Oleh : Rika Puji Lestari)*

Langit pagi masih kelabu ketika Ridwan menatap hamparan sawah di ujung desa. Udara dingin menusuk kulit, namun ia tak memedulikan itu. Di pinggangnya tergantung sebilah cangkul tua yang selalu setia menemaninya. Hari itu ia tak hanya bekerja di sawah; ada hal lain yang sedang memenuhi pikirannya.

Sebagai pemuda desa, Ridwan adalah sosok yang sederhana, namun tekadnya keras. Ia sering mendengar dari orang-orang desa betapa beruntungnya bisa hidup di tanah yang kaya akan sumber daya alam. Tapi dalam hatinya, Ridwan merasa resah. Di tengah kekayaan tanahnya, masih banyak anak muda yang memilih pergi meninggalkan desa, pergi merantau ke kota, dan perlahan melupakan tempat asal mereka.

Di sudut pandang Ridwan, desa ini, dengan segala keterbatasannya, adalah tempat yang menyimpan asa. Ia ingin melihat tanah kelahirannya maju dan makmur. Ia ingin anak-anak di desanya tidak perlu lagi menempuh jarak jauh untuk bersekolah atau mengenyam pendidikan yang layak.

Hari itu, Ridwan menyusuri sawah hingga ke ujung jalan desa. Di sana, ia bertemu Bapak Ilyas, seorang mantan guru yang telah pensiun. Bapak Ilyas sering berbagi kisah perjuangan hidupnya pada Ridwan, terutama tentang pentingnya mencintai tanah air dan membangun desa.

“Bapak, aku ingin desa kita maju,” ujar Ridwan tanpa basa-basi. “Aku ingin anak-anak di sini punya masa depan yang lebih baik.”

Bapak Ilyas menatapnya penuh perhatian, lalu tersenyum bijak. “Semua perubahan butuh pengorbanan, Ridwan. Tapi jika kamu punya tekad, mulailah dari hal kecil. Lakukan yang bisa kamu lakukan di sini.”

Ridwan mengangguk. Kata-kata itu seperti menyuntikkan keberanian ke dalam dirinya. Ia sadar bahwa perubahan besar tak bisa terjadi dalam sekejap, tapi ia percaya setiap langkah kecil memiliki makna.

Setelah pertemuan itu, Ridwan mulai bertindak. Ia mengajak beberapa teman sebayanya untuk bergotong-royong memperbaiki bangunan sekolah desa yang sudah usang. Meski mereka bukan tukang profesional, namun dengan usaha dan kebersamaan, mereka mulai memperbaiki dinding, mengganti genteng yang bocor, dan memperbaiki bangku-bangku kelas yang sudah reyot.

Selama berminggu-minggu, Ridwan dan teman-temannya bekerja keras. Desa kecil itu perlahan-lahan mulai terasa berbeda. Kehadiran mereka membawa energi baru, dan warga mulai tergerak untuk membantu. Melihat keseriusan Ridwan, banyak orang tua yang rela menyumbangkan sedikit harta mereka untuk membeli cat baru dan papan tulis.

Sementara itu, Ridwan juga rajin mengadakan diskusi kecil bersama anak-anak desa. Ia mengajarkan mereka tentang sejarah Indonesia, tentang arti penting Sumpah Pemuda, dan tentang semangat kebersamaan yang telah diwariskan oleh para pendahulu. Ridwan ingin anak-anak itu tahu bahwa mereka memiliki peran dalam membangun bangsa, meskipun tinggal di desa kecil.

Suatu sore, ketika ia sedang berdiskusi dengan beberapa anak di bawah pohon beringin, seorang anak bernama Ika bertanya, “Kak, apakah aku bisa jadi dokter jika tetap di desa ini?”

Ridwan tersenyum, lalu menjawab dengan mantap, “Tentu bisa, Ika. Selama kamu mau berusaha, tidak ada yang tidak mungkin.”

Jawaban itu menggema di hati Ridwan. Ia tahu, mimpi seorang anak kecil adalah harapan masa depan bangsa ini. Ia yakin, jika anak-anak di desanya punya harapan, maka desa ini punya masa depan.

Seiring waktu, desa mereka menjadi lebih hidup. Kebersamaan di antara warga semakin erat, dan kesadaran untuk menjaga lingkungan desa semakin tinggi. Banyak yang mulai berkebun organik, mengolah hasil tani sendiri, dan menjualnya ke pasar kota. Hal ini meningkatkan perekonomian desa secara perlahan.

Suatu hari, pemerintah daerah mengadakan lomba desa terbaik. Ridwan dan teman-temannya tak pernah menyangka bahwa desa mereka akan menjadi salah satu kandidat terpilih. Berkat gotong-royong yang dilakukan selama ini, desa mereka berhasil menyabet penghargaan sebagai desa dengan partisipasi pemuda terbaik.

Penghargaan itu menjadi bukti nyata bahwa kerja keras dan cinta pada tanah kelahiran bisa menghasilkan perubahan besar. Desa mereka yang dulu sepi dan tertinggal kini mulai dikenal. Kehidupan di desa semakin membaik, anak-anak semakin semangat belajar, dan harapan untuk masa depan yang lebih cerah semakin terasa nyata.

Ridwan tersenyum bangga saat menerima penghargaan itu bersama teman-temannya. Di tengah kegembiraan warga desa, Ridwan teringat kata-kata Bapak Ilyas: “Semua perubahan butuh pengorbanan.” Dan ia tahu, pengorbanan itu tidak sia-sia.

Bagi Ridwan, menyulam asa di tanah Indonesia bukanlah hal yang mudah. Namun, ia percaya bahwa setiap langkah yang dilakukan dengan cinta akan membawa hasil. Tanah ini terlalu kaya untuk dibiarkan begitu saja; terlalu berharga untuk tidak dicintai. Di sanalah Ridwan menyulam asanya—di tanah yang ia cintai, di tempat yang memberinya arti tentang apa itu nasionalisme.

Tamat

Rika Puji Lestari)* adalah Kreator Cerdas AI Desa Doplang, Kec.Jati, Kab.Blora