Oleh: Prof. Dr.Julius Ary Mollet, SE.,MBA.,MTDev., Dip.LED.,Ph.D.
–
Abstrak
Konsep ekonomi hijau telah membawa perubahan paradigma pembangunan pad negara maju dan sedang berkembang. Ekonomi hijau (green economic) merupakan pendekatan pembangunan yang mengadopsi konsep pembangunan yang berkelanjutan, dimana pendekatan konsep ini semata-mata bukan saja memperhatikan kepeentingan ekonomi, namun juga lingkungan dan partisipasi masyarakat. Pemberdayaan masyarakat Papua, telah dilakukan sejak era kolonialisasi Belanda dan dewasa ini, masih terdapat pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan pendekatan ekonomi hijaua. Penelitian ini mengkaji mengenai pemberdayaan masyarakat Papua dengan menggunakan model ekonomi hijau yang dilakukan di Kabupaten Jayapura, Jayawijaya dan Nabire. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberdayaan masyarakat sudah dilakukan oleh masyarakat Papua, namun dalam skala kecil dan hal ini bisa dapat dikembangkan dengan memperhatikan penguatan wadah koperasi, capacity building, supply chain dan kerjasma para pemangku kepentingan (stakeholder).
Kata kunci: ekonomi hijau, pemberdayaan masyarakat, Papua.
PENDAHULUAN
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan kesepakan komunitas global dalam rangka menjaga keseimbangan pembangunan dan lingkungan di negara maju dan sedang berkembang. Sustainable development merupakan salah pendekatan pembangunan yang diinisasi oleh United Nations (Perserikatan Bangsa- Bangsa) dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan untuk generasi yang akan mendatang. Konsep pembangunan berkelanjutan fokus pada pembangunan dengan mengedepankan keharominasan antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan. Dengan kata latin pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak serta merta distribusi pendapatan akan menyasar pada semua masyarakat. Dimensi sustainable development tidak hanya mengejar kepentingan ekonomi, namun juga berupaya untuk memperhatikan lingkungan dan juga keterlibatan pembangunan masyarakat secara menyeluruh (inclusion) (Todaro dan Smith, 2014).
Fenomena global saat ini telah membawa perubahan yang cukup dinamis khususnya berkaitan dengan paradigma pembangunan yang sudah mengarah kepada “competetion” yang merujuk pada “neoclasic theory of economics” yang diadopsi dari ekonom modern Adam Smith (1776) dari the University of Glasgow dengan bukunya “An inquiry into the nature of the causes of the wealth of nation” (Paganelli, 2022) dengan memperhatikan pendekatan “invisible hands” (kekuatan permintaan dan penawaran), yang sekarang dikenal dengan sistem “capitalism” atau kapitalisme.
Perkembangan selanjutnya ternyata sistem ekonomi kapitalisme yang menekankan pada aspek “growth” (pertumbuhan ekonom) ternyata tidak mampu memberikan pemerataan tingkat kesejahteraan masyarakat yang yang merata, justru terdapat “wide gap” dalam sebaran distribusi pendapatan penduduk. Hal ini terjadi karena hanya sebagian kecil masyarakat yang menikmati “kue pembangunan” atau dengan kata lain terdapat sebagian kecil masyarakat yang dapat menikmati pendapatan yang cukup tinggi. Namun disisi lain masih banyak penduduk dengan pendapatan rendah atau miskin yang tidak dapat akses ke sumber-sumber daya ekonomi yang potensials.
United Nations atau Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PPB) telah menawarkan konsep pembangunan yang inklusif, dimana pembangunan seharusnya dapat melibatkan seluruh masyarakat. Konsep sustanbale development atau pembangunan berkelanjutan merupakan jawaban dari implikasi pembangunan yang tidak harmonis antara kepentingan ekonomi dan lingkungan. Menurut Brodhag dan Taliere (2006), “Sustainable development refer to combine need of economic, environmental, and community”. Apa yang tersirat dari konsep tersebut adalah proses pembangunan seharusnya memperhitungkan juga kepentingan generasi yang akan mendatang, dimana pembangunan seharusnya lebih bijaksana dengan sejauh mungkin kepentingan ekonomi tidak mengorbankan lingkungan dan juga memperhatikan partispasi masyarakat dalam prosen pembangunan.
Komitmen negara-negara maju terutama yang berada di kawasan Eropa sangat serius dalam menangani isu lingkungan. Mengapa negara-negara di kawasan Eropa memiliki komitmen yang kuat dalam menjaga lingkungan. Hal ini terjadi karena implikasi dari “global warming” yang dirasakan oleh negara-negara yang berada di kawasan dekat kutub utara dan selatan. Perubahan suhu sebagai akibat pemanasan global menyebabkan perubahan cuaca yang tidak menentu dimana perubahan iklim ekstrim terjadi bukan saja di kawasan kutub, namun juga di negara yang berada di daerah tropis. Negara yang berada di daerah tropis termasuk Indonesia dan khususnya Tanah Papua yang memiliki hutan tropis yang masih baik dan diharapkan kelestarian hutannya bisa terjaga. Dimana, jika melihat kondisi hutan di Tanah Papua, bisa dikatakan kawasan tersebut sebagai “the last frontier” (benteng terakhir) untuk menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini yang menyebabkan sehingga beberapa negara maju memberikan bantuan program green economic (ekonomi hijau) yang menjembatani pengembangan ekonomi lokal dengan memperhatikan lingkungan dengan melibatkan masyarakat.
Dewasa ini, terdapat fenomena yang terjadi pada masyarakat Papua, dimana seolah-olah masyarakat Papua “tidak berdaya ataupun hopeless” di sektor ekonomi dalam era Otonomi Khusus walaupn “kebijakan afirmasi” sudah diimplementasikan. Padahal Tanah Papua memiliki sumber daya alam yang melimpah dan juga terdapat banyak variasi biodiversity yang terdapat dalam cagar alam dan tentunya kekayaan alam tersebut dapat digunakan sebagai faktor produksi dalam pembangunan. Namun, hal yang terpenting dalam pengeloaan sumber daya alam tersebut, tentunya perlu memperhatikan isu lingkungan agar alam di Tanah Papua dapat terjaga.
Merespon pembangunan berkelanjutan, pemerintah provinsi Papua dan Papua Barat telah sepakat menandantangani “Deklarasi Manokwari” sebagai dasar kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam dan juga kehidupan masyarakat lokal. Sehingga pengalaman masa lalu dengan pembangunan beoreintasi eksploitasi pengelolaan sumber dalam ekstraktif sudah harus dirubah paradigmanya dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan. Dan hal ini merupakan salah satu solusi dalam proses pembangunan dengan memperhatikan lingkungan serta melibatkan masyarakat dengan pendekatan pemberdayaan ekonomi rakyat melalui program ekonomi hijau di Tanah Papua.
TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan berkelanjutan merupakan respon dari krisis global khususnya yang berkaitan dengan “global warming”atau pemanasan global. Permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pada polusi yang dihasilkan oleh proses produsksi yang dilakukan oleh negara maju dan juga negara sedang berkembang. Menurut Bina (2013) ketidak pastian mengenai pemulihan ekonomi global merupakan salah satu tantangan dalam implementasi green economic. Namun disisi lain, terdapat pula negara-negara maju khususnya di kawasan Eropa memiliki komitmen serius dalam menjalankan program ekonomi hijau.
Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan konsep pembangunan yang menjembatani antara kepentingan masa sekarang dan masa yang akan datang. Terdapat tiga pilar dalam konsep pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, lingkungan dan partisipasi masyarakat (Klarin, 2018). Kepentingan ekonomi mengarah pada pertumbuhnan ekonomi yang terus-menerus sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kenaikan output produksi bidang ekonomi, juga harus dibarengi dengan menjaga lingkungan agar tidak rusak dengan cara menghindari exploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam dan juga mengurangi efek eksternalitas. Pembangunan inklusif juga merupakan bagian terpenting dalam implementasi pembangunan berkelanjutan. Melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan menjadi penting agar pembangunan dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat,
Ekonomi hijau merupakan salah satu pendekatan yang memadukan kepentingan ekonomi dan lingkungan [Cámara-Leret et al ,2018]. Sebenarnya ekonomi hijau merupakan turunan dari konsep “sustainable development” atau pembangunan yang berkelanjutan yang menjadi konsensus seluruh negara yang ada di dunia dalam rangka menjaga kehidupan manusia dengan memadukan pembangunan yang mengedepankan genersi mendatang dimana dalam proses pembangunan sejauh mungkin tidak merusak lingkungan. Implikasi dari konsep “sustainable development” banyak negara telah berupaya untuk berinovasi dalam teknologi (tecnological innovation) dalam rangka menuju pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Terdapat beberapa negara yang telah mengimplemantasikan konsep green economic termasuk Indonesia. Pemerinath Indonesia yang merupakan bagian dari negara G20 telah sepakat untuk melaksakan program ekonomi hijau yang mana hal ini telah ditetapkan dalam RPJMN 2020-2024 [Bappenas, 2021]. Green economic juga terdapat dalam dokumen RPJMD Provinsi Papua 2017-2023, dimana perencanaanya dipadukan dengan “Visi 100 Tahun Papua” yang mengedepankan pembangunan yang berwasasan lingkuangan.
[Bappeda Provisi Papua, 2019]. Dengan adanya kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia dan juga Papua, hal ini memberikan kesempatan agar program ekonomi hijau dapat dilaksanakan secara berkelanjuatan.
Penerapan konsep pengembangan ekonomi lokal (local economic development atau LED) menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada suatu kawasan atau teritori. Pendekatan LED dapat diterapkan dalam memberdayakan masyarakat dengan menggunakan pendekatan ekonomi hijau. Menurut Bert Helmsing (2001) “the notion LED refer to empower local resources to drive the industry and economic growth”. Penggerak dari LED adalah kompetisi, entreprenuer, teritori yang mencakup kelembagaan dan rantai produksi dan distribusi. Selanjutnya untuk mejelaskan faktor penggerak dalam pengembangan ekonomi lokal tersebut dapat mengadopsi dengan konsep “the Porter Diamond”, (Gambar 1) dimana terdapat aspek sumber daya, industri pendukung, pasar, pesaing, pemeriatah dan peluang (opportunity).
Gambar 1. Porter Diamond Dimensi
Sumber: Materi Short Course LED Institute of Social Sciences (ISS) Erasmus University-Rotterdam (Helmsing, 2011).
TEMUAN EMPIRIS
Sejarah era kolonialisasi Belanda memperlihatkan bahwa, ternyata masyarakat Papua telah memiliki tatanan ekonomi yagn cukup kuat seperti yang dikemukan oleh WIW Poli (2008) yang merujuk dari hasil riset disertasi W.J.H Kouwenhoven (1956) dari University of Leiden dengan judul “Nimboran: Study of Social Change and Social-economic Development in a New Guinea Society”, telah muncul Koperasi Yawa Datum di Nimboran yang dikelola oleh masyarakat setempat telah berhasil mengekspor komodiatas pertanian cash-crop ke negara Zealandia Baru, Singapura dan Belanda (Gaambar 2) . Kunci keberhasilan Koperasi Yawa Datum adalah moto “Kemandirian tanpa kehilangan jati diri dalam lingkungan yang berubah masyarakat Papua.
Gambar 2. Akativitas Koperasi Yawa Datum Tahun 1950an
(Sumber: Kouwenhoven, 1956 dan Poli, 2006)
Menurut Kouwenhoven (1956), dalam rangka menjaga kemandirian jati diri masyarakat Papua di sektor ekonomi, perlu diperhatikan beberapa aspek penting dalam kehidupan masyarakat Papua. Aspek pertama berhubungan dengan mekanisme pertanian dimana pengelolaan pertanian di Papua sudah menggunakan traktor dan tenaga manusia dalam mengelola ladang pertanian. Aspek yang kedua berkaitan dengan perwilayahan komoditas yang mencakup pemetaan mengenai potensi tanaman pangan. Aspek ketiga meliputi adanya
wadah yang menampung mengenai hasil produksi pertanian yaitu Koperasi Yawa Datum serta yang berikutanya adalah penekanan pada aspek pendidikan, kesehatan dan rekreasi yang menunjan penguatan dalam sumber daya manusia masyarakat Papua yang handal (Gambar 3).
Gambar 3. Asepek Dalam Mencapai Tujuan Pemberdayaan Masyarakat New Guinea, Nimboran
(Sumber: Kouwenhoven, 1956 dan Poli, 2006)
Gambar 4. Skema Makanisme Koperasi Yawa Datum , Nimboran
(Sumber: Kouwenhoven, 1956 dan Poli, 2006)
Seperti telah diuraikan diatas bahwa wadah koperasi menjadi sangat penting dalam rangka menjembatani masyarakat Papua dan juga pembeli. Gambar 4, memperlihatkan alur mekanisme Koperasi Yawa Datum yang sangat sederhana. Dimana Koperasi Yawa Datum membeli hasil pertanian masyarakat Nimboran dan menjualnya ke konsumen. Disisi lain, Koperasi Yama Datum membeli barang-barang kebutuhan masyarakat dengan harga yang relatif murah jika dibandingkan dengan harga pasar. Hal ini memperlihatkan bahwa keberadaan Koperasi Yawa Datum sangat membantu dalam menyediaan barang yang dibutuhkan masyarakat dan juga membantu masyarakat menjual komoditas pertaniannya (cash crop) dengan harga yang kompetitif.
Terdapat beberapa peneliti yang mengkaji pendekatan ekonomi hijau (green economic) untuk menjawab pembangunan yang berkelanjutan. Ekonomi hijau dapat didefinisikan sebagai suatu pengelolaan sektor ekonomi yang mengedepankan pentingnnya menjaga berkelanjutan dari linkungan denan memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat. Sementara itu menurut Fedrigo-Fazio and Brink (2012) mengemukakan ekonomi hijau sebagai berikut “the notion of green economic can be defined as the use of economic purpusors budt not destroy our nature by involving the local commnuty on development”.
Studi empiris mengenai ekonomi hijau telah dilakukan oleh bebrapa penliti ataupun lembaga. Misalnya UKAID (United Kingdom Agency International Developmen) memberikan bantuan ke pemerintah daerah Papua dan Papua Barat untuk program green economic growth (ekonomi hjiaju) dalam pengembangan komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomis seperti kakao, kopi, sagu, rumput laut dan pala. Program ekonomi hijau telah dilakukan dibeberapa kabupaten d Jayapura, Jayawijaya, Biak Numfor, Nabire, Sorong dan Fak-Fak. Lembaga UKAID berminat untuk memberikan bantuan dalam pengembangan program green economic (ekonomi hijau) karena Papua masih memiliki kawasan hutan yang masih baik dan sebagai paru-paru dunia. Disamping itu, pola tanam masyarakat Papua di sektor pertanian masih memperhatikan lingkungan dimana dalam pengelolaan pertanian subsistance tidak merusak lingkunangan, karena terdapat nilai-nilai kearifan lokal dimana “hutan adalah ibu kita (forest is our mother)” (Mansoben, 1995) shingga dalam pengelolaan hutan tidak boleh mengambil secara berlebihan atau mengeksploitasi.
Program ekonomi hijau (green economic growth atau GEG) yang dilakukan oleh UKAID, penekanannya pada penguatan“supply chain” dan kualitas produk komoditas pertanian, sehingga nantinya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat Papua. Namun hasil penelitian UKAID juga memperlihatkan bahwa tedapat pula tantangan dalam implementasi program GEG di Papua yakni berhubungan dengan koordinsai lintas sektor yang masih perlu dibenahi.
Penelitian lain mengenai pengembangan ekonomi hijau masyarakat di Griminawa oleh Asia Foundation dalam budidaya kakao. Masalah yang paling serius dihadapi oleh masyarakat di Griminawa dalam pengembangan komoditas kakao adalah berhubungan dengan penyakit yang menyerang tanaman kakao sehingga perlu dicari bibit yang unggul yang tahan terhadap penyakit. Disamping perbaikan kulitas kakao juga perlu ditingkatkan serta lembaga Asia Foundation membantu masyarakat lokal yang membudayakan kakao dengan para pembeli diluar Papua. Hal ini sangat penting, agar harga kakao tidak dipermainkan oleh para tengkulak yang biasanya membeli harga kakao dengan harga murah.
Hasil peneliain lainnya yang dilakukan oleh peneliti Mollet, Hutajulu dan Togibasa (2022) didanai dari Hibah Bersaing Dikti tahaun 2022. Judul penelitian tersebut adalah “Pembangunan Berkelanjutan Pengembangan Tanaman Pangan Melalui Program Green Economic Growth (GEG) di Kawasan Pegunungan dan Pesisir Papua”. Adapun tujuan penelitian menganalisi mengenai karakteristik masyarakat asli Papua di pegunungan dan pesisir di Papua dalam pengembangan budidaya kakao, kopi dan serta faktor budaya dan ekonomi masyarakat Papua dan mengkaji mengenai peranan stakeholder (pemerintah, lembaga donor, LSM, masyarakat adat dan gereja) dalam pengembangan ekonomi hijau.
Hasil kajian memperlihatkan bahwa di Kabupaten Jayapura sangat cocok untuk pengembangan komoditas kakao. Sementara Kabupaten Jayawijaya memiliki potensi dalam pengembangan komoidtas kopi. Disamping itu usaha diversifikasi produk sagu dilakukan di Kabupten Nabire. Masyarakat di kawasan tersebut telah berhasil dalam pengelolaan komoditas unggulan (kakao dan kopi) dengan dan mampu untuk menghasilkan kualitas kakao dan kopi sesuai permintaan pasar. Memang permasalahn yang mendasar dalam pengembangan komitas kakao dan kopi di Papua adalah “supply chain” yaitu berhubungan dengan rantai produksi, distribusi dan konsumen. Supply chain sebelumnya terputus dimana masyarakat yang membudidayakan kakao dan kopi berusaha sediri. Melalui program ekonomi hijau, masyarakat lokal mampu dan sudah berhasil memasarkan hasil pertaniannya, karena program ekonomi hijau yang didukung dari lembaga donor telah membantu masyarakat Papua dalam memberikan pelatihan mengenai bisnis keuangan, pemberian stimulasi modal, memperkenalkan dengan distributor di luar Paua serta memberikan pelatihan mengenai kulatias komoditi pertanian.
Gambar 5. Masyarakat Petani Kakao di Distrik Kemtuck dan Nimboran
Sumber: Penelitian Hibah Dikti Tahun, (Mollet dkk, 2022)
Peneltian dilakukan selama empat hari di Distrik Kemtuck dan Nimboran di Kabupaten Jayapura (Gambar 5). Pola tanam tanaman kakao masyarakat di Distrik Kemtuk dan Niombora menggunakan sistem pola tanam yang bercampur dengan tanaman lain dimana masyarakat menanam kakoa besebelahan dengan tanaman seperti matoa, kelapa, pinang dan kayu besi atau merba, pohon rambutan dan jenis tanaman keras lainnya. Alasan masyarakat tersebut menanam kakao disela-sela tanaman lainnya karena menurut mereka tanaman seperti kayu besi, matoa, dan juga rambutan dapat menjaga tanaman kakao dari sinar matahari. Masyarakat dikedua distrik tersebut belum memanfaatkan lahan secara optimal. Dari hasil pengamatan tim peneliti melihat masih banyak lahan yang tidak ditanami kakao, karena kekurangan tenaga kerja, dimana banyak tenaga kerja khususnya anak-anak muda bersekolah di Kota Jayapura.
Penelitian dilakukan di Kabupaten Jayawijaya di Distrik Piramit dan Asologaima di Wamena (Gambar 6). Karakteristik masyarakat petani kopi di Wamena menggunakan sistem pola tanam yang sama dengan petani kakao di Jayapura, dimana tanaman kopi ditanam bersebelahan dengan beberapa tanaman keras lainnya seperti merbau atau kayu besi tujuan untuk menjaga tanaman kopi dari hujan dan juga angin serta matahari yang berlebihan. Masyarakat di kawasan pegununga di Wamena menurut Znoj [2018], sejak jaman batu atau “stone age“ masyarakat tersebut telah menanamkan pola tanam yang unggul dibanding dengan kawasan lainnya. Mereka sudah mengenal terasering untuk menamam umbi jalar, keladi dan sayur mayur lainnya. Tanaman kopi di kedua kawasan tersebut memperoleh binaan dari Kedutaan Besar Inggris UKCCU dan pemerintah daerah serta Bank Papua dalam pengembangan kopi. Keunggulan kopi dari Wamena selain cita rasa kopi arabica yang bagus, ternyata kopi tersebut termasuk organik, dimana tidak menggunakan plestisida sehingga kopi Wamena harganya relatif kompetitif karena kualitasanya bagus dan terdapat distributor atau supplier kopi yang berasal dari lokal dan nasional . Hasil wawancara dengan petani dan juga dinas pertanian kabupaten Jayawijaya, permintaan kopi Wamena cukup tinggi dan kppinya dikirim ke perusahaan kopi Starbucks di Jakarta.
Gambar 6. Pengembangan Produksi Kopi di Distrik Primatid dan Asologaima Wamena
Sumber : Penelitian Hibah Dikti Tahun, (Mollet dkk . 2022)
Kegiatan penelitian di kabupaten Nabire dilaksanakan di distrik Nabire Barat dan Teluk Kimi (Gambar 7). Hasil observasi awal memperlihatkan bahwa petani sagu di kedua distrik tersebut memiliki potensi produksi yang cukup bagus karena permintaan akan sagu d ikabupaten Nabire sangat banyak. Sama seperti petani kakao di Jayapura, pengelolaan produksi sagu di Nabire masih menggunakan pola yang sederhana dimana dalam prosesnya masih menggunakan alat seperti karung untuk menyaring tepung sagu, ember dan mereka menokok sagu dalam waktu 1-3 hari. Masyarakat Nabire juga sangat respek terhadap alam atau lingkungan, jadi dalam mengelola produksi sagu mereka tidak menebang sembarang. Ada ritual khusus menebang sagu yang sudah tua baru diproses untuk memperoleh tepung sagu. Hasil daripada tepung sagu tersbut dijual dipasar di Kabuoaten Nabire, namum setelah mendapat binaan dari Kedutaan Besar Inggris (UKCCU), petani sagu tersebut sudah pelan-pelan mampu melakukan diversifikasi produk hasil turunan sagu seperti kue kering.
Gambar 7. Pengembangan Produksi Sagu Dsitrik Nabire Barat dan Kimi, Nabire
Sumber : Penelitian Hibah Dikti Tahun, (Mollet dkk , 2022)
STRATEGI KEBIJAKAN
Pemberdayaan masyarakat Papua melalui program ekonomi hijau ternyata sudah ada di Tanah Papua. Namun implementasi program ekonomi hijau masih dalam skala kecil karena program tersebut masih sebatas pada “pilot project” yang dilakukan oleh lemabga dononor dan juga LSM. Dalam rangka mengoptimalkan pemberdayaan ekonomi masyarakat Papua melalui pendekatan ekonomi hijau, perlu strategi kebijakan yang dilakukan meliputi; Pertama, sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat Papua era kolonialisasi telah mampu mengembangkan ekonomi lokal melalui suatu wadah Koperasi Yawa Datu sebbagai lembaga yang pengerak produksi dan distribusi. Saat ini, wadah koperasi perlu dibangkitkan lagi agar terdapat suatu lembaga yang menampung dan menjual produk hasil pertanian masyarakat Papua sehingga mekasime penjualan komoditas pertanian sesuai dengan harga pasar.
Kedua, product delivery to costumer menjadi sangat penting, Ternyata permasalahan dalam pemberdayaan masyarakat Papua berhubungan dengan supply chain. Seolah-olah masyarakat Papua yang berkerja di sektor pertanian “single figther” mereka yang memproduksi, meraka juga yang mecari pasar. Hal ini menyebabkan kapasitas komoditas pertanian yang dijual masih terbatas. Penguatan “supply chain” atau mata rantai produksi dan distribusi menjadi hal yang urgen dalam pemberdayaan masyarkat dan hal ini perlu intervensi dari pemerintah. Ketiga, perlunya meningkatkan capacity building dalam pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan pendekatan ekonomi hijau. Penguatan kelembagaan dan juga meningkatkan jiwa entrepenuer menjadi penting dalam memberikan pemahaman mengenia mekanisme “supply chain” untuk memproduksi hasil akhir, termasuk juga diversifikasi produk yang dihasilkan.
Keempat, permasalhan klasik dalam menjalankan program pemberdayaan ekonomi adalah “kelanjutan” dari program tersebut. Beda pimpinan di tingkat provinsi dan kabupaten terkadang kebijakan juga berubah. Hal ini tentunya dapat dihindati jika setiap pimpinan memiliki komitmen dan serta para pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat, lembaga donor, gereja, adat) perlu dilibatkan dalam implementasi kebijakan pembaerdayaan masyakat ekonomi hijau. Hal yang terpenting disini adalah kerterlibatan masyarakat adat dalam prosen perencanaan progam. Masyarakat adat terkadang diabaikan dalam implementasi pemberdayaan masyakat. Hasil penelitian dari Mollet and Kambuaya (2023) menemukan bahwa masyarakat adat kurang dilibatkan dalam proses perencanaan di tingkat kampung sehingga terkadang program yang dibuat pemerintah tidak sesuai dengan harapan masyarakat adat.
PENUTUP
Ekonomi hijau (green economic) dapat dijadikan salah satu model pemberdayaan masyarakat Papua dalam dinamika perubahan perekonomian yang dinamis. Ekonomi hijau sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan dimana terdapat tiga aspek yang meliputi ekonomi, lingkungan dan partisipasi masyarakat. Selanjutnya hasil kajian ini juga memperlihatkan bahwa kondisi pemberdayaan ekonomi masyarakat Papua era kolonialisasi sudah ada, dan kegiatan ekonominya sudah bisa diekspor kebeberapa negara. Sementara saat ini program pemberdyaan ekonomi yang berwawasan lingkungan (ekonomi hijau) telah dijalankan oleh kelompok-kelompok masyarakat Papua yang berada dibeberapa kawasan di Tanah Papua. Hal ini memperlihatkan bahwa fondasi ekonomi melalui pemberdayaan masyarakat di kampung-kampung sudah ada, dan perlu ditingkatkan lagi agar program ekonomi hijau dapat diimplementasikan di kawasan lain di Tanah Papua. Selanjutnya temuan empiris memperlihatkan bahwa peranan lembaga donor dalam pemberdayaan masyarakat di Papua melalui porgram ekonomi hijau telah berkerjasama dengan pemerintah, adat dan masyarakat. Terdapat beberapa strategi kebijakan pengembangan ekonomi lokal masyarakat Papua yang meliputi perlunya diperkuat wadah koperasi, supply chain, kolaborasi stakeholder dan keterlibatan masyarakat yang inklusif.
REFERENSI
Bappenas ( 2021) Dorong Pemulihan dengan Ekonomi Hijau Berita Pembangunan – Kamis, 18 Februari 2021
https://www.bappenas.go.id/id/berita/bappenas-dorong- pemulihan-dengan-ekonomi-hijau
Bappeda Provisi Papua (2019) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Papua 2019-2023, Bappade Provinsi Papua, Jayapura. https://bappeda.papua.go.id/dokumen/RPJMD
Brodhag, C., & Taliere, S. (2006). Sustainable DevelopmentSstrategies: Tools for Policy Coherence. Natural Resources Forum, 136-145.
Bert Helmsing , A.H.J (2001) Local Economic Development. New Generation ofAactors, Policies and Instruments, summary report prepared for the UNCDF symposium on DecentralizationLocal Governance in Africa.
Bina, O. (2013) The green economy and sustainable development: an uneasy balance? Environment and Planning C: Government and Policy 2013, volume 31, pages 1023 – 1047
Cámara-Leret et al (2019), The Manokwari Declaration: Challenges ahead in conserving 70% of Tanah Papua’s forests, Forest and Society. Vol. 3(1): 148-151, April 2019 ISSN: 2549-4724, E-
ISSN: 2549-4333.
Fedrigo-Fazio, D. dan Brink, P. (2012) Green Economy, What Do Mean By Green Economic? OECD Green Growth Repor, United Nations Environment Programme (UNEP),The European Commission, Kenya.
Klarin, T (2016) The Concept of Sustainable Development: From its Beginning to the Contemporary Issues, Zagreb International Review of Economics & Business, Vol. 21, No. 1, pp. 67-94, 2018 © 2018 Faculty of Economics and Business, University of Zagreb and De Gruyter Open
Kouwenhoven, W.J.H ([1956) A Study of Social Change and Social- Economic Development in New Guinea Society, (PhD Disertation) Faculty of Art and Philosophy. University of Leaden, Netherlands.
Mansoben, J. R. ( 1995) Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, Diterbitkan dalam rangka kerja sama antara Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI), Jakarta, Indonesia, dan LeidenUniversity
(RUL), Leiden, Negeri Belanda dalam bidang Studi Irian Jaya (IRIS/ISIR).
Mollet, J.A dan Kambuaya, B, (2023) Papuan Ethnic Community (Masyarakat Adat) Toward Development in Papua, Journal of Social Impact, (fouthcoming).
Mollet, J.A., Togibasa, O, and Tujalu, H (2022), Green Economic and Community-Based Tourism Developemnt in Papua, Indonesia, The Seybold Report, Vol. 17: No.11,
Paganelli, M.P. (2022) Adam Smith and Economic Development in Theory and Practice: A Rejection of the Stadial , Journal of the History of Economic Thought, Volume 44, Number 1, March 2022.
Poli, W.I.W (2003), Yawa Datum di Tanah Papua, Pemerintah Kabupaten Jayapura, Jayapura
Todaro, P. dan Smith, S.C. (2014) Economic Development, 12th edition, The Pearson Series in Economics) 12th Edition, New York.
Znoj, H. ([2018), Understanding the bakar batu boom in the West- Papuan highlands –an economic anthropology approach , Institute of Social Anthropology, University of Bern, Switzerland Paper presented at the “Papua Update. International Conference on the Socio-Economic and Sustainable Development of Papua.“ Faculty of Economics, Universitas Cenderawasih.