosial di tengah masyarakat. Uskup Mandagi, yang telah lama berkarya di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Maluku dan Papua, menunjukkan dedikasi yang luar biasa terhadap kesejahteraan umat, terutama masyarakat adat Papua yang sering kali terpinggirkan. Dalam konteks ini, dukungannya terhadap Program Strategis Nasional (PSN) bukanlah sekadar keberpihakan pada pihak tertentu, melainkan sebuah langkah yang sangat strategis untuk memastikan bahwa pembangunan di Papua dapat berjalan dengan memperhatikan aspek kemanusiaan, keadilan, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Hal ini menjadi semakin relevan mengingat Papua adalah wilayah yang kaya akan sumber daya alam, namun sering kali masyarakatnya tidak mendapatkan manfaat yang seharusnya dari kekayaan tersebut.
Uskup Mandagi menilai bahwa PSN merupakan upaya pemerintah yang sangat signifikan dalam memberikan akses terhadap infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan, yang selama ini terhambat di banyak daerah di Papua. Menurut data yang ada, banyak daerah di Papua yang masih belum memiliki akses yang memadai terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan yang berkualitas, yang berkontribusi pada rendahnya indikator pembangunan manusia di wilayah tersebut. Dalam pandangannya, langkah ini sejalan dengan ajaran Gereja yang mengutamakan pembangunan manusia seutuhnya, sebagaimana diungkapkan dalam dokumen-dokumen sosial Gereja Katolik, termasuk Gaudium et Spes dan Populorum Progressio. Dokumen-dokumen ini menekankan pentingnya martabat manusia dan perlunya setiap individu untuk memiliki akses yang sama terhadap sumber daya dan kesempatan yang ada.
Melalui analisis yang mendalam terhadap situasi di Papua, terlihat bahwa dukungan terhadap PSN tidak hanya sekadar soal pembangunan fisik, tetapi juga merupakan upaya untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Papua. Dengan adanya infrastruktur yang memadai, akses kesehatan yang lebih baik, dan pendidikan yang berkualitas, diharapkan masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan daerahnya. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan tidak hanya diukur dari angka-angka statistik, tetapi juga dari kualitas hidup masyarakat yang meningkat. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan, perlu adanya kerjasama yang erat antara pemerintah, Gereja, dan masyarakat sipil, agar semua pihak dapat berkontribusi dalam menciptakan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat Papua.
2. Peran Dialog dalam Menyelesaikan Konflik
Salah satu hal yang menjadi sorotan dalam konteks isu hak ulayat di Papua adalah sikap Uskup Mandagi yang belum secara langsung bertemu dengan masyarakat adat. Dialog menjadi fondasi penting dalam menyelesaikan perbedaan, terutama dalam konteks yang penuh tantangan seperti yang dihadapi di Papua. Dalam banyak kasus, ketidakpahaman antara pihak-pihak yang berkonflik sering kali berakar dari kurangnya komunikasi yang efektif. Uskup Mandagi, dalam menjalankan tugasnya, telah membuka pintu dialog kepada berbagai pihak, termasuk pihak militer, sebagai langkah strategis untuk menjaga keamanan dan kestabilan wilayah tersebut. Pendekatan ini menunjukkan bahwa Uskup Mandagi tidak hanya berperan sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai mediator yang berusaha menciptakan ruang aman untuk diskusi. Kehadiran tokoh seperti Uskup Mandagi diharapkan dapat menjadi penghubung antara pemerintah dan masyarakat adat, sehingga solusi damai dapat dicapai melalui kolaborasi yang konstruktif.
Bagi umat Katolik di Papua, peran gembala yang menciptakan jembatan bagi semua pihak sangat sejalan dengan ajaran kasih dan perdamaian yang diusung oleh Yesus Kristus. Gereja Katolik mengajarkan bahwa perbedaan tidak seharusnya menjadi sumber perpecahan, melainkan harus dipandang sebagai peluang untuk saling menguatkan dan bekerja sama demi kebaikan bersama. Dalam konteks ini, Uskup Mandagi diharapkan mampu menginspirasi umatnya untuk mengedepankan dialog dan toleransi, terutama di tengah situasi yang sering kali dipenuhi dengan ketegangan. Melalui pendekatan yang inklusif dan penuh kasih, diharapkan masyarakat dapat menemukan jalan tengah yang menguntungkan semua pihak, tanpa mengorbankan hak-hak dasar masyarakat adat. Dengan demikian, peran gereja dalam membangun solidaritas dan keadilan sosial menjadi semakin relevan dan mendesak.
Dalam menghadapi tantangan kompleks di Papua, sangat penting bagi semua pihak untuk menyadari bahwa dialog bukan hanya sekadar alat untuk menyelesaikan konflik, tetapi juga sebagai proses yang memperkuat hubungan antar kelompok. Uskup Mandagi, sebagai seorang pemimpin spiritual, memiliki tanggung jawab besar untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam proses dialog ini. Hal ini mencakup mendengarkan aspirasi masyarakat adat dan memahami konteks budaya serta sejarah mereka. Dengan melakukan ini, Uskup Mandagi dapat membantu menciptakan lingkungan di mana semua suara didengar dan dihargai. Sebagai hasilnya, upaya untuk mencapai perdamaian dan keadilan di Papua akan lebih efektif dan berkelanjutan, karena didasarkan pada pemahaman yang mendalam dan komitmen bersama untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua.
3. Menghindari Polarisasi dan Mengutamakan Kesatuan Gereja
Ketidakpuasan yang diungkapkan sebagian umat merupakan bagian dari dinamika yang sering terjadi dalam kehidupan Gereja. Hal ini mencerminkan bahwa Gereja, sebagai komunitas iman, tidak terlepas dari berbagai tantangan dan permasalahan yang muncul dalam interaksi antar anggotanya. Aksi-aksi protes yang berulang dapat menimbulkan polarisasi di antara umat dan merusak citra Gereja sebagai institusi yang mengutamakan persatuan. Dalam konteks ini, penting untuk diingat bahwa Gereja Katolik di Papua telah menjadi simbol keteguhan iman dan kesetiaan kepada ajaran Kristus. Keberadaan Gereja di tengah masyarakat Papua bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pilar sosial yang memberikan dukungan moral dan spiritual kepada umat. Maka, perlu diupayakan agar segala bentuk ketidakpuasan dapat diatasi melalui mekanisme yang damai dan dialogis, yang memungkinkan setiap suara untuk didengar dan dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan.
Sebagai umat yang setia, kita diajak untuk tidak terburu-buru dalam menghakimi langkah-langkah pastoral seorang uskup. Dalam tradisi Gereja, terdapat mekanisme tribunal atau pengadilan gerejawi untuk menyelesaikan perselisihan terkait kepemimpinan gerejawi. Mekanisme ini tidak hanya berfungsi sebagai wadah penyelesaian masalah, tetapi juga sebagai sarana untuk mendidik umat tentang pentingnya dialog dan pengertian. Dalam banyak kasus, ketidakpuasan dapat muncul dari kurangnya komunikasi atau pemahaman tentang keputusan yang diambil oleh pemimpin gereja. Dengan memahami proses dan alasan di balik keputusan tersebut, umat diharapkan dapat lebih bijak dalam memberikan respon dan kritik. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membangun budaya komunikasi yang terbuka dan saling menghormati, sehingga setiap individu merasa diperhatikan dan dihargai dalam komunitas gereja.
Dalam menghadapi tantangan ini, kita perlu menyadari bahwa penyelesaian konflik dalam konteks gereja tidak hanya melibatkan individu atau kelompok tertentu, tetapi juga memerlukan partisipasi aktif dari seluruh anggota komunitas. Keterlibatan umat dalam proses dialog dan pengambilan keputusan akan memperkuat rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap Gereja. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan iman dan persatuan di antara umat. Melalui pendekatan yang inklusif dan kolaboratif, kita dapat mengatasi ketidakpuasan yang ada dan membangun Gereja yang lebih kuat, yang mampu menghadapi tantangan zaman dengan penuh keyakinan dan harapan. Dengan cara ini, kita tidak hanya menjaga citra Gereja sebagai institusi persatuan, tetapi juga memperkuat fondasi iman kita sebagai komunitas yang saling mendukung dan mengasihi.
4. Membangun Pemahaman tentang Kesejahteraan yang Lebih Luas
Sikap Uskup Mandagi yang memandang PSN sebagai proyek yang dapat memanusiakan manusia mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang konsep kesejahteraan yang holistik. Dalam pandangannya, kesejahteraan tidak hanya diukur dari aspek ekonomi semata, tetapi juga dari kualitas hidup yang mencakup infrastruktur yang memadai, akses pendidikan yang berkualitas, dan pelayanan kesehatan yang layak. Setiap individu berhak atas fasilitas-fasilitas tersebut sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dengan adanya infrastruktur yang baik, misalnya, masyarakat akan lebih mudah mengakses layanan kesehatan dan pendidikan, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Uskup Mandagi berupaya untuk menjadikan PSN sebagai sarana untuk mengangkat martabat masyarakat Papua, mendorong mereka untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Kehadiran Uskup Mandagi di Papua diharapkan tidak hanya menjadi simbol harapan, tetapi juga sebagai pendorong bagi umat untuk memperjuangkan hak-hak adat mereka. Dalam konteks ini, hak-hak adat bukan hanya soal pengakuan atas tanah dan sumber daya, tetapi juga tentang penguatan identitas dan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan. Melalui kolaborasi antara gereja, masyarakat, dan pemerintah, Uskup Mandagi berupaya menciptakan sinergi yang positif dalam membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya hak-hak adat, diharapkan masyarakat dapat lebih aktif dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka. Hal ini akan membangun rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap lingkungan dan budaya mereka sendiri, sehingga tercipta masyarakat yang lebih berdaya dan mandiri.
Sebagai bagian dari komunitas Katolik, kita diajak untuk memahami bahwa kesejahteraan yang sesungguhnya mencakup berbagai dimensi kehidupan, bukan hanya sekadar hak ulayat. Pembangunan manusia yang berkelanjutan harus melibatkan pendidikan yang inklusif, akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, serta kesempatan untuk berpartisipasi dalam ekonomi lokal. Gereja selalu menekankan bahwa setiap bentuk pembangunan harus berfokus pada martabat manusia, dan Uskup Mandagi berkomitmen untuk memastikan bahwa PSN dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut. Dengan pendekatan ini, diharapkan akan tercipta lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan setiap individu, sehingga mereka dapat berkontribusi secara positif bagi masyarakat dan bangsa. Melalui upaya bersama ini, kita dapat mewujudkan visi kesejahteraan yang lebih inklusif dan berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat.
5. Arah Pastoral yang Mengutamakan Kasih dan Kerjasama
Gereja Katolik di Papua telah dan akan terus menjadi pelayan bagi semua umat, termasuk mereka yang berada di pelosok. Sebagai umat Katolik, kita perlu memahami bahwa peran seorang uskup tidak hanya sebagai pelindung hak-hak umat, tetapi juga sebagai gembala yang mendukung upaya pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Protes dan kritik terhadap Uskup Mandagi adalah bagian dari dinamika yang perlu disikapi dengan bijak. Sebagai umat Katolik, kita diundang untuk memahami bahwa tugas seorang uskup melampaui kepentingan individu atau kelompok tertentu. Langkah-langkah Uskup Mandagi dalam mendukung proyek nasional bukan berarti mengabaikan hak-hak adat, melainkan upaya untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan bagi seluruh umat di Papua. Dalam semangat kasih dan pengampunan, kita semua diajak untuk tetap bersatu sebagai saudara seiman, menyelesaikan perbedaan melalui dialog yang damai, serta mendukung setiap langkah Gereja untuk mewujudkan kehidupan yang lebih adil dan manusiawi bagi seluruh umat di Papua.
)* Dr. Balthasar Watunglawar, S. Pd., MAP., SH. Adalah dosen dan peneliti, pembimbing mahasiswa S2 UT di Provinsi Papua Barat Daya, Sorong untuk Prodi Manajemen dan Administrasi Publik.