Oleh: Ferry Bataona

Beberapa hari terakhir ini media nasional sempat mengangkat polemik terkait rencana ekspansi agro industri kelapa sawit dalam skala raksasa oleh pihak swasta tertentu dan food estate perkebunan tebuh ribuan hektar di Papua selatan oleh Pemerintah pusat. Ada kekuatiran besar akan terjadinya marginalisasi rakyat Papua yang akan kehilangan hak ulayat atas tanah warisan leluhur. Ada persoalan serius di bidang ekonomi terkait mata pencaharian dan kehidupan masyarakat setempat. Ada dampak serius yang tidak terhindarkan berupa kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan terjadinya berbagai bencana alam.

Sekedar contoh sekaligus bukti nyata kekuatiran terhadap pengrusakan lingkungan hidup, adalah bencana banjir besar yang melanda kampung-kampung sekitar wilayah pertambangan nickel PT IWIP di kabupaten Halmahera Tengah Propinsi Maluku Utara. Di tahun-tahun awal semuanya masih terlihat baik-baik saja, tetapi kemudian cepat atau lambat bencana alam yang mengerikan itu terjadi: Masyarakat suku asli yang tinggal di hutan rimba dan hidup dari kekayaan alam mulai kesulitan mencari makanan karena hutan sudah ditebang dimana-mana. Beberapa kali suku asli penghuni rimba ini terpaksa keluar dari hutan, mendatangi kompleks perusahaan dan meminta makanan. Sebelum ada perusahaan mereka tidak pernah kekurangan bahan makanan dari alam. Dan baru minggu lalu, hujan lebat selama beberapa hari telah menyebabkan ribuan warga kampung-kampung sekitar perusahaan menjadi pengungsi. Inilah dampak buruk yang tidak terhindarkan dari aktifitas industrialisasi yang mengeksploitasi alam.

Di tahun 1990-an masalah perlindungan dan pelestarian alam, dari berbagai ulah rakus manusia yang menggarap lingkungan secara tidak bertanggungjawab, menjadi issu nasional dan global, karena mulai terjadi bencana alam dimana-mana. Dalam suatu wawancara dengan TVRI Manado saat itu, Prof Dr Jan van Paassen MSC dari STF Seminari Pineleng memberikan gambaran yang sangat jelas: “Pembukaan hutan untuk lahan industri perkebunan, pertambangan, dan lain-lain, bergerak menurut deret hitung. Tetapi tingkat kecepatan kerusakan alam yang terjadi, bergerak menurut deret ukur, jauh lebih cepat dengan skala kelipatan yang jauh lebih besar”.

Pada tanggal 18 Juni 2015, Paus Fransiskus mengeluarkan Ensiklik (surat edaran Paus) dalam bahasa Italia berjudul “Laudato Si, Mi Signore” (Terpujilah Engkau Tuhanku), lebih dikenal dengan nama “Laudato Si”. Sub judulnya menggambarkan isi ensiklik tersebut: “On the Care of Our Common Home”(Dalam kepedulian untuk rumah kita bersama). Dalam Ensiklik ini disebutkan sejumlah krisis lingkungan yang perlu segera diatasi, yaitu; Pertama, Polusi dan perubahan iklim. Kedua, Masalah air khususnya ketersediaan air bersih dan penyakit-penyakit akibat turunnya kualitas air. Ketiga, Hilangnya keanekaragaman hayati. Keempat, Penurunan kualitas hidup.

Dalam Ensiklik yang diterjemahkan dalam delapan bahasa ini ( Italia, Jerman, Inggris, Spanyol, Prancis, Polandia, Portugis, Arab) Paus Fransiskus juga menegaskan beberapa hal; Pertama, Mengkritik konsumerisme dan pembangunan yang tidak terkendali. Kedua, Menyesalkan terjadinya kerusakan lingkungan dan pemanasan global. Ketiga, Mengajak semua orang di seluruh dunia, untuk mengambil aksi yang sifatnya global dan segera.
Paus Fransiskus melalui Ensiklik ini juga menilai bahwa pengrusakan yang terus menerus dilakukan manusia terhadap lingkungan, adalah suatu tanda dari krisis etika, budaya dan spiritual, serta modernitas.

September 2024 adalah jadwal kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia. Sekedar flash back, Oktober 1989 Paus Yohanes Paulus II berkunjung ke Indonesia, termasuk ke Timor Timur yang sudah menjadi Propinsi ke 27 RI. Saat itu berbagai aksi kekerasan dan pelanggaran HAM di Timor Timur turut menjadi keprihatinan Paus. Tak sampai sepuluh tahun kemudian, melalui Referendum, Timor Timur lepas dari RI dan menjadi negara sendiri Timor Leste. Agenda kunjungan Paus Fransiskus kali ini hanya berpusat di Jakarta. Jangan ajukan pertanyaan nakal; Jika seandainya Paus Fransiskus kunjungi Papua, akankah Papua lepas dari NKRI seperti Timor Timur pasca kunjungan Paus Yohanes Paulus II? Dampak yang pasti dari pengandaian kunjungan Paus Fransiskus ke Papua adalah bangkitnya kesadaran kolektif untuk memperjuangkan tegaknya keadilan, perdamaian dan penghargaan terhadap HAM. Tanah Papua sepanjang sejarahnya dalam catatan para aktivis pejuang HAM adalah tanah darah dan air mata. Maka menulislah Mgr Leo Laba Ladjar tentang penderitaan rakyat Papua dalam bukunya ” Memoria Passionis”.

Manusia tidak dapat dipisahkan dari alam, bumi, tanah dan air, sebagai habitatnya. Maka merusak alam yang mebgakibatkan terjadinya berbagai bencana alam, sama halnya dengan membunuh manusia. Disinilah pesan Paus Fransiskus kepada rakyat Papua melalui Ensiklik Laudato Si, menjadi sangat relevan.