Oleh: Paulus Laratmase
–
Bagian pertama tulisan opini tentang keterkaitan hukum dengan pekerjaan calon mahasiswa, pada bagian kedua sebagai calon mahasiswa Universitas Pelita Harapan wajib menulis tentang bagaimana penegakkan hukum di Indonesia kini.
Ferinda K Fachri menulis sebuah artikel berjudul: “Kasus Nenek Minah, Pembuka Fenomena Penerapan Restorative Justice” yang dikutip dari (https://www.hukumonline.com/).
Kasus pencurian 3 kakao dengan terdakwa Nenek Minah yang tertuang dalam Putusan No.247/PID.B/2009/PN.Pwt itu menjadi referensi Jaksa Agung ataupun Kapolri hingga menggaungkan penerapan restorative justice dalam berbagai kasus.
Ferinda K Fachri menceritakan kronologis peristiwa yang menimpa Nenek Minah sebagai berikut:
“Kasus ini bermula ketika Nenek Minah mendapati 3 buah kakao di atas pohon perkebunan tempatnya bekerja yang terlihat nampak matang. Maksud hati Nenek berusia 55 tahun ketika itu ialah memetik untuk disemai sebagai bibit pada tanah garapannya. Lalu, dia lantas meletakkan kakao di bawah pohon dimaksud.
Tak lama kemudian, mandor kakao perkebunan menegur Nenek Minah lantaran 3 buah kakao yang nampak tergeletak di bawah pohon. Tak mengelak dari perbuatannya, Nenek Minah mengaku dan memohon maaf kepada mandor dan menyerahkan kembali ketiga kakao itu. Sekitar seminggu kemudian, Nenek Minah menerima surat panggilan dari kepolisian atas dugaan pencurian.
Pemeriksaan berlangsung sampai akhirnya kasus ini bergulir ke meja hijau di Pengadilan Negeri Purwokerto. Nenek Minah dalam persidangan itu seperti ramai diberitakan berbagai media tidak didampingi penasihat hukum berakhir didakwa atas pencurian (Pasal 362 KUHP) terhadap 3 buah kakao seberat 3 kilogram dengan perhitungan harga Rp 2.000 per kilogram.
Alhasil, Majelis Hakim PN Purwokerto saat itu memutuskan Nenek Minah dijatuhi hukuman 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Persidangan Perkara No. 247/PID.B/2009/PN.Pwt ini ramai dibincangkan dan menyita perhatian publik lantaran kasus kecil tetap diproses hukum hingga ke meja hijau (pengadilan). Sampai-sampai Ketua Majelis Hakim meneteskan air mata saat membacakan vonis sang petani berumur itu.”
Kasus yang menimipa mantan gubernur DKI Jakrta, Anies Baswedan (www.bbc.com/indonesia/indonesia-50230844). Proyek pengadaan lem Aibon untuk Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Kota Jakarta Barat senilai Rp82,8 miliar; pulpen menggambar untuk Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Kota Jakarta Timur senilai Rp123,8 miliar; sekitar 7.000 komputer untuk Dinas Pendidikan, masing-masing seharga Rp15 juta dengan total anggaran senilai Rp121,2 miliar; empat unit storage dan 10 unit server untuk Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik senilai Rp 65,8 miliar, sampai hari ini belum tersentuh pihak aparat penegak hukum.
Fakta lain yang perlu disimak di Papua terkait implementasi UU No 22/2022 jo UU No 21/2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Durasi 20 tahun pertama pemberlakuan Otsus Papua dan kini memasuki Otsus tahap kedua, ribuan trilyun telah digulirkan negara bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyak.
UU No 23 Tahun 2014 jo UU No 32 Tahun 2004 yang lahir dari rahim reformasi dan UU 22/2022 sebagai lex specialis tidak serta-merta membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Papua. Semua sudut kota baik kabupaten/ kota, ekonomi dikuasai kaum migran bahkan dari hari ke hari rakyat Papua semakin teralienasi dari eksistensi dirinya sebagai pemilik kekayaan alam dan kedaulatan terhadap implementasi regulasi dimaksud.
Lex specialis mendorong Orang Asli Papua menduduki jabatan politik baik sebagai anggota DPRD, Majelis Rakyat Papua (MRP), Bupati, Wali Kota atau Gubernur, jabatan-jabatan strategis birokrasi banyak menuai berbagai kasus korupsi yang melilit pemerintahan di era otonomi daerah bahkan pada pemberlakuan lex specialis UU Otsus.
Jabatan-jabatan politik dan birokrasi yang diperoleh dijadikan peluang mendapatkan keuntungan meningkatkan kekayaan dan peningkatan status sosial tanpa memperdulikan kondisi objektif masyarakat Papua yang dilanda kemiskinan ekstrem di atas kekayaan alamnya yang melimpah.
Pejabat-pejabat politik dan birokrasi yang awalnya tidak memiliki apa-apa baik dari aspek finansial maupun kekayaan lain, kini berubah menjadi orang yang “tampil beda” karena ukuran status sosial dari perolehan materi dari kerja-kerja kotornya.
Aparat pengawas seperti BPK, BPKP, Inspektorat hanya boneka di saat melaksanaan pengawasan di lapangan. Mereka dibawa ke hotel dan hanya memeriksa administrasi tanpa melakukan audit investigasi terhadap penyimpangan pemanfaatan dana milyaran rupiah akibat diskresi kebijakan pimpinan daerah yang oleh UU NO 30 Tahun 2014 diperbolehkan sejauh tidak terdapat maladminitrasi atau benturan dengan UU lainnya digunakan semaksimal mungkin untuk meningkatkan kekayaan pribadi dan keluarga tanpa sentuhan hukum.
BPK, BPKP, Inspektorat hanya menjadi boneka pengaturan pelaksanaan UU oleh seorang kepala daerah yang secara inplisit dan eksplisit bersama-sama melakukan pencurian terhadap uang rakyat di Papua untuk menguntunkan diri sendiri dan keluarganya.
Sebagai imbalan, BPK, BPKP atau inspektorat diberi imabalan jasa finansial yang besar jumlahnya, menikmati pelayanan ala pejabat negara dan diservice semua kebutuhan mereka yang melaksnakan audit agar peinyimpangan anggaran APBD tidak tercium ke publik dan dijadikan dasar tindakan pidana oleh penegak hukum.
Korelasi kasus Nenek Minah, mantan gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, para pejabat politik dan birokrasi di Papua sebuah fonomena penegakkan hukum yang mendorong penulisan opini dengan judul di atas.
Jika tujuan hukum adalah keteraturan hidup dan bagi mereka yang melanggar diberikan sanksi, mengapa para penegak hukum membiarkan mereka yang melakukan pelanggaran hukum entah itu jaksa dalam kasus Nenek Minah, entah dia gubernur Anies Baswedan bahkan mereka para politisi dan birokrat di Papua yang melakukan pelanggaran terhadap hukum, seyogyanya dihukum sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya.
Fenomena kemiskinan ekstrem yang dialami di Papua, para birokrat dan politisi tidak melihatnya sebagai ketimpangan keadilan yang dialami masyarakat Papua. Ketidakadilan dalam semua aspek kehidupan manusia, entahUU Otonomi Daerah/ UU No 23 Tahun 2014, UU Otsus/ UU No 22/2022 bahkan keberpihakan kepada mereka yang lemah, terpinggirkan seperti Nenek Minah pencari keadilan, pada akhirnya palu keadilan dijatuhkan oleh seorang hakim pengadilan yang adil.
Hakim yang adil tidak serta-merta secara de fakto dan de jure memeriksa seorang Nenek Minah tanpa memperhatikan social engineering peristiwa itu.
Mungkinkah keadilan bisa digapai oleh mereka yang lemah, tak berdaya? Mungkinkah para pejabat legislative dan eksekutif didorong dilakukan pembuktian terbalik atas kekayaan yang diperoleh dari pekerjaan-pekerjaan kotornya? Mungkinkah BPK, BPKP, Inspektorat dilakukan “Proyek Tangkap Tangan” oleh KPK pada saat mengadakan audit dan juga dilakukan pemeriksaan pembuktian terbalik atas kekayaan yang diperolehnya?
Fakta telah menceritakan kepada kita semua bahwa penegakkan hukum tumpul ke atas tajam ke bawah, itulah realitas hidup Indonesiaku.