
Oleh: Dafril, Tuanku Bandaro
Guru MTsN 1 Kota Padang dan Mahasiswa Program Doktoral Studi Islam S3 UM Sumbar
–
Mengguratkan Jejak Peradaban, Di lembar sejarah umat manusia, pendidikan Islam telah menorehkan tinta emasnya jauh sebelum zaman dikenali sebagai revolusi industri. Dari lembayung peradaban Madinah yang dipahat Rasulullah SAW dengan wahyu pertama “Iqra’”, hingga gemuruh perpustakaan Bayt al-Hikmah di Baghdad, pendidikan Islam pernah menjadi obor penuntun akal dan ruhani, sumbu pencerahan dunia.
Namun sejarah tidak diam. Ia berjalan, menjelmakan diri dalam berbagai bentuk perubahan zaman. Dari Revolusi Industri 1.0 yang menggerakkan roda dengan uap, hingga Revolusi 5.0 yang memadukan kecerdasan buatan dan kemanusiaan dalam satu simpul, dunia terus berubah. Maka pendidikan Islam pun ditantang: mampukah ia tetap relevan dan visioner, tanpa kehilangan akar nilai yang suci?
II. Relevansi dalam Lintasan Revolusi: Sebuah Tafsir Historis
1. Revolusi 1.0: Mesin dan Mekanik Dunia Barat
Pada abad ke-18, tatkala dunia Barat menggugat alam dengan mesin uap dan tenaga mekanik, pendidikan Islam di belahan Timur justru bergumul dalam pergolakan politik dan penjajahan. Namun pondok-pondok pesantren tetap berbisikkan zikir dan logika. Kitab kuning tak pernah lekang dari kaji, dan ruh pendidikan tetap mengalir dari langgar ke surau.
2. Revolusi 2.0: Listrik dan Produksi Massal
Abad 19 membawa arus listrik dan industri massal. Dunia menyusun ulang sistem kerja dan sistem nilai. Pendidikan Islam mulai mencari celah, menggagas madrasah-madrasah modern, mengadopsi metodologi baru, namun tetap bersandar pada tauhid sebagai poros. Buya Hamka, Syekh Ahmad Khatib, dan tokoh lainnya menjadi saksi gerak lamban namun pasti pendidikan Islam mengejar zaman.
3. Revolusi 3.0: Digital dan Informasi
Komputerisasi dan digitalisasi di abad 20 memaksa lembaga pendidikan Islam untuk membuka jendela ke dunia. Tafsir digital, kitab online, kelas daring, hingga fatwa virtual menjadi kenyataan. Pendidikan Islam mulai bersinergi dengan teknologi, meski di banyak tempat masih terbatasi oleh keterjangkauan dan kesiapan sumber daya.
4. Revolusi 4.0: Internet of Things, Big Data dan AI
Kini, saat algoritma menggantikan nalar manusia dalam banyak lini, dunia masuk ke Revolusi 4.0. Pendidikan Islam menghadapi tantangan eksistensial: bagaimana mengajarkan adab dalam ruang siber, bagaimana mengasah nurani dalam banjir data, dan bagaimana menanamkan iman di tengah kecerdasan buatan?
5. Revolusi 5.0: Teknologi untuk Kemanusiaan
Dan kini, Revolusi 5.0 datang membawa janji: teknologi yang didekati bukan hanya untuk efisiensi, tapi untuk kemanusiaan. Maka, nilai-nilai Islam yang bersumber dari wahyu dan akhlak kenabian menjadi sangat relevan: keadilan, kasih sayang, kesetaraan, dan tanggung jawab sosial. Pendidikan Islam seharusnya tampil bukan sebagai penonton, tetapi sebagai penentu arah.
III. Tantangan: Menjaga Akar, Menumbuhkan Cabang
Tak dapat disangkal, pendidikan Islam menghadapi tantangan yang kompleks:
1. Kemandekan Kurikulum
Di banyak tempat, kurikulum pendidikan Islam masih berkutat pada hafalan tanpa konteks. Narasi ilmiah dan kekayaan epistemologi Islam tidak dibumikan dalam praktik yang relevan dengan problem kekinian.
2. Dualisme SistemMasih ada jarak antara ilmu agama dan ilmu umum. Padahal dalam khazanah Islam klasik, filsafat, astronomi, kedokteran dan fiqih berpadu harmonis. Sekat ini harus diurai, bukan dilebur, tapi disinergikan dalam satu visi tauhidik.
3. Krisis Pendidik Visioner
Pendidikan Islam membutuhkan lebih dari sekadar guru. Ia butuh murabbi—pendidik yang bukan hanya mengajar, tapi membentuk karakter dan menanamkan hikmah. Maka pembinaan guru harus mengarah pada penguatan kompetensi spiritual dan intelektual sekaligus.
4. Keterbatasan Teknologi dan Akses
Di tengah Revolusi 5.0, masih banyak madrasah dan pesantren yang berjuang dengan perangkat minim. Ini bukan sekadar soal sarana, tapi juga soal paradigma: apakah teknologi dilihat sebagai musuh atau mitra dakwah?
IV. Menuju Pendidikan Islam Transformatif: Tawasuth dan TajdidMasa depan pendidikan Islam harus dibangun di atas tiga fondasi: nilai, nalar, dan nurani.Nilai, yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, menjadi jangkar etis dan moral.Nalar, sebagai kemampuan kritis, analitis, dan kreatif, menumbuhkan keberanian berpikir dan berinovasi.
Nurani, yang halus dan sadar, menuntun teknologi untuk tidak lepas dari kemaslahatan.
Dalam semangat tajdid (pembaruan), pendidikan Islam mesti berani membuka ruang dialog dengan sains, filsafat, dan budaya digital tanpa takut kehilangan jati diri. Dalam semangat tawasuth (moderat), ia mesti menjembatani polarisasi antara teks dan konteks, antara tradisi dan inovasi.
Membangun Lentera dari Timur
Pendidikan Islam adalah lentera yang seharusnya tak pernah padam. Di tengah gelombang teknologi yang kadang menggulung nilai-nilai spiritual, pendidikan Islam justru dipanggil untuk menyinari arah. Sebab di tengah Revolusi 5.0, manusia kembali mencari makna, bukan hanya kecepatan. Mencari hikmah, bukan hanya data. Dan mencari ruh, bukan hanya sistem.
Maka, jika pendidikan Islam mampu menafsir ulang misinya, memperkuat substansi dan memperluas metode, ia tidak hanya akan bertahan. Ia akan menjadi mercusuar bagi peradaban baru: peradaban yang berteknologi tinggi namun tetap berakhlak mulia.
Padang, 3 Juli 2025
Dafril, Tuanku Bandaro